19 Mei 2025

,

PKD, LESIKOSTATISTIK, DAN SEKRETARIAT PRIVAT PCNU

Peristiwa ini sekitar tahun 2004 akhir. Saya lupa tepatnya bulan apa. Rupanya, Januari 2025 hari H-nya. Saya tahu setelah melihat catatan buku harian. Waktu itu, saya menjadi ketua panitia PKD (pelatihan kader dasar) untuk PKD yang belum pernah saya ikuti. Jangan tanya yang lain. Setahu saya, ini PKD pertama di Bangkalan sejak saya kuliah sejak tahun 2000. Ketua PC-nya waktu itu Abdurrahman Mamas. Sekertaris panitia (alm.) Mas’odi. Koseptor Kak Pa’ong. Seperti biasa.

gambar disalin dari https://halojember.jawapos.com/ 


Dalam jajaran panitia ada Suhartini dan Satiyah. Sepertinya mereka kader sambil lalu. Dua lagi yang aktif dan masih saya ingat Evi dan Hosiah. Tapi buka mereka yang saya ingin ceritakan. Saya akan bercerita tentang Suhartini dan Satiyah dan tugas mata kuliah mereka. PKD sudah banyak yang tahu isinya. Pelatihan kader setelah Mapaba pada organisasi PMII.

To the point saja. Mereka diberi tugas untuk membuat peta bahasa dengan menggunakan daftar kata dari Morris Swadesh. Dua orang ini, yang saya tahu, termasuk rajin masuk kuliah. Dosen pengampu mata kuliah Pak Diding dari Unesa. Tugas leksikostatistik untuk mata kuliah linguistik bandingan atau comparative linguistic. Dengan lembaran data dan peta Madura foto kopian mereka menunduk serius. Melihat itu seolah-olah semua masalah bisa sudah dengan mudah.

Dengan bercanda saya bertanya, “Perlu saya bantu?”

“Tak perlu. Saya bisa mengerjakan sendiri.” Kata satiyah. Suhartini hanya tersenyum seperti biasa.

Saya diam, menghadap bangku lain lalu ngobrol dengan penjaga kantor PCNU. Banyak hal. Sudah lupa apa saja yang kami bicarakan. Tentu tidak bisa nyaring atau teriak-teriak. Kantor ini berada di tanah privat. Di depan kediaman seorang kiai berpengaruh, putera kiai berpengaruh. Sesekali, saya menengok dua perempuan tersebut. Mereka tetap asyik dengan pekerjaan mereka. Bermenit-menit berlalu. Padahal saya pikir tugas ini mudah. Saya pernah mengerjakan tugas yang sama. Saya pun kembali menawarkan bantuan dan menjelaskan bahwa cara mereka salah. Tentu saja dengan bahasa yang saya upayakan sebisa mungkit tidak menyinggung. Namun, tetap saja jawabannya penolakan. Saya tidak mengapa dengan penolakan tersebut. Saya hanya tersenyum dan membatin. Baiklah saya tunggu kalian menyerah. Sebab saya tahu mereka tak mengerti apa yang mereka kerjakan.

Sekitar tiga jam berlalu. Malam sudah larut melewati tengah malam. Kantuk memberi tanda dengan mulut yang menguap. Mata lelah yang mengerjap merah berair. Saya pun menawarkan lagi bantuan. Demi salah satu dari mereka. Satiyah masih dengan senyuman tak percaya menyerah. Mungkin tak yakin sebab saya biasa bercanda dan usil. Ia angsurkan lembar-lembar itu pada saya. Ia pun berkata, “Ini. Awas gak bisa?” Ancamnya, akrab. Saya tertawa.

Saya mulai mengerjakan dengan santai namun yakin. Pasti. Dalam dua puluh menit semua selesai. Mereka melongo. Saya jelaskan prosedur dan maksudnya. Mereka baru mengerti. Mereka pamit tidur di ruangan perempuan.

Continue reading PKD, LESIKOSTATISTIK, DAN SEKRETARIAT PRIVAT PCNU

12 Mei 2025

, ,

AUTOBIOGRAFI DRAMATIK: SEBUAH MULA DAN KEMUDIAN

M. Helmy Prasetya[1]

Pada awalnya saya mengenal sastra secara tak terduga. Bahkan saya tidak berpikir sedang menyukai sastra atau tidak. Di masa awal (ketika duduk di bangku SMA), saya gemar menulis apa saja dengan maksud sebagai komunikasi bebas. Baik untuk keluarga, guru, untuk teman, ke karib-karib yang lain, termasuk juga ke pacar. Saya lebih memilih memberi tulisan pada secarik kertas atau benda-benda yang bisa ditulis untuk disampaikan kepada orang lain, sebagai maksud tujuan bercakap. Kegiatan menulis di masa itu dan begitu sungguh mengasyikkan. Tidak seperti sekarang yang sudah beralih ke metode “ketik” langsung.

 

ilustrasi dari Designer AI

Tahun 2002 boleh dibilang sudah cukup aktif bersastra. Sejumlah puisi dan naskah drama lumayan banyak saya buat. Tapi pada tahun itu saya mendapatkan penolakan dari keluarga. Puisi-puisi yang saya tulis, naskah drama yang saya buat, suatu hari dirampas dan dihamburkan di hadapan saya yang tertunduk di atas kursi. Dihamburkan dengan nada “mengejek”: (tak perlu saya tulis bagian ini, karena memang menyakitkan). Sastra tak mendapat tempat dalam keluarga saya.

Tapi dari sanalah kemantapan proses menulis saya bermula. Mantap sebagai karya tentunya. Menekuninya, serius. Tak adanya dukungan dari keluarga, karena orang tua memang tak tamat SD bukan jadi penghambat. Justru menjadi poin tersendiri bagi saya, hingga akhirnya berjalan bersama waktu saya makin ketagihan membuat tulisan. Apalagi aktivitas di luar keluarga membuat saya terdukung untuk terus aktif dalam menulis.

Mundur sedikit sebelum tahun 2002. Selepas SMA tahun 1996, saya langsung diposisikan sebagai pelatih Sanggar Teater Mutiara SMAN 3 Bangkalan oleh situasi. Di tempat itu, keberangkatan terkuat berada. Selaku pelatih tentu dituntut kreatif agar aktivitas sanggar jadi berjalan. Untuk pengembangan ke arah sana, tak ada tempat yang bisa dijadikan rujukan pembelajaran. Tak ada, selain segala yang diupayakan langsung dari pengalaman diri sendiri. Maka aktivitas yang berjalan tiada lain hanya materi-materi yang meminta anggota untuk menulis puisi yang kemudian dibacakan dan dikumpulkan. Juga membuat naskah drama lalu dipentaskan, dan lain-lain. Seperti itu terus berlanjut berbulan-bulan lamanya.

Keadaan tersebut di satu sisi makin giat membuat saya suka menulis. Di sisi lain saya berjumpa dengan tokoh dan pokok yang menawarkan beragam sumber. Seperti puisi-puisi Chairil Anwar yang tak bisa dipungkiri ada dalam pelajaran sekolah, seperti Rendra dan bengkel teaternya, seperti Majalah Horison yang berisi karya-karya sastra yang diakui keagungannya, rubrik sastra Jawa Pos, buku puisi Asmaradana karya Goenawan Mohamad, juga Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono, hingga satu novel dari tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Bumi Manusia. Termasuk bertemu langsung dengan seorang penyair dari Padang, Agus Hernawan.

Ajaib sekali saya menemukan referensi-referensi itu. Semua saya dapat bukan dari latar pendidikan. Karena selepas SMA saya tak langsung melanjutkan kuliah, justru aktif sibuk dengan urusan sanggar sebagai pengisi waktu selama menganggur. Saya peroleh semua itu dari gesekan-gesekan yang terjadi di ruang sanggar/komunitas yang saya kelola. Termasuk juga dukungan pembina sanggar yang kala itu dijabat oleh Bapak Sunar Dwigjo Wahono yang gemar meminjami saya buku-buku sastra untuk dibaca. Sangat diingat adalah buku Linus Suryadi AG yang berjudul Pengakuan Pariyem dan sejumlah buku karya Putu Wijaya.

Dari tahun ke tahun saya makin tertarik ke dunia sastra. Saya dirikan kemudian kelompok teater bernama Ndase, sebuah sanggar yang bergerak di bidang teater dan sastra sekaligus. Menghasilkan antologi puisi bersama berupa manuskrip berjudul “Nyanyian Tanah Kering” yang menampung penulis-penulis muda Bangkalan di masa itu. Pertemuan dengan Lingkar Sastra Junok juga adalah spirit lain yang sedikit banyak membawa gairah. Di kelompok sastra yang bermarkas di Junok itu ruang apresiasi terkait sastra kerap saya temui. Dialektika tumbuh dan keseriusan makin berkembang walau pada akhirnya segala isi waktu pecah dan menjadi masing-masing.

Namun hal yang paling menentukan untuk serius menulis, sebenarnya berangkat dari kegelisahan-kegelisan pribadi saya yang datang dari lingkungan yang buruk. Katakanlah pengalaman buruk. Misalnya pada masa 1997 hingga 1998, terdapat situasi yang hingga hari ini membekas di ingatan. Puncaknya tahun 2001.

Pertama adalah perasaan lelah menjadi diri sendiri yang kala itu menjalani masa-masa tak berbobot: bekerja sebagai buruh pabrik kayu di Margomulyo Surabaya, jadi kernet truk kayu jurusan Sampang Banyuwangi, menjadi tukang cuci mobil di Banyuates dengan upah ala kadarnya, menjadi penjaja kue dari toko ke toko dengan berjalan kaki hampir di seluruh kecamatan bagian barat Bangkalan, menjadi kuli bangunan di Rungkut Surabaya, dan semacamnya.

Kedua lebih ke faktor ekternal, yakni matinya aktivitas kesenian di Bangkalan, khususnya teater dan sastra diakibatkan tragedi yang menimpa sebuah sanggar sekolah yang tengah melakukan latihan alam di Pantai Siring Kemuning, Tanjungbumi, Bangkalan. Kala itu 9 siswa anggota teater tewas setelah menceburkan diri ke pantai untuk melakukan latihan alam. Pada peristiwa itu 1 orang hingga kini tak ditemukan jasadnya. Adik saya, adalah salah satu korban yang selamat namun mengalami trauma hingga berbulan-bulan. Tak mau bicara, enggan makan, dan hanya menangis tersedu-sedu. Parahnya lagi, setelah kejadian itu teater dan sastra di Bangkalan menjadi sangat menyedihkan, amat sepi, begitu menakutkan, ditolak dan dijauhi masyarakat.

Ketiga adalah masa saat Madura mati lampu hingga 3 bulan lamanya. Mati lampu dengan segala desas-desus yang meresahkan masyarakat. Momen ini juga dibarengi dengan isu ninja (santet yang mewabah). Tak ada aktivitas yang terjadi, selain pada setiap malam para lelaki menenteng celurit ke sana-sini. Siap menebas siapa saja yang mencurigakan.

Keempat adalah datangnya reformasi yang menegaskan suasana politik negeri yang hancur. Krisis moneter menjadi makin ruwet dan tak menjelaskan. Masa di mana saya dalam beberapa waktu ditolak melamar kerja.

Lalu yang kelima adalah konflik Madura Dayak tahun 2001. Peristiwa yang amat mengerikan tersaji. Betapa tidak, hampir sepanjang malam kala itu, saya berdiam diri sendirian di rumah. Sementara keluarga oleh pemeritah harus diungsikan ke Batuporon Kamal demi keamanan. Keluarga saya mengungsi, karena semua tahu, saya dan keluarga saya adalah orang Kalimantan, pendatang, bukan orang Madura.

Hal-hal di atas itulah yang membawa pengaruh terhadap diri saya untuk serius dalam menulis. Saya akui dari sanalah ide-ide berkarya muncul. Sebenarnya bukan karya barangkali, mungkin refleks emosi diri saja, karena lebih pada gerutu atau makian yang benar-benar ingin saya tumpahkan. Baik berupa puisi atau naskah-naskah drama. Walau pada dasarnya, segala yang saya tulis itu kerap bernada penyayangan semata, yang seolah bertanya “mengapa, mengapa, mengapa semua itu terjadi?”

Maka tak heran, berselang beberapa tahun kemudian sejumlah tulisan dapat saya kumpulkan, antara lain “Goresan Babat Kehidupan”, “Sampah Bicara Sejarah Hari ini”, “Sajak untuk Pacar Gelapku Roro”, “Lelaki Senja”, dan naskah teater berjudul “Insulinde” serta “Jalan ke Langit”. Puncaknya terbit buku puisi yang saya beri judul “Antologi Cinta”.

Tulisan-tulisan awal saya tersebut, sebenarnya adalah bagian yang lebih saya perhitungkan ketimbang karya-karya yang saya tulis akhir-akhir ini. Perannya jelas, karena tanpa tulisan-tulisan saya yang terdahulu, tak mungkin rasanya bakal lahir karya-karya lain yang saya buat, bahkan sampai hari ini. Selain disebabkan juga oleh peristiwa seperti yang saya maksudkan di paragraf kedua. Secara kualitas barangkali patut dipertanyakan, barangkali jelek, namun bagi saya itu tak penting dan tak terlalu saya risaukan.

Kualitas karya sejauh ini memang tak menjadi pengganggu. Saya percaya fenomena objektif pembaca. Ketika ditanya mana karya yang dianggap fenomenal? Tentu saya akan menunjuk tulisan-tulisan yang saya buat pada masa awal. Tak ada yang spesifik. Alasannya jelas. Sudah terpapar. Karena lagi, tujuan saya menulis juga tidak mencari kualitas atau ujung-ujungnya ingin terkenal dan disebut sastrawan. Tidak. Bahkan tidak sama sekali. Ada hal dan ruang yang membuat saya sedikit tahu diri. Walau pada perkembangannya, proses kreatif menulis yang saya lalui akhirnya berpapas dengan sistem yang di dalamnya terdapat perspektif kualitas seperti tergabungnya saya di Antologi Puisi Penyair Mutakhir Jawa Timur edisi Festival Seni Surabaya tahun 2004 yang dikuratori W Haryanto. Atau pada tahun berikutnya, tahun 2005, R. Giryadi yang memuat 5 puisi saya di Surabaya Post.

Saya tidak terlalu gembira dengan hal itu. Entah apa sebabnya. Mungkin karena belum ada di pikiran saya untuk berfokus bagaimana menulis karya sastra yang baik dan benar. Belum ada hal itu, belum saya rasakan yang begitu. Saya menulis, lebih banyak terjadi pada suatu keadaan langsung. Seperti pentas drama 1 babak. Misalnya sebagai contoh puisi berjudul “Di Atas Selat Madura” (2001), yang dimuat di Antologi Puisi Penyair Mutakhir Jawa Timur, yang disebut-sebut oleh pihak kurator seperti sebuah sajak yang ditulis seorang penyair besar, adalah puisi yang langsung jadi ketika itu. Saya buat puisi itu kala sedang duduk di atas kapal penyeberangan Ujung Surabaya menuju Dermaga Kamal, melihat sekitar, memandang keadaan, merasakan yang terjadi, lalu menuangkannya ke dalam kertas. Tak ada editan seperti yang kerap terjadi pada proses kreatif menulis zaman sekarang.

 

Kadang kapal yang berlabuh

kita sebut cerita

Di atasnya kita tandai pula

seindah kita bayangkan

: air berkelok, suara mesin kapal,

gambar orang-orang menangis

telah mengantarkan kita pada sebuah

kenangan masa datang

 

(“Di Atas Selat Madura”, Antologi Cinta, hlm. 21)

 

Itulah puisi yang saya maksud. Puisi yang saya tulis sebelum memutuskan untuk kuliah di tahun itu juga. Tepatnya bulan September 2001, mengambil jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Sebuah jurusan yang mempertemukan saya dengan seabrek teori sastra, aturan kebahasaan, kritik sastra dan semacamnya. Saya bersyukur lebih dahulu dipertemukan dengan proses kreatif menulis langsung, bukan dengan aturan atau tata cara menulis yang baik dan benar seperti yang diajarkan di bangku kuliah.

Lantas, seperti apakah karya-karya yang ditulis setelah mengeyam pendidikan di jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia? Adakah pengaruh yang merubah? Tentu, dan boleh saya tegaskan bahwa pengaruhnya lebih pada pilihan-pilihan suatu kondisi bagaimana memanajemen karya. Bukan pada keberlangsungan penciptaan karya. Misalnya lebih mengerti menempatkan karya berdasarkan aspek tematik, sehingga muncul antologi puisi “Sajak Tuhan”, Ollesia, Sepasang Mata Ayu, Tamasya Celurit Minor, Antropologi Hilang, Mendapat Pelajaran dari Buku, dan lain-lain. Beberapa pengantologian puisi yang arahnya lebih pada strategi agar tercipta lingkungan sastra yang kondusif, hidup, dan makin banyak diminati.

Menyeringkan agenda diskusi sastra juga merupakan pengaruh dari faktor pendidikan yang saya jalani. Muncul beberapa gerakan sastra seperti berdirinya Komunitas Masyarakat Lumpur bersama Rozekki, Bangkalan Membaca bersama Ahmad Faishal (Acong), Festival Puisi Bangkalan bersama Buyung Pambudi, Mancing Sastra bersama Joko Sucipto, Baca Puisi Na’kana’ Bhângkalan bersama Muzammil Frasdia, dan gerakan-gerakan memasukkan sastra ke dalam ruang seni rupa bernama Manifesto Idiot bersama Anwar Sadat, merupakan pengaruh dari aktivitas saya selama mengeyam pendidikan hingga menjadi tenaga pengajar di sebuah perguruan tinggi. Dan semua itu, berdampak positif mengingat perkembangan sastra di Bangkalan dari tahun ke tahun mengalami perkembangan luas dan asyik.

Barangkali, melewati itu semua, di aspek pendidikan, boleh jadi tipikal saya dalam menulis menjadi bergeser. Tapi sekali lagi, bergeser atau tidak, tak pernah saya perhatikan. Sebab, tanpa saya sadari. Kemudian pelan-pelan saya sadari, ada prinsip-prinsip yang tak bisa saya ubah dalam menuliskan karya sejak dari awal. Misalnya, berpikir untuk apa saya menulis, untuk siapa saya menulis, tak pernah saya pertanyakan itu. Saya meyakini saja, bahwa suatu saat, apa saja yang saya tulis, jadi karya sastra atau bukan, kelak pasti akan berguna.

Mungkin karena alasan tersebut, perlu saya akui, saya termasuk orang yang enggan mengirim karya ke media dalam rangka apa pun. Ada perasaan yang tak bebas, ada penghimpitan, ada yang tak dapat digapai, ada kejujuran yang hilang. Jika di suatu waktu saya ketahuan mengirimkan karya, hitunglah itu berangkat dari keterpaksaan yang tak bisa saya jelaskan di ruang ini.

Artinya, proses kreatif menulis yang saya jalani bukan ingin menyergap pengakuan, terkenal, dan dapat hasil dari itu. Tapi lebih sebagai sebuah jalan alternatif agar saya tetap bisa bertahan di ruang hidup yang kian hari makin gelap dan hancur bentuknya. Saya percaya, jalan sastra bisa menyelamatkan ketakberesan hidup saya. Jadi penuntun bagi saya mengarungi panjangnya ketiadaan.

Beruntung, pada suatu waktu saya dapat berjumpa langsung dengan KH. Mustafa Bisri di acara Muktamar Sastra 2018 di Sukorejo, Situbondo. Kesempatan yang indah, karena dari beliau saya mendapatkan pernyataan penting yang hingga kini tetap saya ingat. Yakni, “Sudah saatnya sastra menjadi panglima peradaban,” ujar beliau dari atas mimbar. Meyakinkan. Mengokohkan.

Sekali lagi perlu saya utarakan, bahwa saya menulis—untuk ruang apa pun, karena percaya bahwa seluruh kenyataan yang ada hanyalah fana. Yang bisa jadi abadi, mungkin segala hal yang penah kita upayakan untuk selalu dituang ke dalam tulisan, ke dalam tulisan, ke dalam tulisan. Dan, biarlah waktu yang membacanya.

 

Bangunlah engkau pagi-pagi

setelah itu bukalah jendela kamarmu

dari situ kau dapat menyaksikan betapa berat

hidup yang dipikul oleh orang-orang seperti kita

lalu melihatlah ke arah langit, dari situ kau juga dapat

mengepalkan kedua tanganmu tinggi-tinggi hingga

akhirnya kau mengerti bagaimana cara memaknai hidup

yang hanya terdiri dari tiga lembar peristiwa: kelahiran,

kesedihan, dan kematian. Itu saja.

 

(“Dari Jendela”, Antologi Cinta, hlm. 43)

 



[1] M. Helmy Prasetya, bernama administrasi M. Helmi, M. Pd. Pimpinan Komunitas Masyarakat Lumpur Bangkalan. Tenaga pengajar di STKIP PGRI Bangkalan.

Continue reading AUTOBIOGRAFI DRAMATIK: SEBUAH MULA DAN KEMUDIAN

05 Mei 2025

, ,

TH BUKAN INTERDENTAL

Ketertarikan saya pada bahasa Madura diinspirasi oleh satu mata kuliah saat S1 dulu. Leksikografi. Ya, itu berbeda dengan leksikostatistik. Leksikografi ilmu tentang teknik penyusunan kamus, sedangkan leksikostatistik terkait dialektologi yaitu ilmu pemetaan bahasa berdasarkan perbandingan penggunaan kata pada dua atau lebih daerah. Fungsinya untuk menentukan apakah dua daerah yang berdekatan menggunakan dua bahasa berbeda, beda wicara, beda dialek atau subdialek, atau menggunakan bahasa yang sama.

Kuliah itu sekitar 2003. Kira-kira. Saya sudah lupa tepatnya. Yang jelas di atas semester V. Pak Diding dosennya. Dari Unesa. Tapi, saya tidak ingin bercerita tentang itu. Cerita itu akan saya ceritakan tersendiri. Saya ingin melompat ke sekitar 2010. Awal lulus UGM dan mengajar di perguruan tinggi. Cerita ini seputar kamus bahasa Madura. Saya menulisnya dengan menggunakan ejaan terbaru. Sepertinya. Buku Manusia Madura karya Prof. Mien Ahmad Rifai saya gunakan sebagai.[1] Saya pikir itu ejaan dari Balai Bahasa Jawa Timur (waktu itu Balai Bahasa Surabaya) yang saat itu belum bisa saya peroleh.[2] Baru saya ketahui setelah saya mendapatkan salinan fail pdf setelah 2015 bahwa ternyata Pak Mien tidak menggunakan ejaan BBJT. Apa buktinya?



Ada beberapa perbedaan antara ejaan dalam buku Pak Mien dan BBJT. Untuk saat ini, saya hanya akan menceritakan tentang th dalam ejaan resmi. Ejaan ini dalam bahasa Inggris direalisasi sebagai bunyi interdental. Bunyi interdental adalah bunyi bahasa yang saat mengucapkannya, ujung lidah berada di antara gigi atas dan gigi bawah. Dalam Bahasa Inggris, ada dua simbol fonetik yang dipakai untuk melambangkan bunyi, yaitu [ð] seperti pada that, this, than dan [θ] seperti pada three, thirsty, sympathy. Th juga digunakan untuk transliterasi huruf Arab <ث> dengan realiasi bunyi interdental [θ].[3] Apa kaitannya dengan bukti?

Di buku Pak Mien, < th > pada ejaan BBJT ditulis < ṭ > dengan tanda diakritik titik di bawah. Apakah <th> mewakili bunyi yang sama dengan ejaan bahasa Inggris dan transliterasi Arab? Ternyata tidak. Dalam ejaan Madura Madura th mewakili bunyi bunyi retrofleks yaitu bunyi yang titik artikulasinya ada di langit-langit keras atau palatum. Mengapa berbeda?

Secara objektif saya lebih condong membenarkan ejaan Pak Mien. Sebab, tanda diakritik titik di bawah secara konsisten mewakili bunyi retrofleks seperti juga pada bunyi yang dieja ḍ. Sedangkan tambahan h mewakili bunyi aspirat seperti pada bh, dh, ḍh, gh, dan jh. Bunyi yang dieja th tentu bukan bunyi aspirat. Jadi, lebih baik ditulis sesuai dengan fungsi dari tanda secara konsisten. Pertanyaannya, dari mana dua ejaan ini berasal?

Karena bukan pelaku, saya hanya memperkirakan. Th pada ejaan BBJT kemungkinan berasal dari th dalam ejaan bahasa Jawa.[4] Sedangkan ṭ pada buku Prof. Mien Ahmad Rifai merupakan adaptasi dari ejaan pada kamus bahasa Madura-Belanda yang disusun oleh H. N. Kiliaan.[5] Kedua ejaan ini mewakili satu aksara caraka [].

Konsisten dengan pilihan, saya menggunakan ejaan tersebut dalam kamus yang saya tulis. Tentu dengan konsekuensi. Salah satunya, kamus tersebut akan berbeda ejaannya dengan ejaan yang berlaku. Guru bahasa Madura juga akan menyesuaikan pemahaman ejaan ketika menggunakan kamus yang saya tulis. Saya tetap pada pilihan sebab perbedaan ini tidak signifikan menciptakan kesulitan dalam membaca, yaitu semudah mengganti ṭ menjadi th. Seperti membaca buku ejaan lama dengan pemahaman ejaan baru.



[1] Mien Ahmad Rifai, Manusia Madura: Pembawaan, Etos Kerja, Penampilan, dan Pandangan Hidupnya seperti Dicitrakan Peribahasanya, (Yogyakarta: Pilar Media, 2007) Hlm. 51

[2] Tim Balai Bahasa Jawa Timur, Pedoman Umum Ejaan Bahasa Madura yang Disempurnakan Edisi Revisi, (Sidoarjo:Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur, 2012) Hlm. 1-4

[3] Ejaan ini bukan transliterasi versi Indonesia, tapi dari Standard Arabic System for Transliteration of Geographical Names hasil dari Eleventh United Nations Conference on the Standardization of Geographical Names di New York pada 8-17 August 2017

[4] Balai Bahasa Yogyakarta, Pedoman Umum Ejaan Bahasa Jawa Huruf Latin Yang Disempurnakan, (Yogyakarta:Kanisius, 2006) Hlm. 3

[5] H. N. Kiliaan, Madoereesch-Nederlandsch Woordenboek Tweede Deel, (Leiden: E.J. Brill, 1905) Hlm. 369

Continue reading TH BUKAN INTERDENTAL

01 April 2025

, ,

HARI RAYA TAK HANYA DUA: TENTANG ONGGHÂ-TORON DAN NASE’ SAPEṬṬOK

 Hari ini Senin tanggal 31 Maret 2025. Tellasân pètra. ‘Īdul fitr. Bukan hari raya idul fitri. Sebab idul itu sudah berarti hari raya. Tapi apa benar tellasân itu hari raya? Jelas bukan. Tellasân berasal dari kata telas yang berarti ‘habis’. Tellasân maksudnya sehabis bulan puasa. Tellasân pètra bisa dibenarkan sebab bisa berarti ‘seusai zakat fitrah’.

Dengan maksud sama orang Jawa menyebut dengan kata bakda dengan a terakhir dibaca [ɔ]. Artinya ‘setelah’. Diambil dari bahasa Arab ba’da. Lebaran dengan arti ‘īd tidak ada dalam kosa kata Madura. Namun ada kata lebbhâr yang berarti ‘selesai’.

gambar dari microsoft designer

‘Īdul aḍḥa? Di Madura disebut tellasân kurban. Nama lainnya tellasân rèrajâ. Rèrajâ merupakan singkatan dari arè rajâ ‘hari besar’. Mungkin diadopsi dari bulan jawa ke 12 Besar. Hari rayanya disebut besaran. Sama dengan sebelumnya, tellasan ini merayakan puasa sunnah 9 hari bulan Zulhijah.

Selain ‘īdul fitr dan ‘īdul aḍḥa ada tellasân topa’. Orang Jawa menyebutnya kupatan. Tellasân topa’ secara harfiah berarti ‘habis ketupat’. Nama lainnya tellasân pètto atau tongarè. Dirunut dari unsur idiom berarti ada yang habis, yaitu habis puasa syawal 6 hari. Dimulai tanggal 2 dan berakhir tanggal 7. Jika tellasân pètra merayakan puasa ramadan tellasân topa’ merayakan puasa sunah bulan syawal. Salat? Tentu tidak ada. Sebab tellasân topa’ murni budaya.

‘Īdul fitr diisi dengan silaturahmi bermaaf-maafan. Tradisi ini dilakukan dengan satu-satu mengunjungi kediaman sanak saudara. Biasanya yang muda mengunjungi yang lebih tua atau berkumpul dirumah orang paling tua misalnya kakek-nenek atau buyut. Untuk ini, ada tradisi mudik atau pulang kampung. Orang Madura dulu menyebutnya dengan toron ‘turun’. Di sisi lain berangkat kembali ke perantauan disebut ongghâ ‘naik’.

Selain itu ada tradisi ter-ater. Secara harfiah bersinonim dengan bahasa Indonesia *antar-antar atau mengantar sesuatu. Tradisi ini dilakukan dengan saling antar makanan kepada sanak saudara. Tujuannya bukan bertukar makanan seperti pandangan sinis sedikit kalangan. Tujuan utamanya adalah silaturahmi dan ter-ater merupakan medianya. Yang mengantar biasanya yang muda ke yang lebih tua. Tujuan lainnya adalah mengenalkan anak muda pada sanak saudaranya. Isi dari ter-ater sebenarnya sangat sederhana yaitu nasi dan lauk, biasanya ayam. Sehingga ketika sanak saudara terasa jauh karena tidak saling mengunjungi orang madura menyebutnya èlang nasè’ sapeṭṭok ‘hilang nasi se-peṭṭok’. Sapeṭṭok adalah ukuran nasi yang dipadatkan seukuran pengangan dua tangan.

‘Īdul aḍḥa tidak terlalu istimewa di Madura. Tidak ada tradisi khusus yang menyebabkan perantauan yang agak jauh tidak pulang mudik. Namun, ketika tingkat ekonomi makin baik, ‘īdul aḍḥa diisi dengan menyembelih hewan qurban. Dulu hanya dilakukan di masjid. Sekarang, ada yang melakukannya di rumah dengan membayar tukang sembelih dan potong daging qurban.

Tellasân topa’? Sebagian besar diisi dengan kegiatan rekreatif. Ada juga tradisi-tradisi setempat. Di Kamal, kabupaten Bangkalan, misalnya, melakukan dengan naik perahu ke tengah laut  (Patoni 2024). Di beberapa daerah ada yang membuat makanan khusus misalnya lepet.

Rujukan

Patoni. 2024. “Tradisi Warga Bangkalan Saat Lebaran Ketupat: Naik Perahu Ke Tengah Laut.” Nu.or.Id. Retrieved April 1, 2025 (https://nu.or.id/jatim/tradisi-warga-bangkalan-saat-lebaran-ketupat-naik-perahu-ke-tengah-laut-Nw6OJ).
Continue reading HARI RAYA TAK HANYA DUA: TENTANG ONGGHÂ-TORON DAN NASE’ SAPEṬṬOK

22 Maret 2025

, ,

SYAIUN: SESUATU ITU BERWUJUD MAKANAN

 Puasa Ramadan dengan segala nuansanya menjadi sangat istimewa. Amal ibadah berupa salat tarawih, zakat, sedekah, dan sebagainya dilipat gandakan pahalanya. Ya, sayang itu tak terlihat kasat mata. Yang jelas ada fenomena baju baru hari raya, opor ayam, uang jajan, dan makanan berbuka yang menggugah selera. Bagi anak kecil ini tentu istimewa meski di sisi lain membuat orang tua sedikit sakit kepala.

Bagi orang dewasa, mudik media silaturahmi dan menceritakan perantauan. Sebagian untuk unjuk kesuksesan. Ada yang bawa mobil cc besar. Kita tak boleh bersangka itu sewa. Baik sangka saja. Riuh saling nilai baju baru selesai salat id dan mukena masuk lipatan sajadah. Sedekah tahunan ajang unjuk kesuksesan. Hari lain? Lain cerita.

Tapi... biarlah. Itu bukan ajaran agama. Itu cara pikir. Kali ini kita cerita budaya. Darusân. Akhiran -an sering bermakna budaya islami seperti yâsinan, sabellâsân, manaqibhân, dsb. Tak relevan disebut bid’ah sebab ini budaya. Bukan ibadah, seperti tellasân topa’ atau kupatan yang merupakan hari raya untuk enam hari puasa syawal. Isinya hanya syukur soal hati. Seperti juga tahlilan yang sekarang sering diisi main HP oleh sebagian generasi mudanya. He he he...

Darusân singkatan dari tadārus ‘saling belajar’. Berasal dari akar dal, ra’, dan sin. Awalnya saling. Lama-lama jadi ajang unjuk kepintaran baca. Awalnya saling meng(k)oreksi. Lama-lama saling menjatuhkan. Akhirnya darusan beralih menjadi baca quran secara estafet. Tapi toh itu tak masalah. Daripada tidak baca quran baik dalam ramadan maupun di luar.

Menarik? Tidak? Sudah biasa? Baik kita pindah ke makanan saja. Tapi, masih dalam lingkup darusân. Syaiun.

Bukankah syaiun itu berarti sesuatu? Di desa saya syaiun adalah suguhan yang diberikan suka rela oleh anggota masyarakat. Wujudnya bisa apa saja. Gorengan, lemper, atau bahkan hidangan makan seperti nasi, bubur, dsb. Tentu saja pasti ada kopi. Tapi, mengapa syaiun? Apa orang kampung saya begitu fanatik dengan bahasa Arab? Atau apa itu nama yang lebih islami daripada nama yang memakai bahasa lokal? Atau... ada ustaz atau ulama yang segan menyatakan ada makanan sebab kesannya bu’-tabu’ân? Syaiun berperan sebagai eufemisme untuk makanan? Wallahu a’lam.

Yang jelas, syaiun menemani kami untuk baca Quran sepanjang malam. Tentu bagi yang tidak sekolah paginya. Sebelum saya tutup, saya ingin menjelaskan kata bu’-tabu’ân. Kata ini berasal dari tabu’ yang berarti perut. Bu’-tabu’ân adalah kata yang digunakan untuk menggambarkan guru atau pemangku yang suka meminta makanan dengan sindiran atau secara langsung. Tentu umat atau santri terpaksa memberikan meski berat hati karena segan. Ini berlaku juga untuk ulama atau ustaz yang mendatangi salah satu undangan dari beberapa dengan pertimbangan nasi berkat yang paling baik.

Continue reading SYAIUN: SESUATU ITU BERWUJUD MAKANAN

03 Maret 2025

, , ,

APÉDÉ DAN DAMRI: PEMAHAMAN PERLU WAKTU

Saya sudah lupa setiap hari apa. Kami mengikuti pelajaran olah raga pagi-pagi buta. Biasanya kami berangkat setelah subuh. Kami menyebutnya PD. Apédé kata kerja yang bersinonim dengan berolah raga. Dengan kaos olah raga dan celana pendek tanpa tas. Sepatu? Jangan tanya. Sebagian besar kami tak punya. Kepala sekolah dasar saya Pak Sayyadi namanya. Beliau hanya mewajibkan topi dan dasi untuk seragam. Kata beliau sepatu mahal dan tidak bisa memaksa. Saya? Bapak selalu membelikannya. Yang saya ingat Rieker, merek sepatu yang populer 1990-an. Urusan sekolah prioritas bagi orang tua saya. Uang saku? Pelit. Eh salah. Irit.


Olah raga selalu dimulai dengan lari keliling lapangan. Lalu senam dipimpin oleh guru olah raga. Guru olah ragaku Bu Dewi namanya. Wajahnya? Samar-samar dalam ingatan. Yang paling saya ingat hukuman beliau. Combel. Mencubit agak besar pada bagian dada. Tentu untuk siswa laki-laki. Jangan tanya sakitnya. Bahkan sering ada memar kehijauan. Lapor orang tua? Dapat bonus tambahan. Omelan.

Acara dilanjutkan dengan permainan. Biasanya bola untuk siswa laki-laki dan lompat tali untuk perempuan. Jangan tanya aturan. Yang penting gembira. Olah raga selesai kira-kira pukul 7.30 bersamaan dengan siswa kelas lain yang mulai berdatangan. Kami masuk pukul 7.30, bukan pukul 7. Kami pulang dan kembali lagi pukul 9.30.

Terus? He he... Cerita ini tentang PD. Apa itu? Singkatan ini kembali populer saat saya di sekolah menengah. Entah menengah atas apa bawah. Populer bersamaan dengan sponsor deodoran untuk ketiak. Percaya diri. Percaya diri? Logika saya menolak. Apa hubungannya dengan oleh raga? Kok tidak nyambung?

Waktu pun terus berlalu. Masa kuliah kulalui. S1 lalu lanjut S2. Entah kapan saya periksa dalam KBBI edisi IV. Ada singkatan pada bagian belakang. PD? Bukan. Dalam gabut terlintas kata Damri. Bis kota jurusan Kamal-Burneh. Suramadu belum ada waktu itu.

Damri? Apa hubungan bis dan olah raga? Kita lanjut dulu ya? Damri rupanya akronim dari Djawatan Angkoetan Motor Repoeblik Indonesia. Sudah bisa menghubungkan? Perhatikan D pada Damri. Ternyata itu J dalam ejaan van Ophuijsen. Dan PD? Pendidikan Djasmani dengan menggunakan ejaan Soewandi. Dari mana kami dengar kata apédé? Dari teguran orang tua ketika kami tidur larut. Cong, ayo tèḍung. Lagghu’ apéḍé. Tako’ kasiyangan. ‘Cong, ayo tidur. Besok (pelajaran) olah raga. Takut kesiangan.’

Continue reading APÉDÉ DAN DAMRI: PEMAHAMAN PERLU WAKTU

24 Februari 2025

,

NYOLOK SAMA DENGAN OUTSIDER

 Nyolok? Bahasa mana itu? Biarlah saya cerita. Tentu jangan berkesimpulan bahwa cerita ini benar semua. Memori itu absurd. Bisa terdistorsi antara fakta lama dan imajinasi. Tapi, sudahlah… percaya atau tidak saya akan tetap bercerita.

Pengalaman mencari ilmu yang paling dominan dalam memori, tentu, di Pondok Pesantren Darul Hikmah. Saya tidak pernah mukim di pondok. Hanya berangkat sebelum Maghrib, pulang pagi pukul 7 istiwa, untuk balik sekolah formal pada pukul 8 istiwa. Pulang pukul 12 istiwa menjelang zuhur. Saya sudah lupa kapan itu dimulai. Seingat saya tsanawiyah kelas dua awal.



Semua pengajian saya ikuti sama dengan santri yang mukim di pondok. Hanya pengajian setelah asar saja yang tidak saya ikuti. Secara keseluruhan 3/4 waktu saya di pesantren. Senang? Mulanya. Sampai… Saya merasa bosan. Sia-sia. Apa yang saya ikuti tidak masuk sama sekali ke kepala. Atau… mungkin perasaan saya saja.

Dalam kebosanan itu ada sebuah jalur alternatif. Bahasa Inggris. Saya sudah lupa kapan tepatnya dan bagaimana mulanya. Yang jelas kami berempat ikut kursus subuh di EQC. Lembaga ini telah saya ceritakan pada cerita yang lain. Melalui buyut saya yang masih ada hubungan famili dengan Mi’, sebutan untuk ibu haji singkatan dari ummi. Saya ikut selama kurang lebih satu setengah tahun. Sebutan untuk kami adalah outsider. Kata ini berkonteks siswa yang tidak mondok yang bisa keluar kapan saja. Demikian juga masuknya.

Kesadaran muncul untuk mengaji lagi saat semester genap SMU kelas satu. Dengan berbekal gramatik bahasa Inggris untuk diperbandingkan, ternyata nahwu itu mudah. Bahasa kerennya metode kontrastif. Baru saya ketahui setelah kuliah S2 karena sering mengajar linguistik. Padahal, S2 ilmu sastra. Mungkin juga sebab sering menulis bahasa Madura.

Pada periode kedua ini merupakan periode mengaji paling panjang. Saya mengaji di pesantren sampai anak saya lahir. Paling tidak hataman tiap bulan Ramadan. Hataman sendiri mengaji hanya untuk memberi makna. Bahasa Maduranya nyasa’.

Nyolok? Ngaji ke pesantren tanpa mondok. Dan outsider dalam cerita saya bersinonim dengan nyolok. Nyolok sendiri berasal dari sejenis obor yang bernama colok. Nyolok artinya berjalan atau bepergian menggunakan penerangan colok atau obor. Nyolok kemudian menjadi kata tersendiri yang berarti ngaji ke pesantren pada malam hari. Siangnya tidak di pesantren yang membedakan dengan santri pondok yang siang malam di pesantren.
Continue reading NYOLOK SAMA DENGAN OUTSIDER

10 Februari 2025

, ,

TELLO’ TELLO’ SAPOLO BHIRU DONGKER (MADURA PUN BERBAHASA “BELANDA”)

 

Saya yakin Anda yang seumuran dengan saya tahu maksud judul tersebut? Itu adalah hp Nokia yang populer pada awal dekade 2000-an.

Saya membeli HP pertama saya saat semester lima atau enam. Entahlah. Yang jelas bukan semester empat. Harganya pun sudah lupa. Seingat saya antara 300-500 ribu Rupiah. Second hand asal Malaysia. Warnanya biru dongker. Layar monochrome, tentu tanpa kamera. Itu saja sudah istimewa. Pada waktunya tentu saja.



Kartu sim pertama XL. Harga 50 ribu isi pulsa 25 ribu. Biaya sms (short message service, layanan pesan singkat) 350 rupiah sekali kirim dangan jumlah karakter terbatas. Biaya telepon 2000 per menit. Tentu dipakai seperlunya. Harga pulsa tidak ramah kantong mahasiswa meski sambil berkerja sebagai honorer swasta. Rp 128.000 sebulan hanya cukup bayar kuliah 50 ribu, transportasi, keperluan mandi, dan pulsa. Makan masih numpang orang tua.

Biarlah... Kita abaikan kisah mengharukan itu. Saya lanjutkan dengan cerita Nokia 3310. Tidak sama dengan penyebutan internasionalnya, di Madura handphone ini di sebut tello’ tello sapolo ‘tiga tiga sepuluh’. Dalam bahasa Inggris Nokia thirty three ten atau 33-10. Jika mau konsisten bisa dibaca “tiga ribu tiga ratus sepuluh” atau 3310. Sayangnya, angka itu bukan jumlah. Mungkin “tiga puluh tiga sepuluh” atau 33-10. Bisa juga “tiga tiga satu kosong” atau 3-3-1-0. Orang Madura tak memilih ketiganya. Mereka menyebut hp ini Nokia tello’ tello’ sapolo atau 3-3-10. Campuran tidak padu, kan?

Bhiru dongker? Bhiru dalam konteks ini adalah biru dalam bahasa Indonesia. Bukan hijau seperti biasanya. Sedangkan dongker berarti tua. Bhiru dongker berarti biru tua atau biru gelap yang dalam bahasa Inggris disebut dark blue. Bahasa Belandanya? Donkerblauw.

Baiklah kita bahas bhiru dulu. Bhiru dalam bahasa Madura bermakna dua, bisa hijau atau biru. Biasanya dibedakan dengan penjelas frasa. Bhiru ḍâun ‘biru daun’ untuk hijau dan bhiru langngè’ ‘biru langit’ untuk biru. Biru tua di sebut bungo. Mirip ungu, kan? Nah, ungu sendiri disebut bungo terrong. Ribet gak itu?

Dengan konsep biru yang ribet tersebut, muncul juga frase bhiru dongker. Secara harfiah berarti biru tua. Mengapa tak pakai bungo saja? Atau bhiru tuwa. Mengapa harus dongker? Apa ini tanda bahwa orang Madura memang ghâ-oghâ? Tak tega rasanya menyebut demikian. Baiklah kita sebut saja bahwa orang Madura pun berbahasa Belanda?

Kembali ke 3310. Nokia 3310 ini menceritakan sebuah cerita. He he he... Diksi yang janggal. Menceritakan sebuah cerita. Tentang Nokia ber-casing pink saat si bhiru dongker bermasalah dan masuk reparasi. Kejadian ini terjadi kira-kira setahun setelah Nokia 3310 saya beli. Mungkin lebih.

“Pakai saja hpku, Mas.”

“Serius?” Sambil menatapnya penuh tanda tanya. Hp bukan barang murah. 300 ribu senilai spp satu semester di STKIP. Dia bersedia meminjamkan? Kami tak punya hubungan istimewa. Hanya kenal sedikit akrab. Gak takut hpnya saya jual?

“Serius!” dengan senyum khas-nya. Ia menganjurkan hp itu.

Saya pun mengambil hp tersebut. Dia berpesan agar kartu sim-nya saya amankan. Nomor itu sudah terlanjur menyebar.

Di rumah, saya buka casing belakang, lepas baterai, lepas kartu sim, kemudian saya ganti dengan kartu sim saya. Tentu setelah perangkat dimatikan. Pasang baterai, casing belakang dan tekan tombol on/of. Hp ber-casing pink aktif. Tiga hari saya pakai hp itu dan wajah pemiliknya memaksa masuk dalam memori kepala.

Belakangan beberapa tahun kemudian saya bertanya. Ia menjawab bahwa ia percaya. Dan ketika saya tanya kenapa percaya, ia tak bisa menjelasakan alasannya.

Continue reading TELLO’ TELLO’ SAPOLO BHIRU DONGKER (MADURA PUN BERBAHASA “BELANDA”)

27 Januari 2025

,

FORMALISME RUSIA

 

Latar Belakang

Formalisme adalah teori dan analisis sastra yang berasal dari Moscow dan St. Petersburg. Teori ini muncul pada dekade kedua abad kedua puluh. Karena berasal dari rusia, teori ini disebut formalisme rusia. Di antara tokoh sentral gerakan teori ini adalah Boris Eichenbaum, Viktor Shklovsky, dan Roman Jacobson (Abrams and Harpham 2015:141–42).


Ketika model kritik ini ditekan oleh pemerintah soviet pada 1930-an pusat gerakan ini pindah ke Cekoslowakia. Gerakan ini diteruskan oleh Lingkar Linguistik Praha dengan tokohnya Roman Jakobson, Jan Mukarovský, dan René Wellek. Pengaruh Wellek dan Jacobson meluas sampai ke Amerika ketika mereka mengajar di beberapa universitas Amerika pada 1940-an (Abrams and Harpham 2015:142).

Konsep Dasar

Formalisme berpandangan bahwa bahasa sastra berbeda dengan bahasa biasa. Bahasa biasa mengkomunikasikan pesan dan informasi pada pendengar dengan mengacu pada dunia di luar bahasa. Bahasa sastra, di sisi lain, menghadirkan bahasa yang mengandung unsur kebersastraan (literariness). Dalam hal ini, Roman Jacobson menyatakan bahwa objek studi sastra bukan karya sastra tetapi kebersastraan (Abrams and Harpham 2015:142).

Karena berbeda dengan bahasa biasa, bahasa sastra menurut Viktor Shklovsky merupakan  hasil estrange atau defamiliarize. Dalam kesastraan Indonesia disebut dengan istilah defamiliarisasi. Defamiliarisasi ini dipakai oleh penulis untuk menghadirkan sensasi baru yang lebih segar (Abrams and Harpham 2015:143).

 

Daftar Pustaka

Abrams, M. H., and Geoffrey Galt Harpham. 2015. A Glossary of Literary Terms. 11th ed. Boston: Cengage Learning.

 

Disusun Muhri untuk materi kuliah

Continue reading FORMALISME RUSIA