Rozekki*
Peta Digital dan Koordinat Parental
Membaca puisi merupakan upaya menangkap gambar. Puisi bisa menjadi
bacaan yang menarik apabila pembaca berhasil menyusun rangkaian gambar yang ditampilkan
penyair (Damono, 2014: 45). Rangkaian gambar itu, tentu saja, bukan gambar potret
hasil tangkapan kamera. Gambar-gambar yang ditangkap pembaca merupakan gambar
angan yang tersusun dari kata, frasa, atau kalimat. Dalam dunia sastra gambaran
itu lazim disebut dengan citraan atau imagery.
Gambar angan atau citraan tidak seperti gambar tangkapan kamera
yang hanya menampilkan citra visual dan audial. Gambar angan ada bermacam-macam,
dihasilkan oleh indra penglihatan, pendengaran, perabaan, pencecapan, dan
penciuman (Pradopo, 2017: 82). Kata, frasa, atau kalimat yang berasosiasi
dengan penglihatan akan menghasilkan citraan penglihatan; demikian juga kata,
frasa, atau kalimat yang berasosiasi dengan pendengaran, perabaan, pencecapan,
dan penciuman akan menghasilkan citraan pendengaran, perabaan, pencecapan, dan
penciuman.
Konsepsi tangkapan gambar ini berlaku umum untuk semua bentuk dan
jenis puisi, tidak terkecuali Nuh Kun Nun karya Muhlis Al-Firmany
(2021). Ada hal menarik—mungkin lebih tepat dikatakan unik—tentang tangkapan
gambar yang diperoleh dari hasil pembacaan lima puluh puisi dalam buku ini. Meskipun
tangkapan gambar setiap individu memiliki detail yang berbeda, yang disebabkan
oleh sifat dasar seni, seperti yang dikatakan Gie (2004: 43), seni dilakukan
oleh individu dan hasilnya juga merupakan individualitas tertentu yang khas. Namun,
gambaran umum yang objektif cenderung sama. Paling tidak, hasil pembacaan ini
bisa menjadi tawaran model pembacaan terhadap Nuh Kun Nun. Sebuah cara
membaca menggunakan model pembacaan peta digital menggunakan fitur zoom in dan
zoom out.
Membaca puisi “Babak Nusantara” di halaman pertama buku ini,
seperti melihat peta digital dengan gambar tangkapan satelit, peta dengan
tulisan Indonesia. Jika di-zoom in akan terlihat nama-nama kota. Ada
“Sundaland” di halaman dua. Lebih dekat lagi, terlihat pulau Madura dalam
“Petani Garam” di halaman dua belas. Pada halaman lima belas, peta kembali di-zoom
out, menampilkan citra “Mozaik Khatulistiwa”. Lebih jauh, zoom out
membentang samudera, dan bahtera “Nuh” mengapung di halaman tujuh belas. Pada
pungkas zoom out, Indonesia hanya noktah dalam luas semesta “Kun”.
Setelah “Kun”, zoom in kembali meluncur, menunggangi “Nun”
di halaman sembilan belas. Dari titik ini zoom in dan zoom out
diseret bergantian dalam gerakan kecil, bergeser sedikit demi sedikit ke titik
terdekat. Ada “Kampung Kona” di halaman empat puluh empat. Setelah itu
berurutan “Roma Pamolean”, “Taneyan Lanjhang”, dan “Somor Tanto” di halaman
empat puluh enam, empat puluh delapan, dan lima puluh. Akhir dari zoom in
koordinat parental di halaman tujuh puluh lima dan tujuh puluh tujuh, “Rama(h)”
dan “Bu’ Randha”. Ayah dan ibu yang dirindu.
Jarak Darat dan Lautan
Kembali ke puisi pertama, “Babak Nusantara”, kembali ke peta
Indonesia, citra visual yang memperlihatkan dominasi laut di sekelilingnya.
Demikian juga tiga puisi berikutnya, “Sundaland”, “Rempah-Rempah 1” dan
“Rempah-Rempah 2” seakan menegaskan bahwa moyang bangsa Indonesia, moyang orang
Madura adalah pelaut-pelaut tangguh. Namun, begitu peta di-zoom in,
lautan itu menjadi tidak terlihat. Selanjutnya, yang berdaulat hanya peradaban
darat.
Jarak dengan lautan itu, secara implisit, juga terlihat pada
penggunaan diksi. Puisi-puisi yang membicarakan lautan cenderung menggunakan
kata-kata umum. Bandingkan dengan puisi-puisi yang membicarakan daratan, kata-kata
yang Muhlis pilih memiliki kesan yang lebih khas dan intim. “Preghi”, “Kolla”,
“Andeng”, dan beberapa puisi lain memperlihatkan keintiman, ketidakberjarakan
itu.
Menurut Rendra (Maulana, 2012: 68), puisi adalah penghayatan dari
pengalaman. Ia tidak bisa ditulis berdasarkan khayalan semata. Namun bukan
berarti puisi-puisi yang ditulis berdasarkan sumber bacaan dan tuturan tidak
memiliki nilai guna dan daya estetik. Sumber bacaan dan tuturan bukanlah
khayalan, meskipun bukan juga pengalaman yang primer. Puisi-puisi semacam itu
lebih menekankan pada fungsi komunikatif. Ia menjadi semacam jembatan
penghubung—meskipun rawan dan rapuh. Atau, paling tidak, menggunakan istilah
Acep Zamzam Noor (2011: 191), menjadi puisi yang mengingatkan.
Daftar Pustaka
Al-Firmany,
Muhlis. 2021. Nuh Kun Nun: Puisi Sehimpun. Yogyakarta: Istana Media.
Damono,
Sapardi Djoko. 2014. Bilang Begini, Maksudnya Begitu: Buku Apresiasi Puisi. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Gie,
The Liang. 2004. Filsafat Seni: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Pusat
Belajar Ilmu Berguna (PUBIB).
Maulana,
Soni Farid. 2012. Apresiasi dan Proses Kreatif Menulis Puisi. Bandung:
Nuansa Cendekia.
Noor, Acep Zamzam. 2011. Puisi dan Bulu Kuduk. Bandung:
Nuansa Cendekia.
Pradopo,
Rachmad Djoko. 2017. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press.
*Pembina
Komunitas Masyarakat Lumpur dan tenaga pengajar Program Studi Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesi STKIP PGRI Bangkalan.