Muhri
Mengulas bahasa Madura secara
diakronis menjadi menarik ketika penelitian saat ini cenderung pada yang “terbaru”.
Kata ini problematik sebab tak ada yang benar-benar baru dalam penelitian. Mungkin
yang dimaksud adalah novelty. Kebaruan. Ada kualitas yang terasa baru
atau tidak biasa. Tentu objek lama bisa dirasakan kebaruannya. Baiklah kita
kesampingkan hal tersebut. Kita buka kembali perbendaharaan lama dari langue
orang Madura. Malu.
Saya akan mengabaikan malu
dalam budaya. Kita akan masuk pada malu dalam nama. Dalam nahwu ‘alam jins.
Dua kata dari flora dan fauna. Lo-malo dan râng-birâng. Putri malu
dan luing atau kaki seribu.
Toḍus merupakan hipernim dari
beberapa kata malu dalam bahasa Madura barat. Hiponimnya malo, sengka,
cangkolang, dsb. Kaitan dengan dua kata ulang di atas?
Lo-malo [lo.ma.lo] berasal
dari malo dengan [o]. Kata ini berbeda dengan malo [ma.lɔ(h)] dengan bunyi [ɔ] yang
bermakna kultural. Lo-malo merupakan serapan dari bahasa Melayu malu. Disebut
malu-malu sebab tumbuhan ini mengatupkan daun dan rantingnya ketika disentuh. Menghasilkan
personifikasi yang mirip dengan manusia ketika malu yang cenderung menutup muka
atau masuk ke ruangan untuk menghindar. Kata ini hanya digunakan dalam penamaan
dan tidak ditemukan dalam kategori dan bentuk yang lain. Untuk menyatakan malu
orang Madura barat menggunakan kata toḍus.
Kata selanjutnya adalah râng-birâng.
Sudah bisa diduga bahwa kata ini serapan dari bahasa Jawa wirang ‘malu’.
Bunyi w menjadi b dan a menjadi â. Seperti juga putri
malu, kaki seribu akan melingkarkan tubuhnya ketika diganggu sebagai bentuk
pertahanan diri. Seperti malo, birâng juga tidak digunakan dalam
kehidupan sehari-hari selain sebagai nama. Kata ini bersinonim dengan kata toḍus.