Hari Minggu, 13 Juli 2025. Berangkat dengan Roz ke Resto Dhin Aju Suramadu. Naik sepeda motor.
Saya bonceng di belakang. Sambil ngobrol berat sesuai dengan bunyi shockbreaker
yang sepertinya kelelahan menahan beban. Tentu dengan gojlokan. Ya sepeda
Blade itu tampak tidak kuat menahan beban kami yang di atas 70 dan 80 kg.
Setiba di sana saya sadari belum banyak yang hadir. Salaman dengan Lukman,
pemateri dari Jawa Pos Radar Madura. Kami duduk di luar. Cukup lama sebelum
saling mengajak untuk masuk. Acara baru mulai pukul 09.50.
Setelah menyanyikan lagu indonesia raya, acara dilanjutkan dengan sambutan
dari Disbudpar Bangkalan yang diwakili Hendra Gemma. Sambutan selanjutnya oleh
Muhlis sebagai penerima hibah dan pengundang.
Acara FGD dimulai setelah sambutan. Materi pertama Muhlis dengan
menyajikan beberapa slide dengan tulisan, gambar, dan rekaman film.
Isinya tentang “ritual” ngemis[1]
yang ternyata berisi syair. Dalam slide itu juga tertulis mamaca
sebagai sastra lisan. Untuk mamaca sudah pasti bukan sastra lisan sebab
pasti ada teks. Sedangkan syair secara umum berasal dari tradisi tulis, baik
syair arab maupun syair melayu. Muhlis mengargumenkan kata anonim sebagai
patokan. Padahal dalam tradisi tulis pun juga terdapat ciri anonim juga. Selain
itu, ada sifat dinamis yang menunjukkan bahwa tradisi lisan sebagian besar
bukan hafalan. Yang diwariskan hanya pakem, misalnya seperti wayang,
mendongeng, dsb. Jadi dalam konteks penelitian tersebut, syair yang dibawakan
adalah tradisi lisan yang diwariskan tanpa teks dan bersifat anonim.
Selanjutnya Pak Hidrochin Sabarudin. Syair Reng Emmès sebagai
pembahasan. Terjadi kerancuan istilah sebenarnya. Ngemmès pada dasarnya
berasal dari kemmès. Dalam bahasa Indonesia pengemis dan mengemis
memiliki akar kata yang sama kemis, dari bahasa Arab yang menamai hari kelima
dalam bahasa tersebut yaitu khamis. Dengan penelitian ini menjadi makin
jelas bahwa ngemmès itu merupakan verba turunan dari kemmès,
misalnya meminta-minta di kuburan pada kamis malam jumat atau dalam konteks FGD
ritual malam kamis. Dalam bentuk nomina kemmèsân. Sebentuk dengan ahadhân,
sennènan, rebbhuwân, jhum’adhân, dsb yang berarti diadakan
rutin pada hari tersebut.
Ahmad Faishal (Acong) menyampaikan dari sudut pandang dramaturgi.
Saya tidak setuju bahwa ngemmès pada hibah ini merupakan dramaturgi
dalam arti khusus. Namun, menjadi masuk dan klik mengingat konteks acaya yang
berbentuk FGD. Mendalami fokus kajian dari berbagai sudut pandang. Apalagi
ketika Acong menyajikan data pembanding dalam slide-nya. Sayangnya,
tidak ditampilkan data teks ritual. Tidak disampaikan bentuk data apakah syair,
berbahasa Madura atau bukan?
Lukman menyajikan presentasi yang lebih umum. Tentang banyak hal
yang berkaitan dengan budaya Madura secara umum. Termasuk pernyataan bahwa anak
sekarang sudah berbeda. Tentu tentang budaya Madura timur yaitu Sumenep.
Sesi selanjutnya adalah diskusi. Respon pertama sebuah pertanyaan.
Padahal FGD merupakan diskusi dalam fokus tertentu. FGD merupakan forum dikusi
kelompok terpumpun yang merupakan salah satu cara untuk memperoleh data atau
memvalidasi data kualitatif. Peserta FGD seharusnya dari latar belakang majemuk
yang berkaitan dengan fokus pembicaraan. Jumlah peserta seharusnya tidak
terlalu besar.
Saya mendapat giliran kedua. saya menanggapi ngemmès dari
sudut pandang etimologi. Ngemmès sebenarnya terkait dengan ritual
tertentu, misalnya peminta-minta di makam keramat, dsb. Kemudian istilah ini
diberlakukan pada semua peminta-minta. Padahal kata ngemmès sendiri
berasal dari bahasa Arab. Artinya, masuk sebagai bagian dari penyebaran Islam.
Lalu tidak adakah peminta-minta sebelum itu. Ada. Tapi tradisi ngemmès
ini diperkirakan terjadi setelah kemerdekaan. Sebab pada masa kolonial, Belanda
sangat sensitif dengan orang berkumpul. Selain itu, dalam kamus Madura-Belanda
kata kemmès hanya berarti hari yaitu donderdag ‘Kamis’.[2]
Definisinya pun singkat. Tidak ada bentuk turunan dalam lema tersebut. Saya
sempat mencari di lema lain. Kata ngemmès sebagai lema juga tidak saya
temukan. Ternyata ada di mès atau emmès dengan lema tersendiri.[3]
Lalu untuk peminta-minta yang datang ke rumah-rumah? Bukan hari
atau malam kamis? Bhurmaèn. Dalam kamus tertulis bhurumaen atau bhuru’maèn.
Dalam bahasa Sunda bermaen.[4]
[1] Tulisan yang benar ngemmès
[2] H.N. Kiliaan, Madoereesch-Nederlandsch
Woordenboek Eerste Deel, (Leiden: E.J. Brill, 1904), p.269
[3] H.N. Kiliaan, Madoereesch-Nederlandsch
Woordenboek Tweede Deel, (Leiden: E.J. Brill, 1905), p.200
[4] S. Coolsma, Soendaneesch-Hollandsch Woordenboek, (Leiden: Sijthoff, 1884),
p. 42