15 Juli 2022

,

BUBU DAN BUWUH: PERLUKAH ADA KEDUA-DUANYA?

Anda pasti tahu kata bubu. Yah, salah satu alat tangkap ikan. Namun bukan ini yang akan kita bicarakan saat ini. Bubu yang merupakan homonim dari bubu sebelumnya. Bubu yang merupakan serapan dari bahasa Madura. Bubu tersebut berarti “memenuhi undangan seseorang dengan memberi sejumlah uang sebagai bentuk sumbangan” (Tim Penyusun KBBI Edisi Kelima, 2016). Kata asli dalam bahasa Maduranya adalah bhubu, dengan konsonan suku pertama mengandung bunyi aspirat yaitu [bhu]. Kata ini janggal karena serapan tersebut dimasukkan ke dalam bahasa Indonesia dalam bentuk verba. Padahal, dalam bahasa Madura kata ini termasuk kategori nomina. Bentuk verbanya abhubu. Dalam bahasa Indonesia *berbubu.

Sekilas tidak ada kejanggalan lagi. Namun jika ditilik lebih lanjut, kata bhubu ini merupakan serapan dari bahasa Jawa buwuh (Tim Balai Bahasa Yogyakarta, 2011:83). Kata buwuh ini juga diserap ke dalam bahasa Indonesia. Secara semantis, baik kata buwuh dalam bahasa Jawa maupun bhubu dalam bahasa Madura masih berarti sama yaitu sumbangan berupa uang atau barang yang diberikan undangan (yang hadir) sebagai hadiah pada hajatan pesta pernikahan.


Daftar Rujukan

Tim Balai Bahasa Yogyakarta. 2011. Kamus Basa Jawa (Bausastra Jawa). 2nd ed. Yogyakarta: Kanisius.

Tim Penyusun KBBI Edisi Kelima. 2016. “KBBI V (Kamus Digital).”

Continue reading BUBU DAN BUWUH: PERLUKAH ADA KEDUA-DUANYA?

08 Juli 2022

,

SALEBBÂR: KITA JUGA BERBAHASA ARAB

Salebbâr. Kata ini bukan kata yang akrab dalam perbendaharaan kata di komunitas saya, Langkap Barat. Mulanya saya mendengar dari seorang ustaz, orang Pasuruan yang kebetulan berbahasa ibu bahasa Madura. Salebbâr lebih dikenal sebagai katok atau celana pendek dengan panjang di bawah lutut. Kata ini dibedakan dari calana yang berarti celana atau pantalon. Kata ini bersinonim lancèngan atau lancingan yang dalam bahasa jawa berarti sruwal atau katok (Tim Balai Bahasa Yogyakarta, 2011:418). Dalam bahasa melayu kata ini bersinonim dengan seluar. Bentuk tidak bakunya serual dan sarwal (Tim Penyusun KBBI Edisi Kelima, 2016). Berbeda dengan sruwal yang berarti celana pendek, seluar bisa berarti ‘celana, baik panjang maupun pendek’. Kata sarwal merupakan bentuk serapan dari bahasa Arab sirwāl yang berarti ‘celana panjang’ (Munawwir, 1997:629).

Jika diurutkan kemungkinan proses perubahan sebagai berikut:

sirwāl à sarwal

sarwal à sruwal (bahasa Jawa)

sruwal à serual

serual à seluar (mengalami meta tesis, yaitu pembalikan r dengan l)

seluar à seluwar*

seluwar* à selubar* (w menjadi b dalam bahasa madura)

selubar* à salebbâr

Proses tersebut, tentunya, hanya perkiraan.

 

Rujukan

Munawwir, Ahmad Warson. 1997. Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progressif.

Tim Balai Bahasa Yogyakarta. 2011. Kamus Basa Jawa (Bausastra Jawa). 2nd ed. Yogyakarta: Kanisius.

Tim Penyusun KBBI Edisi Kelima. 2016. “KBBI V (Kamus Digital).”

Continue reading SALEBBÂR: KITA JUGA BERBAHASA ARAB

01 Juli 2022

KADRUN: ANTARA POLITIK DAN AGAMA

 A. Asal

Kadrun merupakan singkatan dari kadal gurun. Berdasarkan pencarian di media sosial Facebook, kata kadrun paling awal ditemukan pada bulan 28 September 2019. Di Twitter kata kadrun mulai muncul pada Desember 2019.

Istilah ini diciptakan oleh Denny Siregar (DS), seorang pegiat media sosial, tahun 2019-an. Nama tersebut merupakan balasan terhadap tudingan PKI, liberal, Syiah dan kemudian BuzzerRp yang dialamatkan pada Denny Siregar cs. DS menyebutkan bahwa kadrun berarti hal-hal berikut.

 

1. Neo Khawarij yang ditujukan untuk pemaham-pemaham agama yang kaku (Sadikin 2022).

Dalam terminologi ini dimasukkan golongan seperti HTI, sekte Wahhabi atau Salafi, dsb. yang datang ke Indonesia dengan konsep gerakan Islam transnasional. HTI datang dengan konsep khilafah yang dipropagandakan sebagai konsep bernegara terbaik. HTI sering menyebut negara yang tidak berlandaskan islam dengan kata toghut. Lembaga HTI resmi dilarang sejak 19 Juli 2017.

Tidak seperti HTI yang menggunakan metode hegemonik dalam penyebaran ide, sekte Wahhabi identik dengan kekerasan. Sebenarnya, menurut  Sahrasad et al. (2019:68-9) wahhabisme dibagi menjadi 3 golongan: Wahhabi Shururi, Jihadi Wahhabi, dan Takfiri Wahhabi. Dua yang terakhir yang dianggap menjadi ajaran dari al-Qaeda dan ISIS.

 

2. Kelompok intoleran (Fahlevi 2022).

Kelompok intoleran ini sering ditunjukkan dengan golongan yang “anti-agama” lain. Kasus terbesar dari kelompok ini adalah kasus demo Ahok dengan gerakan 212. Kelompok ini diidentikkan dengan FPI dan simpatisanya.

 

B. Ulasan

Karena keluar pada masa pilpres, istilah ini sering diidentikkan dengan cebong dan kampret. Namun dilihat dari unsur kata, istilah kadal gurun tidak mengacu pada ikhwal pilpres. Kelompok ini tidak lagi melekat pada pendukung Prabowo dalam pilpres yang disebut kampret. Kelompok ini sering disemakan – selain dua di atas – untuk golongan yang mempolitisasi agama (Islam).

 

Rujukan

Fahlevi, Afditya Imam. 2022. “Apa Itu Kadal Gurun Alias Kadrun? Begini Penjelasannya.” Tagar.Id, April 14.

Sadikin, Rendy Adrikni. 2022. “Asal Muasal Label Kadrun, Ternyata Sosok Ini Penciptanya Hingga Viral.” Suara.Com, March 17.

Sahrasad, Herdi, Al Chaidar, and Dedy Tabrani. 2019. “Terrorism, Wahhabism and Islam (East)-West Dialogues: A Reflection from Indonesia.” Journal of Economic and Social Development 6(2):68–69.

Continue reading KADRUN: ANTARA POLITIK DAN AGAMA

22 Juni 2022

PETISI, KOMPETENSI, DAN SERAPAN YANG LAMBAT: MAKNA TERPAKAI TANPA KODIFIKASI ISTILAH

Muhri

 

Tulisan ini dilatarbelakangi sebuah perbedaan pendapat dengan seorang kolega. Kata petisi. Beliau berpendapat bahwa petisi hanya dilakukan terhadap lembaga pemerintah. Ini tidak salah. Benar. Dulunya. Mungkin berdasarkan pada istilah yang berlaku di Indonesia. Dalam KBBI petisi berarti ‘(surat) permohonan resmi kepada pemerintah’ [1]. Dalam definisi itu memang hanya ada kata pemerintah dan dalam KBBI tidak ada definisi lain.

Saya coba menghimpun peristilahan yang jauh sebelumnya sudah saya baca. Dalam Oxford Learner’s Dictionary, petition didefinisikan ‘a written document signed by a large number of people that asks somebody in a position of authority to do or change something’ [2]. Jika diterjemahkan secara bebas berarti, “sebuah dokumen tertulis yang ditandatangani oleh sejumlah (sangat) besar masyarakat yang meminta seseorang dalam sebuah jabatan atau otoritas untuk melakukan atau mengubah sesuatu.” Definisi ini merupakan definisi utama dalam kamus tersebut. Definisi yang senada dengan kbbi di atas terletak pada bagian kedua. Artinya, definisi ini adalah definisi yang lebih khusus pada masalah hukum. Dalam definisi kedua disebutkan bahwa petisi adalah an official document asking a court to take a particular course of action such as a bankruptcy petition ‘dokumen resmi yang meminta pengadilan untuk mengambil tindakan tertentu seperti permohonan pailit’.

Selanjutnya saya ambil definisi dari kamus Cambridge. Pada definisi pertama, petisi dedefinisikan sebagai ‘a document signed by a large number of people demanding or asking for some action from the government or another authority’[3]. Definisi tersebut senada dengan definisi pada kamus pelajar Oxford di atas. Definisi kedua tidak jauh beda dengan sebelumnya, yaitu khusus untuk istilah hukum, bahwa petisi adalah a formal letter to a law court asking for a particular legal action.

Definisi pertama ini dikuatkan dengan eksistensi sebuah situs yang bernama change.org. Dalam situs ini istilah petisi tidak dibatasi pada istilah legal saja tetapi juga petisi sebagai sebuah istilah umum. Dengan kata lain istilah petisi yang digunakan tidak hanya berisi tuntutan kepada pemerintah tetapi juga tuntutan untuk otoritas non-pemerintah. Petisi yang lebih luas ini cenderung memanfaatkan kekuatan civil sociaty dari pada kekuatan legal dalam politik kepemerintahan.

Sebuah istilah rupanya hidup dan bergerak sendiri karena bahasa berubah ketika budaya berubah. Di sisi lain, kamus sebagai kodifikator istilah selalu terlambat mencatat. Apalagi dalam kasus Indonesia yang proyek pengembangannya kira-kira 10 tahun. KBBI sepertinya konsisten disunting setiap kira-kira 10 tahun

Hal seperti ini pernah saya alami pada kata kompetensi. Dalam KBBI kompetensi diartikan kewenangan (kekuasaan) untuk menentukan (memutuskan sesuatu). Definisi ini adalah definisi umum. Definisi kedua khusus linguistik yaitu kemampuan menguasai gramatika suatu bahasa secara abstrak atau batiniah. Dua definisi tersebut tidak dapat menjelaskan frase kompetensi guru yang sering didengar dalam istilah pendidikan. Dalam kamus pelajar Oxford kompetensi secara umum dibatasi sebagai the ability to do something well, yaitu kemampuan untuk melakukan sesuatu dengan baik. Secara khusus dalam arti kemampuan profesional kompetensi dibatasi sebagai a skill that you need in a particular job or for a particular task ‘sebuah ketetampilan yang Anda butuhkan dalam pekerjaan atau tugas tertentu’.

 

Rujukan:

[1]      Tim Penyusun KBBI Edisi Kelima, “KBBI V (kamus digital).” Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud RI, 2016.

[2]      “Oxford Learner’s Dictionary.” Oxford University Press, 2022, [Online]. Available: www.oxfordlearnersdictionary.com.

[3]      “Cambridge Dictionary.” Cambridge University Press, [Online]. Available: https://dictionary.cambridge.org/.

 


Continue reading PETISI, KOMPETENSI, DAN SERAPAN YANG LAMBAT: MAKNA TERPAKAI TANPA KODIFIKASI ISTILAH

03 Juni 2022

CHANNEL YOUTUBE DENGAN MUATAN FILM PENDEK BERBAHASA JAWA

Berikut beberapa channel youtube dengan muatan film pendek berbahasa Jawa.

1. D'Plaman Movies



2. Ewil TV




3. Lula Studio



4. Paniradya Kaistimewan

Channel ini merupakan kepanjangan dari situs jejaring dengan nama yang sama yaitu Paniradya Kaistimewan. Dari alamat url dapat dipastikan channel ini dikelola pemerintah DIY.


5. Ravacana Films





Continue reading CHANNEL YOUTUBE DENGAN MUATAN FILM PENDEK BERBAHASA JAWA

Sastra Anak dalam Mancing Sastra

Pertemuan tadi malam, Selasa 31 Mei 2022, dilaksanakan di rumah Ki Suryo. Pembincang kali ini adalah Salman Alfarisi. Ia seorang pegiat literasi yang tergabung pada komunitas Kopi Lembah Arosbaya. 

Acara ini digagas dan kelola oleh Komunitas Masyarakat Lumpur dengan tajuk Mancing Sastra. Kali ini yang ke 34. Acara Mancing Sastra ini telah konsisten diadakan sejak Festival Puisi Bangkalan II (FPB II). Bedanya, jika sebelumnya selalu diisi dengan bedah karya sastra, Mancing Sastra sejak awal tahun 2022 dikemas tidak hanya bedah karya. Acara ini juga membahas isu-isu baik yang aktual atau yang terlupakan tentang seni dan budaya. 

Acara tadi malam dihadiri oleh berbagai komunitas dan kelompok seni. Dari lukis ada Pak Edi dan beberapa pelukis Bangkalan yang tergabung dalam kelompok Manifesto Idiot. Dari komunitas seni teater dan sastra ada KML dan Komunitas Kopi Lembah.

Continue reading Sastra Anak dalam Mancing Sastra

27 Mei 2022

CHANNEL YOUTUBE DENGAN CONTENT FILM PENDEK BERBAHASA MADURA

Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena film pendek bermuatan lokal mulai bermunculan. Salah satunya film-film pendek dalam bahasa Madura. Berikut daftar channel youtube berkonten film pendek berbahasa Madura.

1. DULLATEP TV

Channel ini dimulai 31 Desember 2018. Ditunjukkan oleh tanggal upload video pertama. Genre film kebanyakan komedi. Sebagian lagi berupa endorsement produk atau program pemerintah. Sayangnya, akhir-akhir ini channel ini tidak lagi memproduksi film pendek. 



2. EMAK TAPAI

Channel ini dimulai 17 Februari 2019. Tokoh ikonik Mallieh dalam film-film pendek ini sebenarnya berasal dari Maliyeh dalam channel Dullatep TV. "Perceraian" kedua tokoh ini disinyalir karena konflik. Bahkan pasca konflik tersebut Dullatep TV seperti kehilangan daya. 
Seperti pada channel sebelumnya, film-film pendek pada Emak Tapai bergenre komedi. Selain itu, ada muatan dakwah berupa nasihat yang sebagian besarnya merupakan ajaran agama. Sayangnya, muatan itu terlalu "tersurat" sehingga terkesan menggurui. 



3. MATA PENA

Channel ini dimulai 3 Juni 2019. Genre film dominan drama. Muatan isi dominan dari film pendek produksi Mata Pena adalah budaya Madura. Budaya tersebut terwujut melalui peran-peran tokoh santri dan blater. Kelemahan utama film-film pendek pada channel ini adalah pemeran yang usianya hampir sebaya. Sering kali peran orang dewasa atau tua diperankan oleh anak muda. Hal ini sangat mengganggu penghayatan terhadap cerita. 



4. DENDI BOGAN

Channel ini dimulai 27 Juni 2019. Film pendek dalam channel ini juga bergenre komedi. Muatanya sangat ringan dan hampir tanpa muatan nilai. Sepertinya, film-film tersebut diproduksi dengan segmen hiburan semata. 




5. ANOM SONGOT

Channel ini dimulai 24 Januari 2020. Di antara keempat channel sebelumnya, channel ini bisa dikatakan paling baik. Film-film bergenre komedi. Tokoh ikonik dalam film ini terlihat sangat alami. Muatan nilai dalam film tentang sesuatu yang biasa namun sangat berkesan. Meskipun relatif baru, channel ini paling banyak mendapat subscribe dari penonton. 



6. KACONG ARYE







7. MAVIA PROJECT







Continue reading CHANNEL YOUTUBE DENGAN CONTENT FILM PENDEK BERBAHASA MADURA

25 Februari 2022

PUISI-PUISI MOH. RIDLWAN (1)

 Hukum bagi Pendosa

 

Tak perlu takut!

Yang berdosa hanya ditulis dalam kertas

Dibiarkan dengan kertas dosa yang lain

Yang berdosa hanya menebarkan senyum

 

Tak perlu takut!

Hukum hanya kertas yang ditulis

Dan dibiarkan dengan tumpukan kertas

Kalau sudah tua kertas pun rusak

Hukum juga ikut rusak

 

Mari berdosa!

Karena hukum sudah mati.

 

 

Di Balik Kopiah Putih

 

Kopiah kau terlalu bagus

Menutupi kepala botak kau

Agar terhindar dari matahari

 

Lembaga kau juga bagus

Tak ada yang minat

Pengawas datang, kelas-kelas menjadi ramai

 

Anak sekampung kau jual

Pada penguasa yang tertipu

Beli mobil, bangun rumah

 

Kopiah kau terlalu bagus

Akan lebih bagus berada di pasaran.

 

 

Trip

 

Terasa aneh dan aneh

Dia pergi kemana-mana

Penjuru dunia dilaui

Hanya untuk bersantai

 

Terasa aneh dan aneh

Dia terlalu bangga

Warna-warni cuaca telah menghampirinya

Padahal tetangga tak ada yang kenal

Kelak matinya juga tak dikenal.


-----

Puisi-puisi tersebut diunggah kembali dari Di Balik Kaca karya Moh. Ridlwan. 



 

 

Continue reading PUISI-PUISI MOH. RIDLWAN (1)

11 Februari 2022

,

Sesuatu—(Sifat dan Sikap) yang Paling Lembut akan Bekerja Secara Mengagumkan

 

M. Helmi Prasetya[1]

 

/1/

 

Dalam sebuah pengantar buku Woman and Social Injustice karya Mahatma Gandhi dan diterjemahkan oleh Siti Farida, Rajkumari Amrit Kaur, seorang pejuang pergerakan wanita dari India menyebut bahwa, “Kaum perempuan adalah perwujudan dari pengorbanan dan penderitaan.” Kalimat yang mendapat pertentangan tersebut sebenarnya suara Gandhi yang diulangnya sebagai penegasan mengenai kedudukan perempuan di mata Gandhi. Kontroversi memang, setidaknya ada aroma ke arah sana. Karena mengundang perspektif yang dianggap merendahkan perempuan, meski sebenarnya yang dimaksudkan Gandhi dalam tulisan itu, adalah sisi kemuliaan, sisi peran yang ditujukan bahwa sebenarnya—karena pengorbanan dan penderitaan itu, perempuan harus mendapat kedudukan dengan selayak-layaknya, sehormat-hormatnya.

 

Lantas apa hubungannya dengan novel berjudul Di Balik Tirai Malaya yang ditulis seorang pekerja migran Indonesia di Malaysia bernama pendek Zai? Tentu berhubungan: mendasar dan searah. Lantaran novel bersampul seorang perempuan berjilbab yang tengah memandang menara kembar Petronas itu di dalamnya berisi kisah-kisah yang hampir sepenuhnya adalah pengorbanan dan penderitaan seorang perempuan. Jelasnya, novel bertebal 247 halaman tersebut sangat bisa memberi jawaban nyata dari apa yang menjadi perdebatan mengenai kedudukan perempuan selama ini —baik di suatu situasi, suatu keadaan, maupun pada banyak keberadaan. Novel yang terdiri atas 30 judul cerita tersebut benar-benar membutikan bahwa apa yang disampaikan Gandhi barangkali nyaris 100% benar.

 


Sebut saja betapa menderitanya Inna (tokoh utama bernama lengkap Innara Izzatunnisa). Di usianya yang belia, ia harus mengorbankan banyak hal untuk berhadapan dengan pilihan-pilihan sulit hanya karena berkeyakinan cita-citanya akan terjawab. Pilihan yang menekat harus bekerja ke Malaysia, terjebak di rumah pelacuran, ditampar siksa dan diperkosa majikan, ditipu familinya sendiri, ditimpali hutang sana sini, diburu kepolisian dan pengadilan Malaysia, dan lain sebagainya—adalah sebuah perjalanan yang amat memuramkan. Bahkan hingga akhir kisah, harus kehilangan suami yang berhasil ia lalui dengan bersusah payah agar bisa mencintai. Walau cintanya di dalam cangkir yang sejati, berhasil ia dapatkan kembali.

 

Apa yang terjadi pada Inna selama di perantauan, pada banyak sisi seakan menjelaskan sesuatu yang pernah ditulis oleh Rabindranat Tagore dalam buku prosa cintanya, Gitanjali, yang berbunyi “Ibu, aku akan mengayam sebuah rantai mutiara untuk lehermu dengan penderitaanku.” Demikian Tagore menulis, dan demikian juga tokoh Inna beraksi dalam penderitaan yang tak habis-habis menyeretnya. Inna, dalam perannya, pada bagian yang ingin lurus, begitu sering teringat kepada sosok ibu, yang tentu, dalam segala aspek kehidupan, (ibu) adalah puncak tersakral dari segala doa. Barangkali apa yang terjadi pada Inna akan mirip seperti kejadian di dalam teks Tagore jika diadegankan.

 

 

/2/

 

Katakanlah sekilas, demikianlah yang tersaji di dalam novel yang ditulis oleh perempuan asal Dusun Rabasan, Duwak Buter, Kwanyar, Bangkalan itu. Membacanya, saya akui ketegangan dan rasa asyik menjadi satu. Kesal tentu. Dan senyum-senyum sendiri apalagi—tak terhindarkan. Tapi betapa runut dan mengalir indah sebagai sebuah cerita yang memang tak punya kepentingan apa-apa selain “seolah-olah” hanya ingin berbagi alaman penulis tentang hal-hal khusus dalam hidupnya selama di negeri orang. Memberi impresi penting. Maksudnya aspek original yang terpancar dari novel ini amat patut diakui seperti menawarkan revelasi yang mungkin amat kita butuhkan di masa sekarang. Untuk membentuk sekeping pandangan, cikal berpikir, bekal keinginan, memutuskan sesuatu, atau sebagai pembuka ruang bagi segala waham agar bisa diluruskan. Terutama bagi perempuan Madura itu sendiri, yang mungkin nasib hidupnya hendak dimulai dengan pergi merantau seperti yang dilakukan oleh tokoh Innara.

 

Kultur Madura serupa life style atas dasar tatanan ekonomi “masyarakat dalam”—yang memiliki kecenderungan untuk merantau juga melekat kuat mengelindingi kisah. Jika meninjau muatannya yang menopang, akan terasa tujuannya bukan preventif, lebih dari itu. Lebih sebagai maksud membuka diri agar siapa pun yang bernyata siaga menjadi pekerja migran, hendaknya tak memodalkan sikap enteng dan asal berangkat. Butuh persiapan kukuh, utuh, bersama mental-psikologi: deep gaze. Bahkan tentunya hal terburuk sekalipun harus benar-benar diilusikan hidup-hidup. Bukan sekadar melintas mentah dan ditepis begitu saja.

 

Pada bagian inilah—justru, secara umum novel yang latar regulasi bersastranya sangat tak berjarak dari aspek religius, ternyata mampu memunculkan hal-hal menakjubkan meski suara cerita yang disuratkan terkesan sepele. Mendebarkan sisi gelap. Misalnya siapa yang menyangka gadis selugu Inna, yang masih berusia 17 tahun, dengan polosnya ingin membantu sang bapak (menjadi pekerja migran) dengan tujuan agar adik-adiknya bisa melanjutkan sekolah sampai ke menara gading, justru terjebak dari itu. Klise. Tuturan yang biasa. Juga perkataan yang ringan. Tapi dari sanalah semua penderitaan muncul. Setelah makin bertekad, dari sanalah seluruh pengorbanan Inna dimulai. Dari ditipu kerabat dekat, menjadi buron, tidur dalam rumah pelacuran, diperkosa, dan seterusnya. Siapa yang menyangka, dari keinginan sederhana itu, berbagai kehancuran menghadang.

 

 

/3/

 

Apa yang diceritakan dalam novel Di Balik Tirai Malaya oleh Zai ini demikianlah adanya. Patut disampaikan kisahnya cenderung populer. Bukan hal baru pula. Biasa adanya. Tapi tak kalah dengan novel-novel sejenis yang ditulis pengarang yang sudah punya nama besar seperti Habiburrahman El-Shirazy, Abidah el-Kalieqy, Asma Nadia, dan lain-lain. Sungguh tak kalah. Turut bangga mengetahui kehadirannya. Dasar sebagai karya sastra yang punya prinsip jelas juga tertera. Setidaknya searah dengan apa yang disampaikan Y.B. Mangunwijaya, yang disebutkan oleh Tia Setiadi bahwa pada mulanya seluruh karya sastra adalah religius. Novel Zai ini, secara impulsif tak bisa lepas dari ruang religius memang. Hal ini disebabkan latar budaya pengarang yang lekat dengan Madura.

 

Tapi sekali lagi, bukan objek itu yang menjadi daya tarik, melainkan serangkaian peristiwa kelam yang dibuka dengan cara menyajikan (secara tak langsung) adegan-adegan yang “seakan-akan” menjelaskan seperti apa seharusnya perempuan bersikap jika suatu waktu ketiban masalah yang bakal menghancurkan. Lepas di satu sisi persoalan takdir juga jadi perhitungan yang tak bisa dihampakan. Bukan untuk mengajarkan, tetapi artinya—bagaimana  mungkin seorang tokoh lembut seperti Innara Izzatunnisa, yang belia dan hijau, bisa meloloskan diri dari kungkungan iblis yang hadirnya tak diduga-duga. Jauh di negeri orang. Toh ia bukan seorang Kartini yang dikeliling kekuatan material. Bukan Kunti atau Gandari yang ditebari kecemerlangan mahkota singgasana. Innara, hanya seorang tokoh—representasi seorang pekerja migran yang tak tahu apa-apa dan hanya bermodal kepolosan. Gadis desa, sayu, dengan perilakunya yang mendayu.

 

Di titik itulah sebenarnya yang menjadikan novel ini memiliki rasa dahsyat. Hingga menyeluruh. Tak mudah mengusung kepolosan tokoh dengan cara yang total. Kejadian pemerkosaan tak terjadi sebatas yang terjadi. Tapi bagi pembaca yang jeli, bagian inilah (salah satu dari sekian kelembutan tokoh Inna) yang berhasil menyelamatkan keadaan Inna di kemudian hari. Bagian yang tak sekadar menjelaskan buruknya ruang-ruang yang mengarah ke zina apa pun modusnya. Juga pada satu titik terendah ketakberdayaan seorang perempuan, terdapat sebuah hal yang tak boleh lepas dari jiwa. Sesuatu di atas keyakinan. Di atas kepastian-kepastian yang terkeping. Yakni, unsur yang tak semata-mata logos, melainkan revelasi-revelasi yang menyadari bahwa manusia tak akan bisa lupa kekuatan doa, hukum doa, dan hasil doa.

 

Memang lucu argumen ini. Subjektif. Namun perlu ditegaskan, apa yang disajikan oleh Zai selaku penulis, adalah sesuatu yang menjawab seperti apakah keajaiban bekerja? Aspek logos yang tak melulu sebagai aspek tunggal dan tak bisa diganggu gugat? Ataukah ada ruang lain yang bekerja hingga ke tingkat sublim? Inna yang diperkosa dan mahkotanya akhirnya terenggut, memilih calon suami antara orang yang memperkosanya atau orang yang telah mampu dirasakannya dengan cinta, merupakan timbal balik yang mengenyahkan logika hingga ke aspek kritis. Pilihan-pilihan yang Inna aksikan bersama sifat dan sikapnya, segala itu bukan pilihan gampang. Tapi sekecil apa pun kekuatan yang tersisa, selagi itu sesuatu yang benar-benar murni dari dalam jiwa kita, hadiahnya tentu: mengagumkan.

 

Seperti bunyi puisi berjudul “Cinta” yang ditulis oleh perempuan asal Jakarta, Novy Noorhayati Syahfida di bawah ini,

 

ada jejak yang tak terhapus

oleh waktu sekalipun

ribuan huruf menjelma tangis

dalam air mata

dalam secarik pinta

 

Daftar Rujukan

 

el-Kalieqy, Abidah, dkk. 2012. Antologi Puisi Perempuan Penyair Indonesia Kartini 2012. Jakarta: Kosa Kata Kita

Gandhi, Mahatma. 2011. Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial (Terjemahan Siti Farida). Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Setiadi, Tia. 2019. Semesta dalam Satu Tarikan Nafas. Yogyakarta: Diva

Tagore, Rabindranath. 2018. Gitanjali. Ecosystem: Surabaya

Zai, 2021. Di Balik Tirai Malaya. Sumatra Utara: Ujung Pena



[1] Pendiri Komunitas Masyarakat Lumpur dan Dosen STKIP PGRI Bangkalan

Continue reading Sesuatu—(Sifat dan Sikap) yang Paling Lembut akan Bekerja Secara Mengagumkan

28 Januari 2022

,

Semesta Nuh Kun Nun: Membaca Peta dengan Zoom In dan Zoom Out, Mengukur Jarak Darat dan Lautan

Rozekki*

 

Peta Digital dan Koordinat Parental

Membaca puisi merupakan upaya menangkap gambar. Puisi bisa menjadi bacaan yang menarik apabila pembaca berhasil menyusun rangkaian gambar yang ditampilkan penyair (Damono, 2014: 45). Rangkaian gambar itu, tentu saja, bukan gambar potret hasil tangkapan kamera. Gambar-gambar yang ditangkap pembaca merupakan gambar angan yang tersusun dari kata, frasa, atau kalimat. Dalam dunia sastra gambaran itu lazim disebut dengan citraan atau imagery.

 

Gambar angan atau citraan tidak seperti gambar tangkapan kamera yang hanya menampilkan citra visual dan audial. Gambar angan ada bermacam-macam, dihasilkan oleh indra penglihatan, pendengaran, perabaan, pencecapan, dan penciuman (Pradopo, 2017: 82). Kata, frasa, atau kalimat yang berasosiasi dengan penglihatan akan menghasilkan citraan penglihatan; demikian juga kata, frasa, atau kalimat yang berasosiasi dengan pendengaran, perabaan, pencecapan, dan penciuman akan menghasilkan citraan pendengaran, perabaan, pencecapan, dan penciuman.

 

Konsepsi tangkapan gambar ini berlaku umum untuk semua bentuk dan jenis puisi, tidak terkecuali Nuh Kun Nun karya Muhlis Al-Firmany (2021). Ada hal menarik—mungkin lebih tepat dikatakan unik—tentang tangkapan gambar yang diperoleh dari hasil pembacaan lima puluh puisi dalam buku ini. Meskipun tangkapan gambar setiap individu memiliki detail yang berbeda, yang disebabkan oleh sifat dasar seni, seperti yang dikatakan Gie (2004: 43), seni dilakukan oleh individu dan hasilnya juga merupakan individualitas tertentu yang khas. Namun, gambaran umum yang objektif cenderung sama. Paling tidak, hasil pembacaan ini bisa menjadi tawaran model pembacaan terhadap Nuh Kun Nun. Sebuah cara membaca menggunakan model pembacaan peta digital menggunakan fitur zoom in dan zoom out.

 


Membaca puisi “Babak Nusantara” di halaman pertama buku ini, seperti melihat peta digital dengan gambar tangkapan satelit, peta dengan tulisan Indonesia. Jika di-zoom in akan terlihat nama-nama kota. Ada “Sundaland” di halaman dua. Lebih dekat lagi, terlihat pulau Madura dalam “Petani Garam” di halaman dua belas. Pada halaman lima belas, peta kembali di-zoom out, menampilkan citra “Mozaik Khatulistiwa”. Lebih jauh, zoom out membentang samudera, dan bahtera “Nuh” mengapung di halaman tujuh belas. Pada pungkas zoom out, Indonesia hanya noktah dalam luas semesta “Kun”.

 

Setelah “Kun”, zoom in kembali meluncur, menunggangi “Nun” di halaman sembilan belas. Dari titik ini zoom in dan zoom out diseret bergantian dalam gerakan kecil, bergeser sedikit demi sedikit ke titik terdekat. Ada “Kampung Kona” di halaman empat puluh empat. Setelah itu berurutan “Roma Pamolean”, “Taneyan Lanjhang”, dan “Somor Tanto” di halaman empat puluh enam, empat puluh delapan, dan lima puluh. Akhir dari zoom in koordinat parental di halaman tujuh puluh lima dan tujuh puluh tujuh, “Rama(h)” dan “Bu’ Randha”. Ayah dan ibu yang dirindu.

           

Jarak Darat dan Lautan

Kembali ke puisi pertama, “Babak Nusantara”, kembali ke peta Indonesia, citra visual yang memperlihatkan dominasi laut di sekelilingnya. Demikian juga tiga puisi berikutnya, “Sundaland”, “Rempah-Rempah 1” dan “Rempah-Rempah 2” seakan menegaskan bahwa moyang bangsa Indonesia, moyang orang Madura adalah pelaut-pelaut tangguh. Namun, begitu peta di­-zoom in, lautan itu menjadi tidak terlihat. Selanjutnya, yang berdaulat hanya peradaban darat.

 

Jarak dengan lautan itu, secara implisit, juga terlihat pada penggunaan diksi. Puisi-puisi yang membicarakan lautan cenderung menggunakan kata-kata umum. Bandingkan dengan puisi-puisi yang membicarakan daratan, kata-kata yang Muhlis pilih memiliki kesan yang lebih khas dan intim. “Preghi”, “Kolla”, “Andeng”, dan beberapa puisi lain memperlihatkan keintiman, ketidakberjarakan itu.

 

Menurut Rendra (Maulana, 2012: 68), puisi adalah penghayatan dari pengalaman. Ia tidak bisa ditulis berdasarkan khayalan semata. Namun bukan berarti puisi-puisi yang ditulis berdasarkan sumber bacaan dan tuturan tidak memiliki nilai guna dan daya estetik. Sumber bacaan dan tuturan bukanlah khayalan, meskipun bukan juga pengalaman yang primer. Puisi-puisi semacam itu lebih menekankan pada fungsi komunikatif. Ia menjadi semacam jembatan penghubung—meskipun rawan dan rapuh. Atau, paling tidak, menggunakan istilah Acep Zamzam Noor (2011: 191), menjadi puisi yang mengingatkan.

 

Daftar Pustaka

Al-Firmany, Muhlis. 2021. Nuh Kun Nun: Puisi Sehimpun. Yogyakarta: Istana Media.

Damono, Sapardi Djoko. 2014. Bilang Begini, Maksudnya Begitu: Buku Apresiasi Puisi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Gie, The Liang. 2004. Filsafat Seni: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Pusat Belajar Ilmu Berguna (PUBIB).

Maulana, Soni Farid. 2012. Apresiasi dan Proses Kreatif Menulis Puisi. Bandung: Nuansa Cendekia.

Noor, Acep Zamzam. 2011. Puisi dan Bulu Kuduk. Bandung: Nuansa Cendekia.

Pradopo, Rachmad Djoko. 2017. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

 

 

 

*Pembina Komunitas Masyarakat Lumpur dan tenaga pengajar Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesi STKIP PGRI Bangkalan.

Continue reading Semesta Nuh Kun Nun: Membaca Peta dengan Zoom In dan Zoom Out, Mengukur Jarak Darat dan Lautan