27 Januari 2025

,

FORMALISME RUSIA

 

Latar Belakang

Formalisme adalah teori dan analisis sastra yang berasal dari Moscow dan St. Petersburg. Teori ini muncul pada dekade kedua abad kedua puluh. Karena berasal dari rusia, teori ini disebut formalisme rusia. Di antara tokoh sentral gerakan teori ini adalah Boris Eichenbaum, Viktor Shklovsky, dan Roman Jacobson (Abrams and Harpham 2015:141–42).


Ketika model kritik ini ditekan oleh pemerintah soviet pada 1930-an pusat gerakan ini pindah ke Cekoslowakia. Gerakan ini diteruskan oleh Lingkar Linguistik Praha dengan tokohnya Roman Jakobson, Jan Mukarovský, dan René Wellek. Pengaruh Wellek dan Jacobson meluas sampai ke Amerika ketika mereka mengajar di beberapa universitas Amerika pada 1940-an (Abrams and Harpham 2015:142).

Konsep Dasar

Formalisme berpandangan bahwa bahasa sastra berbeda dengan bahasa biasa. Bahasa biasa mengkomunikasikan pesan dan informasi pada pendengar dengan mengacu pada dunia di luar bahasa. Bahasa sastra, di sisi lain, menghadirkan bahasa yang mengandung unsur kebersastraan (literariness). Dalam hal ini, Roman Jacobson menyatakan bahwa objek studi sastra bukan karya sastra tetapi kebersastraan (Abrams and Harpham 2015:142).

Karena berbeda dengan bahasa biasa, bahasa sastra menurut Viktor Shklovsky merupakan  hasil estrange atau defamiliarize. Dalam kesastraan Indonesia disebut dengan istilah defamiliarisasi. Defamiliarisasi ini dipakai oleh penulis untuk menghadirkan sensasi baru yang lebih segar (Abrams and Harpham 2015:143).

 

Daftar Pustaka

Abrams, M. H., and Geoffrey Galt Harpham. 2015. A Glossary of Literary Terms. 11th ed. Boston: Cengage Learning.

 

Disusun Muhri untuk materi kuliah

Continue reading FORMALISME RUSIA

20 Januari 2025

, ,

MALU DAN MEMALUKAN: TOḌUS, TONA

 

Yâsinan. Ternyatan tidak hanya baca yasin. Ada juga pembacaan salawat diiringi hadrah.  Gampangnya begitu. Seperti juga tahlilân. Tidak hanya bacaan tahlil. Ada yasin, salawat, zikir, dsb. Kita tidak bicara itu. kita bicara acara makan-makan setelahnya. Disclaimer: kami membaca untuk Allah bukan untuk berhala ya. Soal Allah terima atau tidak itu sepenuhnya di Tangan-Nya. Soal ada yang membid’ahkan itu urusan mulut masing-masing. Saya abaikan. Sebab pernyataan penonton tidak menentukan juara. Hanya juri yang lebih tahu. Dan, juri amalan saya tak usah saya sebutkan. Anda semua pasti sudah tahu. He he he...



To the point saja. Poinnya? Oh iya. Judul. Baiklah saya akan bercerita.

Waktu itu, seingat saya, yasinan diadakan setiap malam Minggu. Maunya saya tulis Ahad. Tapi, sudahlah Minggu resmi dari pemerintah. Malam Jumat untuk perempuan. Dari rumah ke rumah. Tentu rumah anggota. Langkap barat. Saya ikut yasinan langkap barat. Sorenya pasang toa. Jauhari ahlinya. Naik pohon, perbaikan, dsb. Saya? Tim hore. Kadang tukang panggul dari masjid ke TKP.

Ketika sampai di masjid setelah pemasangan, sering kali ada pertanyaan bocoran. Apa kedi’? ‘Apa nanti malam?’ Dan itu selalu mengarah ke “Makan apa kita nanti malam?” Disclaimer lagi. Ini tidak terkait dengan datang atau tidak datang. Hanya gurauan. Sebab, setelah ada jawaban, kami tertawa bersama-sama. Apa pun hidangannya nanti malam.

Yasinan dimulai setelah maghrib. Geng masjid berangkat semua. Saya sebut anggotanya. Biar tak penasaran. Abdul Halim, Anas, Basri, Hamzah, Idris, Jauhari, Ros, dan Seli. Tentu saya juga. Anggota istimewa Barmawi dan Ridwan. Menjelang isya salah satu pamit pulang ke masjid untuk azan. Setelahnya langsung kembali ke TKP. Begitu selalu. Salat setelah pulang. Tentu berjamaah. Acara dimulai dengan pembacaan yasin lalu salawat nariyah dilanjutkan salawat barzanji dengan hadrah. Tentu dengan mahal al-qiyām alias berdiri. Sambil goyang-goyang kecil. He he he..

Ramah tamah. Eh salah. Makan-makan. Dan... ini saat krusial. Terutama kami bagian ujung lingkaran. Kanan atau kiri. Jika ada tujuh orang, piring bisa delapan, sembilan, dan seterusnya. Tuan rumah? Hanya tersenyum dan pura-pura tak melihat. Dan siapa yang makan lebih dari satu? Ada di antara kami yang menawarkan. Itu pemantik saja. Yang lain mengambil piring kedua. Bahkan, ketiga. Sambil tersenyum dia berkata, “Toḍus, tona.” Artinya, ‘Malu, rugi.’ Itulah mantra yang melancarkan rizki. He he he...

Pelaku tidak malu. Sebab, ini sama sekali tidak memalukan. Suasana akrab dan menyenangkan memberi ruang. Ruang kejujuran dan apa adanya. Bahkan jika tuan rumah melihat ada kelebihan piring makan yang belum termakan, ia akan berkata, “Ayo tamba. Ongghu.” ‘Ayo tambah. Sungguh.’ Maksudnya tuan rumah tidak sekedar basa-basi menyuruh kami nambah jatah. Ia senang jika suguhannya dimakan oleh yang hadir.

Setelahnya, pengurus menyebutkan siapa giliran malam minggu berikutnya. Lalu ditanyakan OK atau not OK. He he he.. Ini bahasa saya. Jumlah akhir kas juga disebutkan. Kami bubar dengan slawât dongkra’. Secara harfiah berarti salawat dongkrak. He he he... Maksudnya allahumma shalli ‘ala muhammad. Yang dijawab dengan salawat pendek oleh yang lain secara bersama-sama. Salawat ini meringankan pantat naik untuk berdiri. Sebab, tidak nyaman untuk pulang lebih dahulu sebelum yang lain. Mirip dongkrak yang bisa mengangkat barang berat.

Tentu kami tidak bisa pulang lebih dulu. Kami harus menurunkan toa, mencabut semua kabel dari ampli. Termasuk menggulung kabel listrik, kabel mik, dsb. Lalu kami bawa kepenyimpanan di ruangan samping pengimaman. Kami tidur di serambi luar masjid dengan alas tikar pandan yang dibawa dari pemakaman, pembungkus mayat. Tentu setelah dicuci.

Wallahu a’lam bis sawab.

Continue reading MALU DAN MEMALUKAN: TOḌUS, TONA

27 Oktober 2024

,

PAGAR ASRI:[1] DAYA HIDUP SASTRA BANGKALAN

 Muhri

STKIP PGRI Bangkalan

 

Pagar Batin: Jati Diri Sastra Bangkalan

Sastra Indonesia modern Bangkalan telah ada sejak 1960-an. Pelopornya R. Syarifuddin Dea yang dikenal oleh sastrawan Bangkalan dengan nama panggilan Babe. Penulis lain adalah Pak Narto dengan nama pena Rasnavastara.[2] Generasi pertama ini agak sulit ditelusuri mengingat pada generasi ini minim arsip dan publikasi.

Sastra Bangkalan sebagian besar tidak ditulis oleh kaum santri. Hal ini berbeda dengan sastra Indonesia di Sumenep. Seniman Bangkalan awal sebagian besar dari kaum ningrat yang memiliki akses pada pendidikan formal. Generasi berikutnya dari sekolah-sekolah negeri yang memiliki komunitas seni. Komunitas sekolah ini menghasilkan tokoh-tokoh generasi kedua seperti Ribut Rahmat Jaya, Sunar Dwigjo Wahono, Sonny T. Atmosentono, R. Timur Budi Raja, M. Helmy Prasetya, dsb. Kiprah generasi kedua ini pada masa sebelum 2000, kira-kira 1990-an.

Meski-sudah aktif sebelum tahun 2000-an, hampir semua penerbitan karya dilakukan setelah tahun 2000. Karya yang terbit sebelum itu adalah Anak Beranak (R. Syarifuddin Dea dan R. Timur Budi Raja, 1998) dan Nyanyian Tanah Kering (Antologi Bersama, 1999)[3]. Pelacakan karya bisa dilakukan dengan melihat angka tahun misalnya pada puisi yang dicantumkan dalam buku.

Generasi ketiga lahir di perguruan tinggi, terutama di STKIP PGRI Bangkalan. Generasi ketiga melahirkan penulis-penulis seperti Rozekki, Anwar Sadat, Muzammil Frasdia, Muhlis Alfirmany, Eko Sabto Utomo, Andi Moe, dsb. Jika generasi sebelumnya, sebagian besar berasal dari sekitar kota bangkalan, generasi ketiga ini berasal dari berbagai penjuru kabupaten Bangkalan.

Pada generasi ketiga ini, ada sastrawan Bangkalan yang secara sejarah agak berbeda latar belakang. Salah satunya Ahmad Faishal (Acong). Acong memang berasal dari kabupaten Bangkalan. Ia menempuh pendidikan sampai setingkat SMA di Bangkalan. Akan tetapi, dalam bersastra, ia berproses di Surabaya. Ia pernah menjadi ketua Teater Gapus dari kampus Unair Surabaya.

Di sisi lain ada Buyung Pambudi. Bermula dari jurnalis JTV yang ditugaskan di Madura, BP berasal dari Pati Jawa Tengah. Bukan orang Madura, tetapi mulai menulis sastra di Madura. Sebenarnya, kiprah BP sudah sejak tahun 2000-an. Namun dosen di STKIP PGRI Bangkalan ini menulis buku pertamanya pada 2016. Tulisan sastra pertama dosen yang berbahasa Madura ini berupa memoar, based on true story, berjudul Cinta di Kaki Bukit Baiyun[4]. Buku ini bercerita tentang perjalanan penulis mengantar istrinya berobat ke negara China.

Generasi keempat diisi oleh penulis-penulis mahasiswa. Sebagian besar menulis hanya sebagai ekspresi eksistensi diri. Bukan sebagai hobi apalagi sebagai jalan hidup. Karena kemudahan publikasi, generasi ini paling banyak menghasilkan buku sastra. Hal ini ditunjukkan dengan terbitnya 45 buku puisi pada 2016 dan 37 buku puisi pada 2017. Buku-buku tersebut diterbitkan dalam euforia Festival Puisi Bangkalan pertama dan kedua.

 

Pagar Diri: Kekuatan Sastra Bangkalan

Menilik penjelasan sebelumnya, masa depan kesusastraan Bangkalan masih bisa diharapkan. Sejak sastra Bangkalan ada dan berkembang, tidak kurang dari 40-an penulis telah menyumbangkan ide dalam bentuk tulisan. Sejak 1998 sampai hari ini selalu ada karya yang terbit pada tiap tahun sampai 2022. Pada 2023 memang tidak tercatat ada karya yang terbit. Namun kosongnya catatan tersebut tidak menunjukkan bahwa tidak ada karya yang terbit pada tahun tersebut. Data yang saya sajikan pada chart ini hanya data dari komunitas Bangkalan, terutama KML, Komunitas Bawah Arus, dan Kopi Lembah. Data ini belum memasukkan sumber dari Kalam Literasi Kwanyar (KLK) yang tetap aktif sampai hari ini. Sebagian besar karya KLK dalam bentuk prosa

Berikut disajikan diagram terbitan buku sejak 1960-an sampai dengan 2024. Daftar lengkap sastrawan Bangkalan dan karya-karya mereka bisa dibaca dalam Historiografi Ringkas Kesusastraan Bangkalan.

 

Jumlah terbitan dari 1966-2024

 

Diagram tersebut menunjukkan kesusastraan Bangkalan terus berlangsung. Perkembangan produksi sastra, meski fluktuatif, juga terus berjalan. Kepesertaan dalam event sastra juga terus terjadi dan mengindikasikan kepenulisan sastra di Bangkalan terus berlangsung. Terakhir Rozekki menjadi juara III Penulisan Cerpen Tingkat Internasional Piala HB Jassin 2024. Berikut daftar prestasi individu penulis Bangkalan.


2024    Rozekki “Kampung yang Dikuasai Sapi” Juara III Penulisan Cerpen Tingkat Internasional Piala HB Jassin

2023    Eko Sabto Utomo Burdah nomine sayembara buku puisi tunggal Kanjeng Nabi Muhammad SAW yang diadakan oleh penerbit DIVA Press

2017    Rozekki Fragmen Pasar Burung 13 Naskah Teater Terpilih Rawayan Award 2017 (tanpa pemenang)

2016    Joko Sucipto Klonnong Penulis Emerging Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2016

2016    Suryadi Arfa 10 besar dalam seleksi antologi nasional Klungkung: Tanah Tua, Tanah Cinta[5]

2013    Muzammil Frasdia Pilkada 10 Besar naskah drama terbaik versi Federasi Teater Indonesia di Taman Ismail Marzuki

2004    Rozekki Lomba Menulis Naskah Monolog Budaya Antikorupsi Tempo

 


Daftar tersebut hanya menyajikan sebagian kecil dari keaktivan penulis Bangkalan dalam peristiwa-peristiwa seni. Meski bukan menjadi tolok ukur utama, sistem seleksi ini menunjukkan bahwa sastrawan Bangkalan diakui dalam dunia sastra di Indonesia. Tentunya, kualitas sastra tidak diukur dari menang atau tidaknya sebuah karya dalam sabuah event kompetisi.


 

Pagar Luar: Potensi Jangka Pendek

Dalam perjalanan panjang kesusastraan Bangkalan, kekuatan sastra Bangkalan pada jenis puisi. Sebagian besar masih bercorak liris. Hanya penulis puisi yang sudah matang yang mengeksplorari corak naratif dan dramatik. Unsur tema masih seputar filosofi hidup, ungkapan keindahan yang romantik, dan pseudoetnografi dari buku-buku etnografi Madura yang cenderung generalistik. Tema cinta masih dominan pada dekade 2000-an. Tema cinta mulai berkurang dan sedikit meluas pada hal-hal lain pada dekade setelah 2010. Tema politik juga seperti menjadi tabu yang seolah “haram” dalam puisi.

Ditinjau dari publikasi, terdapat banyak publikasi yang bisa dijangkau untuk saat ini. Penerbitan lokal yang bisa diakses dengan biaya relatif murah adalah STKIP PGRI Bangkalan press dan penerbit Komunitas Masyarakat Lumpur. Dari kedua penerbit, KML hari ini masih dalam pembenahan sehingga belum bisa menerima penerbitan buku.

Terbitan berkala belum tersedia dengan baik. Terbitan cetak yang pernah ada Buletin Komunitas Masyarakat Lumpur. Tidak ada terbitan berkala cetak dari komunitas lain. Buletin ini hanya terbit tiga kali. Dari pertanyaan akrab pada pengurus, masalah terbesar pada pengelola. Untuk KML yang waktu itu memiliki pengurus dalam jumlah besar, motor penggerak buletin hanya Joko Sucipto. Selain itu, kontributor dan skema rubrik juga sulit dikembangkan. Dari dua terbitan, rubrik buletin cenderung berubah.

Media daring yang tersedia juga tidak banyak. Terutama media yang cenderung terstruktur dengan baik. Media YouTube, misalnya, yang tersedia hanya dari Komunitas Masyarakat Lumpur. Yang lain menggunakan nama pribadi seperti Sanggar Lukis Lebur memakai nama pendirinya yaitu Anwar Sadat. Demikian Komunitas Bawah Arus tidak punya kanal YouTube. Yang ada hanya kanal bernama Timur Budi Raja.

Media daring yang berbentuk web juga tidak banyak. Salah satunya ruangbudaya.com yang saya dirikan. KML pernah membuat media web dan tidak dilanjutkan lumpurkomunitasmasyarakat.blogspot.com. Setahu saya, situs ini dibuat oleh Suryadi Arfa pada 2016. Tidak ada unggahan pada web blog ini. Hanya ada sebuah laman berisi profil.

Pada media sosial facebook, hampir semua komunitas memiliki akun. Akun Kalam Literasi Kwanyar bernama Klk Kalam Literasi Kwanyar. Akun Komunitas Kopi Lembah bernama Paguyuban Seni Kopi Lembach. Akun ini juga memiliki satu laman facebook bernama Kopi Lembah yang post terakhirnya tahun 2021. Yang terkuat di antara semua adalah Komunitas Masyarakat Lumpur. Nama akun Masyarakat Lumpur, tanpa komunitas.

Meskipun keterbacaan media sosial penting, keamanan data dan keberlangsungan tetap dimiliki oleh situs web. Ada banyak alasan. Pertama struktur unggahan yang lebih mudah ditelusuri dengan widget kategori dan menu. Kemampuan menyimpan file digital atau pengutipan dari url tertentu. Ketersediaan di mesin pencari web juga menjadi keunggulan situs web dibandingkan dengan sosial media. Yang terpenting dari semua adalah kelayakan dalam sitasi keilmuan. Apalagi jika komunitas tersebut menyediakan terbitan berkala dalam bentuk majalah, tabloid, buletin, atau terbitan berupa buku. Tidak harus ber-ISBN.

 

Pagar Kampung: Potensi Jangka Panjang.

Selain kurangnya publikasi konvensional, perlu juga disampaikan bahwa masa depan sastra tidak bisa mengabaikan aspek digital. Aspek ini dalam banyak komunitas dianggap tidak penting dan kurang relevan. Sebagai seni digital memang dianggap tidak “tulen”, tradisi populer, tidak mendukung peradaban yang baik, dsb. namun, Pada sisi konservasi, digitalisasi menjadi aspek kunci dari pengarsipan.

Selain itu, sastra juga harus mengikuti perkembangan pembacanya agar tidak terasing dari dunia nyata. Aplikasi digital seperti Wattpad misalnya tetap bisa menjadi media untuk menulis sastra serius. Meski mengindikasikan popularisme, media seperti wattpad tetap tidak menolak sastra serius. Salah satu yang sukses dengan media daring adalah Agnes Davonar yang memulai debutnya di friendster lalu blog pribadi. Karya monumentalnya Surat Kecil Untuk Tuhan.[6]

Selain itu, pengabadian selama ini hanya dilakukan dengan media ilmiah dalam bentuk karya ilmiah mahasiswa berupa skripsi, tesis, dan disertasi, penelitian ilmiah dalam jurnal penelitian, dan bentuk lain yang memiliki jarak signifikan dengan pembaca umum. Salah satu tulisan penting yang mendekatkan adalah terbitan-terbitan digital yang bisa diakses dengan mudah. Fiksi fan Indonesia misalnya bisa menjadi alternatif pengabadian karya. Jika musik dinyanyikan kembali, sastra ditulis kembali oleh penggemarnya. Dengan tidak mengabaikan hak cipta, fiksi fan atau fiksi penggemar bisa menjadi salah satu pilihan untuk belajar menulis.

Akhirnya, sebuah daya hidup akan menua ketika tidak mengikuti perkembangan sumber kehidupan. Digitalisasi, publikasi multimedia, trasformasi karya dapat menjadi penopang yang menguatkan dan mensolidkan semua bangunan inti dari sastra dan kesenian. Tanpa itu, sebagus apa pun sebuah karya akan aus dimakan zaman. Yang terpenting regenerasi yang baik dan maju dan di sisi lain produksi, reproduksi, dan konservasi.

 

Daftar Pustaka

Muhri, and Eli Masnawati. Historiografi Ringkas Kesusastraan Bangkalan. Bangkalan: Komunitas Masyarakat Lumpur, 2018.

Muhri, Muhri. “Perkembangan Tema Puisi-Puisi Penyair Bangkalan: Kajian Sejarah Sastra.” Atavisme 20, no. 2 (December 30, 2017): 168. https://doi.org/10.24257/atavisme.v20i2.305.168-180.

Pambudi, Buyung. Cinta Di Kaki Bukit Baiyun. Bangkalan: YPLP-PT PGRI Bangkalan, 2016.

“Peluncuran Buku Puisi, Klungkung: Tanah Tua, Tanah Cinta.” Berita Bali, October 28, 2016. https://www.beritabali.com/berita/201610280004/peluncuran-buku-puisi-klungkung-tanah-tua-tanah-cinta.

“Profil Agnes Davonar Yang Melejit Lewat Buku Surat Kecil Untuk Tuhan | Kumparan.Com.” Kumparan, 2020. https://kumparan.com/berita-hari-ini/profil-agnes-davonar-yang-melejit-lewat-buku-surat-kecil-untuk-tuhan-1udyyxD3rgR.

 



[1] Terjemahan paghâr perna tajuk acara Komunitas Masyarakat Lumpur. Makalah ini disampaikan pada 12 Oktober 2024

[2] Muhri, “Perkembangan Tema Puisi-Puisi Penyair Bangkalan: Kajian Sejarah Sastra.”

[3] Muhri and Masnawati, Historiografi Ringkas Kesusastraan Bangkalan, 16.

[4] Pambudi, Cinta Di Kaki Bukit Baiyun.

[5] “Peluncuran Buku Puisi, Klungkung: Tanah Tua, Tanah Cinta.”

[6] “Profil Agnes Davonar Yang Melejit Lewat Buku Surat Kecil Untuk Tuhan | Kumparan.Com.”


Video acara di Komunitas Masyarakat Lumpur 

dari kanal resmi Komunitas Masyarakat Lumpur




Continue reading PAGAR ASRI:[1] DAYA HIDUP SASTRA BANGKALAN

16 September 2024

, ,

SASTRA BANGKALAN DAN PARA PENDATANG

 Muhri


Para pendatang? Apa bayangan yang muncul pertama kali di benak? Penjajah Eropa? Pengungsi Rohingya? Atau etnis Arab Yaman? Apa pun asosiasinya, mari abaikan itu. Tulisan iseng ini tidak untuk bicara sejarah pendatang di atas. Tidak pula aspek politik dan sosiologisnya. Ini tentang pendatang dalam sastra. Sastra Bangkalan.

Tulisan ini tidak untuk memberi selamat datang. Tidak untuk menilai pendatang. Hanya ingin mencatat. Mencatat agar tidak hilang dimakan waktu. Mari mulai pada cerita.

Cerita dimulai dari FPB 2 yang dilaksanakan oleh Komunitas Masyarakat Lumpur. Siapa saja penulisnya? Tak perlu diceritakan. Baca saja buku saya Sejarah Ringkas Kesusastraan Bangkalan. Asal saja, saya ingin membahas hanya tiga penulis. Sesuai judul. Para pendatang. Para pendatang yang dimaksud adalah penulis yang “berproses” pada jalur berbeda dalam kesusastraan Bangkalan. Tiga nama tersebut Buyung Pambudi, Bagus Tri Handoko (alm.), dan Ina Herdiyana.



Katakan saja saya diskriminatif. Saya tidak peduli. He he he. Soal diskriminatif saya akan membahas Ina Herdiyana dulu. Perempuan asal Sumenep ini pernah saya abaikan. Saya nafikan sebagai sastrawan perempuan Bangkalan. Pada acara Mancing Sastra tanggal 22 Juli 2018 saya menyebutkan bahwa ada lima penulis sastra perempuan Bangkalan: Yuni Kartika Sari (dari Komunitas Bawah Arus-saya tulis dahulu agar tidak disebut mutilasi), Irza Nova Husna, R. Nike Dianita F., Dini Islami, dan R. Dian Kunfilah. Keempat penulis terakhir dari Komunitas Masyarakat Lumpur. Dalam makalah berjudul “Bicara Apa Penyair Perempuan Bangkalan dalam Puisinya?”, saya tidak memasukkan Ina Herdiyana. Alasanya sederhana. Bukan orang Bangkalan.

Ternyata, saya salah. Setahun atau dua setelah acara tersebut Ina Herdiyana tetap “berseliweran” dalam acara-acara seni di Bangkalan. Di lain sisi, Dini, Irza mulai menghilang setelah mendapat gelar “Alumni” dari STKIP PGRI Bangkalan. Nike tetap dalam dunia koreografi. Hanya Dian yang masih aktif menulis. Sepertinya saya harus merevisi kata pendatang dalam mindset saya. Sejarah sastra memang tidak harus menjaga penulis sastra tetap eksis. Hanya mencatat. Dan saya alpa mencatat Ina.

Seperti Ina, Buyung Pambudi juga pendatang dalam sastra Bangkalan. Keduanya bekerja di grup Jawa Pos. Ina di Radar Madura, Buyung pernah di JTV. Meski menolak karyanya Cinta di Kaki Bukit Baiyun disebut sastra, karya Buyung Pambudi ini bisa disebut kisah perjalanan, juga memoar. Keduanya termasuk salah satu genre sastra juga. Setelah buku ini, ia menulis beberapa cerita anak. Sampai saat ini, ia aktif di Komunitas Masyarakat Lumpur dengan profesi utama Dosen PBSI STKIP PGRI Bangkalan.

Dengan latar belakang yang mirip dengan Buyung Pambudi, almarhum Bagus Tri Handoko juga menulis sastra. Setelah memutuskan keluar dari Radar Madura, Bagus fokus pada karir dosen. Buku kumpulan puisi Adakah Pagi di Kota Ini? Buku kumpulan puisi dan foto ini ditulis di antara kesibukannya sebagai Humas dan kepala penerbit STKIP PGRI Bangkalan.

Saya tidak akan melupakan penulis senior ini. Saya harus meralat. Empat. Bukan tiga. Ki Suryo. Saya tidak tahu nama aslinya. Ki Suryo adalah nama yang tertulis dalam buku Perjalanan Putih yang terbit 2018. Seorang pensiunan guru dari Barunawati katanya. Sebenarnya masih ada satu karya lagi yang tak jadi terbit sebab terkendala masalah teknis. Penulis yang enak baca puisinya ini tinggal di sebuah perumahan di utara Makam Syaikh Kholil Martajasah.

Keempat penulis ini tidak berasal dari Bangkalan. Ina dari Sumenep; Buyung asal Pati, Jawa Tengah; Bagus dari Kediri; dan Ki Suryo dari Jawa. Entah Jawa mana? Setahu saya, selain Bagus, tiga yang lain menempuh pendidikan di luar Bangkalan. Mungkin mereka tidak bisa dimasukkan sebagai bagian dari angkatan dalam klasifikasi sejarah sastra Bangkalan. Sebab, secara tradisional, sejarah sastra Indonesia mengklasifikasi pembabakan sejarah melalui sistem angkatan. Secara komunal angkatan didasarkan pada kesamaan. Dan, mereka memang berbeda. Mereka tidak beralur dan berproses sama dengan penulis-penulis generasi baru ketika karya mereka diterbitkan. Mereka jelas tidak seumur dengan generasi keempat 2010-an. Ki Suryo berusia lebih jika dibandingkan generasi penulis bangkalan generasi ke dua, generasi yang berproses sebelum tahun 2000. Buyung secara usia masuk ke generasi ke-3, yaitu generasi 2000-an. Bagus dan Ina memang segenerasi dengan keempat tapi mereka bukan aktivis teater yang menjadi karakteristik utama generasi keempat. Mereka memang pendatang. Namun kiprah dan karya mereka harus dicatat. Tidak untuk dikelompokkan tetapi untuk diabadikan dalam catatan

Continue reading SASTRA BANGKALAN DAN PARA PENDATANG

09 September 2024

, ,

MADURA DAN BEBERAPA MALU YANG LAIN: LO-MALO DAN RÂNG-BIRÂNG

 Muhri


Mengulas bahasa Madura secara diakronis menjadi menarik ketika penelitian saat ini cenderung pada yang “terbaru”. Kata ini problematik sebab tak ada yang benar-benar baru dalam penelitian. Mungkin yang dimaksud adalah novelty. Kebaruan. Ada kualitas yang terasa baru atau tidak biasa. Tentu objek lama bisa dirasakan kebaruannya. Baiklah kita kesampingkan hal tersebut. Kita buka kembali perbendaharaan lama dari langue orang Madura. Malu.

Saya akan mengabaikan malu dalam budaya. Kita akan masuk pada malu dalam nama. Dalam nahwu ‘alam jins. Dua kata dari flora dan fauna. Lo-malo dan râng-birâng. Putri malu dan luing atau kaki seribu.

Toḍus merupakan hipernim dari beberapa kata malu dalam bahasa Madura barat. Hiponimnya malo, sengka, cangkolang, dsb. Kaitan dengan dua kata ulang di atas?

Lo-malo [lo.ma.lo] berasal dari malo dengan [o]. Kata ini sedikit berbeda dengan malo [ma.lɔ(h)] dengan bunyi [ɔ] yang bermakna kultural. Lo-malo merupakan serapan dari bahasa Melayu malu. Disebut malu-malu sebab tumbuhan ini mengatupkan daun dan rantingnya ketika disentuh. Menghasilkan personifikasi yang mirip dengan manusia ketika malu yang cenderung menutup muka atau masuk ke ruangan untuk menghindar. Kata ini hanya digunakan dalam penamaan dan tidak ditemukan dalam kategori dan bentuk yang lain. Untuk menyatakan malu orang Madura barat menggunakan kata toḍus.



Kata selanjutnya adalah râng-birâng. Sudah bisa diduga bahwa kata ini serapan dari bahasa Jawa wirang ‘malu’. Bunyi w menjadi b dan a menjadi â. Seperti juga putri malu, kaki seribu akan melingkarkan tubuhnya ketika diganggu sebagai bentuk pertahanan diri. Seperti malo, birâng juga tidak digunakan dalam kehidupan sehari-hari selain sebagai nama. Kata ini bersinonim dengan kata toḍus.

Continue reading MADURA DAN BEBERAPA MALU YANG LAIN: LO-MALO DAN RÂNG-BIRÂNG

04 September 2024

, ,

BEBERAPA TAK ASLI MADURA: MENUJU MADURA BERKEMAJUAN

 Muhri

Pencarian identitas menjadi titik kesadaran seseorang dari suku tertentu. Dulu, saya berada pada persepsi bahwa suku Madura merupakan suku yang berbudaya “memalukan”. Hampir semua budaya Madura merupakan reduksi dari budaya “asli” dari Jawa. Nama bulan, nama hari, weton, tingkatan bahasa, ritus kelahiran, pernikahan bahkan kematian, dan masih banyak lagi yang lainnya (teringat Bang Haji Rhoma).

Saya juga pernah berpikir bagaimana cara lepas dari pengaruh Jawa. Mengidentifikasi diri sebagai bukan Jawa. Dengan menjadi Madura “penuh” makin memalukan lagi. Budaya blatèr pada saat itu kurasa tidak lebih dari budaya preman. Carok, remo dan minuman keras, musik ingar sandur dengan tandak laki-lakinya, mendapat legitimasi “haram” dari Islam. Seorang guru saya juga menceritakan tidak ada peran orang Madura dalam pertempuran Surabaya. Ditambah peristiwa Sambas dan Sampit di Kalimantan.

Sampai... Saya membaca Madura dalam buku-buku peneliti asing. Mulai bangga? Belum. Dalam tulisan penulis Belanda, suku Madura tidak lebih sebagai Jawa yang lebih rendah. Suku Madura selalu di bawah bayang-bayang Jawa. Waktu itu saya masih di Yogyakarta. Bahkan, ketika seorang Profesor meminta menyebutkan angka dalam bahasa Madura, saya merasa canggung dan malu menyebutkan. Padahal, beliau hanya membandingkan dengan bahasa daerah lain untuk kepentingan kuliah tentang simbol dan makna. Kesadaran saya sedikit bangkit ketika beliau menanyakan sebuah kata. Papilon. Nama sebuah diskotik di Yogyakarta. Sebagian teman menganggap itu bahasa Inggris. Namun saya bisa tahu bahwa itu bahasa Perancis. Secara sederhana kata itu dibaca (papiyong) atau dalam tulisan fonetik perancis [papi'jɔ̃]. Artinya kupu-kupu. Bisa dibayangkan kupu-kupu sebagai nama diskotik? Sudah bisa ditarik asosiasinya mengarah ke mana? Tapi, bukan itu yang saya pelajari. Perancis. Perancis pernah menjadi bahasa resmi kerajaan Inggris selama kurang lebih 300 tahun. Bahasa Perancis dianggap bahasa Elit, sedangkan Inggris bahasa jelata. Bagaimana sekarang? Bahasa Inggris menjadi bahasa dengan penutur terbesar di dunia.

Cerita Inggris ini menginspirasi bagaimana sebuah bahasa bisa naik kelas karena penuturnya. Suku yang menuturkannya. Dan Madura, ..... Ia telah menjadi bahasa yang tersendiri, budaya tersendiri, suku tersendiri. Meskipun, sulit membedakan suku Jawa dari suku Madura jika dilihat dari fisiknya. Suku Madura cenderung mengekspresikan idenya dengan lebih lugas. Dominasi bunyi tak bersuara dan bunyi-bunyi beraspirat membuat bahasa Madura terasa kurang merdu jika dibandingkan dengan bahasa Jawa. Seperti juga dominasi bunyi sengau dan pembisuan “konsonan” pada suku tertutup, misalnya Paris yang dibaca pari tanpa s, membuat bahasa Perancis terasa lebih merdu dari bahasa Inggris. Tentu menggunakan bunyi r yang sebunyi dengan huruf arab غ atau secara fonetis digambarkan dengan r kapital kecil terbalik [ʁ].

Seperti juga Inggris, manusia Madura memiliki sifat ekspansif. Mereka merantau dan berkumpul bisa dengan siapa saja. Namun kembali ke identitas ke-Maduraan ketika berkumpul sesama Madura. Hal ini yang menjadi salah satu alasan adanya kabupaten-kabupaten Jawa Timur di luar Madura yang dominan berbahasa Madura. Demikian pula di beberapa daerah di Kalimantan, Jakarta, dan banyak lagi yang lainnya.

Adanya tokoh besar Madura yang berpikiran maju menambah kebanggaan sebagai Madura. M. Tabrani yang memperjuangkan bahasa Indonesia dalam kongres pemuda yang menghasilkan Sumpah Pemuda. Abdul Halim Perdana Kusuma seorang pahlawan asal Sampang, Madura. Dua nama ini saja membuktikan bahwa pernyataan guru saya tentang tak ada tokoh Madura pada perjuangan kemerdekaan menjadi batal dengan sendirinya. Saya tidak menyebutkan Trunojoyo sebab beliau belum mengenal konsep ke-Indonesiaan. Belum lagi tokoh-tokoh berpengaruh setelah masa kemerdekaan.

Sayangnya, kesadaran akan ilmu pengetahuan tidak sejajar dengan kesadaran kesukuan. Orang Madura terdidik cenderung menggunakan bahasa Indonesia dan melupakan bahasa Madura sampai pada taraf canggung mengucapkan karena sudah lama tak diucapkan. Madura seperti bejana kecil yang ketika isinya membesar yang paling atas meluber keluar. Ke-Maduraan seharusnya dimaknai sebagai watak: jujur dan berani plus berilmu dan/atau beradab. Dengan meniru Muhammadiyah “Madura berkemajuan”. Madura dengan jujur dan berani dan berkemajuan dengan ilmu dan peradaban. Selama ini Madura dalam bingkai ke-Indonesiaan terlalu mengadopsi porsi “ke-NU-an” yang terlalu spiritual sehingga spiritualisme ini mengarah pada fanatisme yang mengarah pada pengkultusan. Madura cenderung mengabaikan ke-Muhammadiyah-an yang lebih kognitif-objektif bahkan cenderung profan. Mengutamakan ketuhanan dengan melupakan kemanusiaan. Wallah a’lam bi as-ṣawab.

Continue reading BEBERAPA TAK ASLI MADURA: MENUJU MADURA BERKEMAJUAN