M. Helmi, M. Pd
Lukisan Joko Sucipto yang menjadi penjelasan
tulisan ini saya pikir berjudul "Hematoma". Tapi rupanya saya salah,
sebab pada lukisan itu, tak ada sama sekali warna merah sebagai unsur kunci
dari apa yang disebut pecahnya pembuluh darah di otak. Obsesi lain yang coba
saya tangkap adalah ia memihak tiga lubang udara untuk menerjemahkan lukisan
karya Jean Michel Basquiat yang mahal amat harganya.
Pernah suatu malam saya lihat Joko Sucipto geleng-geleng kepala ketika membaca artikel tentang seperti apa lukisan termahal di dunia. Ketika harga Rp 1,48 trilliun menerpa kepalanya, tiba-tiba ia ingin membahasakan ada kalimat apa di dalam lukisan berjudul "Intitled" yang menjadi koleksi orang banyak duit macam Yusaku Maezawa itu, sehingga begitu menjulang ke langit dan membuat pikirannya amit-amit.
Rupanya, ketertarikan pada lukisan yang dibuat
pelukis yang mati misterius tahun 1988 karena overdosis itu, ia coba
mengaitkannya dengan tiga lubang yang dibuat mengambang. Seperti maksud-maksud
yang ia ingin cari dari warna kuning telinga, serta warna hitam lubang mata dan
hidung.
Bagi Joko Sucipto, ia mencari telinga yang tak
tampak pada lukisan Basquiat. Juga mengapa pada mata dan hidung diberi warna
terang. Pada lukisan penulis buku puisi Klonnong
ini, justru telinga, hidung, dan mata yang kuat-kuat diberi tanda makna.
Katanya kuning adalah kemuliaan-kemuliaan yang ia artikan gemilang. Semua yang
menerpa telinga, yang tercapai dari dengar harus bisa dipastikan baik.
Jadi bisa mungkin begitu kenapa pada lukisan
"Intitled" bagian telinga sangat begitu dilindungi. Hanya telinga
yang bisa menghindari yang apa yang tak bisa dihindari oleh mata dan hidung
(sehingga keduanya hitam). Telinga punya insting tak peduli. Sedang mata dan
hidung tidak. Artinya, bagi fungsi hidung dan mata yang melekat di kepala,
dianggap oleh Joko Sucipto tak bisa lari dari godaan udara sekaligus yang
memvisual di depan mata.
Demikian itulah, hidung dan mata tak bisa
mengalihkan diri dari sesuatu yang buruk datang. Karena mata begitu cemerlang
memandang, dan hidung begitu ulung menggulung udara hingga mampu mempekerjakan
jantung. Mungkin, pelukis yang kecanduan heroin itu, menurut Joko Sucipto,
seolah berpesan di balik kementerengan mata dan hidung (pada lukisan diwarnai
warna nyala), termuat pesan semacam tipu daya. Bahwa yang terang adalah sasaran
"binatang-binatang" jahat yang tak terlihat untuk menjadikannya sarang,
sehingga kemudian dengan sangat cepat menjadi buruk, menjadi kutuk, dan gelap,
dan lenyap.
“Mata manusia, kan demikian.” Mudah
terperangkap, dan hidung tak mampu jadi pelindung. Kekacauan-kecauan seperti
itulah yang mungkin terjadi dalam lukisan tengkorak karya Basquiat itu. Meski
anggapan ini masih sementara. Sementara, seperti yang tampak pada lukisan
tengkorak Joko Sucipto, yang dibuatnya hanya untuk membangun kata-kata, yang
dicarinya di seluruh penjuru ketika. Terutama ketika ia memikirkannya. Tentang
lukisan yang amat mahal harganya.
"Kalau saya paksa pikirkan terus, bisa pecah
pembuluh darah di otak saya," katanya cengengesan sambil menutup resleting
celana yang lupa tak ia tutup bersama akar-akar yang tampaknya sangat semrawut
menggelayut.