Muhri
Cerita yang ingin saya sampaikan ini bermula dari acara FGD A remoh di Restoran Dapur Sambal ringroad selatan kota Bangkalan. Pak Chairul (Chairul Anwar, pelukis) menyapaku dengan, “Senin datang ya ke Pendopo Pratanu? Pameran.” Sebelumnya beliau bertanya, “Sudah diberi tahu Helmi?”.
Saya menjawab dengan insyaallah
seperti biasanya basa-basi. Sebuah undangan penting. Bagi saya suatu kebanggaan
menerima undangan dari senior. Pengakuan bahwa saya dianggap ada. Pengakuan terhadap
eksistensi. Kebahagiaan juga. Bahagia sebab kegiatan kesenian di Bangkalan masih
ada. Meski tidak terlalu banyak jumlahnya.
Sebenarnya, saya sudah tahu acara
ini. Ada di Facebook resmi Komunitas Masyarakat Lumpur. Tema acara dalam bahasa
Inggris “From The Stage History of Madura 2023”. Mungkin terjemahannya “Dari
Panggung Sejarah Madura 2023”. Nama acara dalam bahasa Inggris Chairul Anwar Solo
Exhibition. Mungkin artinya Pameran Tunggal Chairul Anwar. Acara ini
dilaksanakan pertama kali di Bangkalan Senin, 16 Januari 2023. Rencananya akan
dilaksanakan di enam kecamatan. Bangkalan merupakan pembukaan. Selanjutnya Arosbaya.
Empat lokasi lainnya adalah Socah, Kamal, Kwanyar, dan Klampis.
Malam Minggu, 2 hari sebelum
acara sebuah pesan WA berisi undangan dikirim oleh Helmy (M Helmy Prasetya,
sastrawan). Resmi dengan kepala surat Komunitas Masyarakat Lumpur. Tertera bahwa
acara pembukaan pameran pukul 10. Saya tentu datang terlambat. Tempat mewakili
alasan keterlambatan.
Ternyata benar. Acara baru
dimulai menjelang pukul 12. Menunggu Plt Bupati Bangkalan untuk membuka acara. Saya
tidak akan bercerita tentang ini. Pasti membosankan. Singkat cerita, acara pembukaan
berlangsung lancar. Acara inti gunting pita. Simbolis, pembukaan pameran oleh
Plt Bupati Bangkalan. Saya tetap tidak beranjak dari kursi acara. Menunggu acara
formal(itas) dengan pejabat selesai.
Setelah sebagian besar pejabat
meninggalkan tempat, dengan santai, saya menuju area pameran. Lihat satu per
satu lukisan yang terpajang. Tak satu pun saya mengerti. Tidak ada bentuk real
yang terlihat. Mungkin ini lukisan abstrak. Bagiku absurd. Sebab tidak bisa
kumengerti. Namun, aneh. Warna-warna itu tetap menarik untuk dilihat. Mungkin kepalaku
lebih sering men-decode lambang-lambang konkret. Mungkin pula hanya
tidak terbiasa dengan lambang-lambang abstrak. Mungkin juga lukisan jenis ini
memang tidak untuk dimengerti.
Secara otomatis ada gerakan bawah
sadar. Mungkin ranah rasa bicara. Mungkin pula alasan lain. Yang jelas
gambar-gambar itu menarik untuk dilihat. Ada nuansa rasa ketika melihat
perpaduan warna, bentuk-bentuk absurd. Kemudian aku terbawa pada ruang-ruang
imajinasi. Imajinasiku sendiri. Judul lukisan jadi tidak relevan bagiku. Mungkin
hal ini sama dengan yang dirasakan kakekku saat membaca tulisan Arab Alquran setiap
malam. Mulai lepas Isya sampai pukul sembilan tiap hari sampai menghadap Tuhan.
Meski sama sekali ia tak mengerti apa yang dibaca, sepertinya beliau
menikmatinya. Sayangnya, saya tidak memiliki cara yang sama dengan kakek. Ada banyak
yang saya suka sehingga beberapa saya harus mengabaikannya.
Sebelum pulang, saya duduk-duduk
dengan beberapa teman junior (alumni) Komunitas Masyarakat Lumpur. Ngobrol banyak
hal yang ringan-ringan saja. Hanya sekedar menjaga keakraban. Isi sepertinya
tidak penting. Khoiri, Joko, Hayyul, Nike dan beberapa orang yang lain. Joko masih
dengan idealismenya. Idealisme yang mulai bertarung berebut kuasa diri melawan realitas.
Dia menceritakan banyak hal yang terlewat selama kami tidak bertemu. Tentang rumah,
keluarga, karya, dan hal-hal lain. Saya tidak ingat semua. Saya hanya mendengar
dan sesekali berkomentar.
video acara (dari saluran resmi Komunitas Masyarakat Lumpur)