Formalisme adalah teori dan
analisis sastra yang berasal dari Moscow dan St. Petersburg. Teori ini muncul
pada dekade kedua abad kedua puluh. Karena berasal dari rusia, teori ini
disebut formalisme rusia. Di antara tokoh sentral gerakan teori ini adalah
Boris Eichenbaum, Viktor Shklovsky, dan Roman Jacobson (Abrams and Harpham
2015:141–42).
Ketika model kritik ini
ditekan oleh pemerintah soviet pada 1930-an pusat gerakan ini pindah ke
Cekoslowakia. Gerakan ini diteruskan oleh Lingkar Linguistik Praha dengan
tokohnya Roman Jakobson, Jan Mukarovský, dan René Wellek. Pengaruh Wellek dan
Jacobson meluas sampai ke Amerika ketika mereka mengajar di beberapa
universitas Amerika pada 1940-an (Abrams and Harpham 2015:142).
Konsep Dasar
Formalisme berpandangan bahwa
bahasa sastra berbeda dengan bahasa biasa. Bahasa biasa mengkomunikasikan pesan
dan informasi pada pendengar dengan mengacu pada dunia di luar bahasa. Bahasa sastra,
di sisi lain, menghadirkan bahasa yang mengandung unsur kebersastraan (literariness).
Dalam hal ini, Roman Jacobson menyatakan bahwa objek studi sastra bukan karya
sastra tetapi kebersastraan (Abrams and Harpham 2015:142).
Karena berbeda dengan bahasa
biasa, bahasa sastra menurut Viktor Shklovsky merupakan hasil estrange atau defamiliarize. Dalam kesastraan
Indonesia disebut dengan istilah defamiliarisasi. Defamiliarisasi ini dipakai
oleh penulis untuk menghadirkan sensasi baru yang lebih segar (Abrams and Harpham 2015:143).
Daftar Pustaka
Abrams, M. H., and Geoffrey Galt
Harpham. 2015. A Glossary of Literary Terms. 11th ed. Boston: Cengage
Learning.
Yâsinan. Ternyatan tidak hanya baca yasin. Ada juga pembacaan salawat diiringi
hadrah. Gampangnya begitu. Seperti juga tahlilân.
Tidak hanya bacaan tahlil. Ada yasin, salawat, zikir, dsb. Kita tidak bicara
itu. kita bicara acara makan-makan setelahnya. Disclaimer: kami membaca untuk Allah
bukan untuk berhala ya. Soal Allah terima atau tidak itu sepenuhnya di
Tangan-Nya. Soal ada yang membid’ahkan itu urusan mulut masing-masing. Saya abaikan.
Sebab pernyataan penonton tidak menentukan juara. Hanya juri yang lebih tahu. Dan,
juri amalan saya tak usah saya sebutkan. Anda semua pasti sudah tahu. He he he...
To the point saja. Poinnya? Oh iya. Judul. Baiklah saya akan
bercerita.
Waktu itu, seingat saya, yasinan
diadakan setiap malam Minggu. Maunya saya tulis Ahad. Tapi, sudahlah Minggu resmi
dari pemerintah. Malam Jumat untuk perempuan. Dari rumah ke rumah. Tentu rumah
anggota. Langkap barat. Saya ikut yasinan langkap barat. Sorenya pasang toa. Jauhari
ahlinya. Naik pohon, perbaikan, dsb. Saya? Tim hore. Kadang tukang panggul dari
masjid ke TKP.
Ketika sampai di masjid
setelah pemasangan, sering kali ada pertanyaan bocoran. Apa kedi’? ‘Apa nanti
malam?’ Dan itu selalu mengarah ke “Makan apa kita nanti malam?” Disclaimer
lagi. Ini tidak terkait dengan datang atau tidak datang. Hanya gurauan. Sebab,
setelah ada jawaban, kami tertawa bersama-sama. Apa pun hidangannya nanti
malam.
Yasinan dimulai setelah
maghrib. Geng masjid berangkat semua. Saya sebut anggotanya. Biar tak penasaran.
Abdul Halim, Anas, Basri, Hamzah, Idris, Jauhari, Ros, dan Seli. Tentu saya
juga. Anggota istimewa Barmawi dan Ridwan. Menjelang isya salah satu pamit
pulang ke masjid untuk azan. Setelahnya langsung kembali ke TKP. Begitu selalu.
Salat setelah pulang. Tentu berjamaah. Acara dimulai dengan pembacaan yasin
lalu salawat nariyah dilanjutkan salawat barzanji dengan hadrah. Tentu dengan
mahal al-qiyām alias berdiri. Sambil goyang-goyang kecil. He he he..
Ramah tamah. Eh salah. Makan-makan.
Dan... ini saat krusial. Terutama kami bagian ujung lingkaran. Kanan atau kiri.
Jika ada tujuh orang, piring bisa delapan, sembilan, dan seterusnya. Tuan rumah?
Hanya tersenyum dan pura-pura tak melihat. Dan siapa yang makan lebih dari
satu? Ada di antara kami yang menawarkan. Itu pemantik saja. Yang lain
mengambil piring kedua. Bahkan, ketiga. Sambil tersenyum dia berkata, “Toḍus,
tona.” Artinya, ‘Malu, rugi.’ Itulah mantra yang melancarkan rizki. He he
he...
Pelaku tidak malu. Sebab, ini
sama sekali tidak memalukan. Suasana akrab dan menyenangkan memberi ruang. Ruang
kejujuran dan apa adanya. Bahkan jika tuan rumah melihat ada kelebihan piring
makan yang belum termakan, ia akan berkata, “Ayo tamba. Ongghu.” ‘Ayo
tambah. Sungguh.’ Maksudnya tuan rumah tidak sekedar basa-basi menyuruh kami nambah
jatah. Ia senang jika suguhannya dimakan oleh yang hadir.
Setelahnya, pengurus menyebutkan
siapa giliran malam minggu berikutnya. Lalu ditanyakan OK atau not OK. He he
he.. Ini bahasa saya. Jumlah akhir kas juga disebutkan. Kami bubar dengan slawât
dongkra’. Secara harfiah berarti salawat dongkrak. He he he... Maksudnya
allahumma shalli ‘ala muhammad. Yang dijawab dengan salawat pendek oleh yang
lain secara bersama-sama. Salawat ini meringankan pantat naik untuk berdiri. Sebab,
tidak nyaman untuk pulang lebih dahulu sebelum yang lain. Mirip dongkrak yang
bisa mengangkat barang berat.
Tentu kami tidak bisa pulang lebih
dulu. Kami harus menurunkan toa, mencabut semua kabel dari ampli. Termasuk menggulung
kabel listrik, kabel mik, dsb. Lalu kami bawa kepenyimpanan di ruangan samping
pengimaman. Kami tidur di serambi luar masjid dengan alas tikar pandan yang
dibawa dari pemakaman, pembungkus mayat. Tentu setelah dicuci.
Sastra Indonesia modern Bangkalan telah ada
sejak 1960-an. Pelopornya R. Syarifuddin Dea yang dikenal oleh sastrawan
Bangkalan dengan nama panggilan Babe. Penulis lain adalah Pak Narto dengan nama
pena Rasnavastara.[2]
Generasi pertama ini agak sulit ditelusuri mengingat pada generasi ini minim
arsip dan publikasi.
Sastra Bangkalan sebagian besar tidak ditulis
oleh kaum santri. Hal ini berbeda dengan sastra Indonesia di Sumenep. Seniman
Bangkalan awal sebagian besar dari kaum ningrat yang memiliki akses pada
pendidikan formal. Generasi berikutnya dari sekolah-sekolah negeri yang
memiliki komunitas seni. Komunitas sekolah ini menghasilkan tokoh-tokoh
generasi kedua seperti Ribut Rahmat Jaya, Sunar Dwigjo Wahono, Sonny T.
Atmosentono, R. Timur Budi Raja, M. Helmy Prasetya, dsb. Kiprah generasi kedua
ini pada masa sebelum 2000, kira-kira 1990-an.
Meski-sudah aktif sebelum tahun 2000-an,
hampir semua penerbitan karya dilakukan setelah tahun 2000. Karya yang terbit
sebelum itu adalah Anak Beranak (R. Syarifuddin Dea dan R. Timur Budi
Raja, 1998) dan Nyanyian Tanah Kering (Antologi Bersama, 1999)[3].
Pelacakan karya bisa dilakukan dengan melihat angka tahun misalnya pada puisi
yang dicantumkan dalam buku.
Generasi ketiga lahir di perguruan tinggi,
terutama di STKIP PGRI Bangkalan. Generasi ketiga melahirkan penulis-penulis
seperti Rozekki, Anwar Sadat, Muzammil Frasdia, Muhlis Alfirmany, Eko Sabto
Utomo, Andi Moe, dsb. Jika generasi sebelumnya, sebagian besar berasal dari
sekitar kota bangkalan, generasi ketiga ini berasal dari berbagai penjuru
kabupaten Bangkalan.
Pada generasi ketiga ini, ada sastrawan
Bangkalan yang secara sejarah agak berbeda latar belakang. Salah satunya Ahmad
Faishal (Acong). Acong memang berasal dari kabupaten Bangkalan. Ia menempuh
pendidikan sampai setingkat SMA di Bangkalan. Akan tetapi, dalam bersastra, ia berproses
di Surabaya. Ia pernah menjadi ketua Teater Gapus dari kampus Unair Surabaya.
Di sisi lain ada Buyung Pambudi. Bermula dari
jurnalis JTV yang ditugaskan di Madura, BP berasal dari Pati Jawa Tengah. Bukan
orang Madura, tetapi mulai menulis sastra di Madura. Sebenarnya, kiprah BP
sudah sejak tahun 2000-an. Namun dosen di STKIP PGRI Bangkalan ini menulis buku
pertamanya pada 2016. Tulisan sastra pertama dosen yang berbahasa Madura ini
berupa memoar, based on true story, berjudul Cinta di Kaki Bukit
Baiyun[4]. Buku
ini bercerita tentang perjalanan penulis mengantar istrinya berobat ke negara
China.
Generasi keempat diisi oleh penulis-penulis
mahasiswa. Sebagian besar menulis hanya sebagai ekspresi eksistensi diri. Bukan
sebagai hobi apalagi sebagai jalan hidup. Karena kemudahan publikasi, generasi
ini paling banyak menghasilkan buku sastra. Hal ini ditunjukkan dengan
terbitnya 45 buku puisi pada 2016 dan 37 buku puisi pada 2017. Buku-buku
tersebut diterbitkan dalam euforia Festival Puisi Bangkalan pertama dan kedua.
Pagar Diri: Kekuatan Sastra Bangkalan
Menilik penjelasan sebelumnya, masa depan
kesusastraan Bangkalan masih bisa diharapkan. Sejak sastra Bangkalan ada dan
berkembang, tidak kurang dari 40-an penulis telah menyumbangkan ide dalam
bentuk tulisan. Sejak 1998 sampai hari ini selalu ada karya yang terbit pada
tiap tahun sampai 2022. Pada 2023 memang tidak tercatat ada karya yang terbit.
Namun kosongnya catatan tersebut tidak menunjukkan bahwa tidak ada karya yang
terbit pada tahun tersebut. Data yang saya sajikan pada chart ini hanya data
dari komunitas Bangkalan, terutama KML, Komunitas Bawah Arus, dan Kopi Lembah.
Data ini belum memasukkan sumber dari Kalam Literasi Kwanyar (KLK) yang tetap
aktif sampai hari ini. Sebagian besar karya KLK dalam bentuk prosa
Berikut disajikan diagram terbitan buku sejak
1960-an sampai dengan 2024. Daftar lengkap sastrawan Bangkalan dan karya-karya
mereka bisa dibaca dalam Historiografi Ringkas Kesusastraan Bangkalan.
Jumlah terbitan dari 1966-2024
Diagram tersebut menunjukkan kesusastraan
Bangkalan terus berlangsung. Perkembangan produksi sastra, meski fluktuatif,
juga terus berjalan. Kepesertaan dalam event sastra juga terus terjadi dan
mengindikasikan kepenulisan sastra di Bangkalan terus berlangsung. Terakhir
Rozekki menjadi juara III Penulisan Cerpen Tingkat Internasional Piala HB
Jassin 2024. Berikut daftar prestasi individu penulis Bangkalan.
2024Rozekki
“Kampung yang Dikuasai Sapi” Juara III Penulisan Cerpen Tingkat Internasional
Piala HB Jassin
2023Eko
Sabto Utomo Burdah nomine sayembara buku puisi tunggal Kanjeng Nabi
Muhammad SAW yang diadakan oleh penerbit DIVA Press
2017Rozekki
Fragmen Pasar Burung 13 Naskah Teater Terpilih Rawayan Award 2017 (tanpa
pemenang)
2016Joko
Sucipto Klonnong Penulis Emerging Ubud Writers and Readers Festival
(UWRF) 2016
2016Suryadi
Arfa 10 besar dalam seleksi antologi nasional Klungkung: Tanah Tua, Tanah
Cinta[5]
2013Muzammil
Frasdia Pilkada 10 Besar naskah drama terbaik versi Federasi Teater
Indonesia di Taman Ismail Marzuki
2004Rozekki
Lomba Menulis Naskah Monolog Budaya Antikorupsi Tempo
Daftar tersebut hanya menyajikan sebagian
kecil dari keaktivan penulis Bangkalan dalam peristiwa-peristiwa seni. Meski
bukan menjadi tolok ukur utama, sistem seleksi ini menunjukkan bahwa sastrawan
Bangkalan diakui dalam dunia sastra di Indonesia. Tentunya, kualitas sastra
tidak diukur dari menang atau tidaknya sebuah karya dalam sabuah event
kompetisi.
Pagar Luar: Potensi Jangka Pendek
Dalam perjalanan panjang kesusastraan
Bangkalan, kekuatan sastra Bangkalan pada jenis puisi. Sebagian besar masih
bercorak liris. Hanya penulis puisi yang sudah matang yang mengeksplorari corak
naratif dan dramatik. Unsur tema masih seputar filosofi hidup, ungkapan
keindahan yang romantik, dan pseudoetnografi dari buku-buku etnografi Madura
yang cenderung generalistik. Tema cinta masih dominan pada dekade 2000-an. Tema
cinta mulai berkurang dan sedikit meluas pada hal-hal lain pada dekade setelah
2010. Tema politik juga seperti menjadi tabu yang seolah “haram” dalam puisi.
Ditinjau dari publikasi, terdapat banyak
publikasi yang bisa dijangkau untuk saat ini. Penerbitan lokal yang bisa
diakses dengan biaya relatif murah adalah STKIP PGRI Bangkalan press dan
penerbit Komunitas Masyarakat Lumpur. Dari kedua penerbit, KML hari ini masih
dalam pembenahan sehingga belum bisa menerima penerbitan buku.
Terbitan berkala belum tersedia dengan baik.
Terbitan cetak yang pernah ada Buletin Komunitas Masyarakat Lumpur. Tidak
ada terbitan berkala cetak dari komunitas lain. Buletin ini hanya terbit tiga
kali. Dari pertanyaan akrab pada pengurus, masalah terbesar pada pengelola.
Untuk KML yang waktu itu memiliki pengurus dalam jumlah besar, motor penggerak
buletin hanya Joko Sucipto. Selain itu, kontributor dan skema rubrik juga sulit
dikembangkan. Dari dua terbitan, rubrik buletin cenderung berubah.
Media daring yang tersedia juga tidak banyak.
Terutama media yang cenderung terstruktur dengan baik. Media YouTube, misalnya,
yang tersedia hanya dari Komunitas Masyarakat Lumpur. Yang lain menggunakan
nama pribadi seperti Sanggar Lukis Lebur memakai nama pendirinya yaitu Anwar
Sadat. Demikian Komunitas Bawah Arus tidak punya kanal YouTube. Yang ada hanya
kanal bernama Timur Budi Raja.
Media daring yang berbentuk web juga tidak
banyak. Salah satunya ruangbudaya.com yang saya dirikan. KML pernah membuat
media web dan tidak dilanjutkan lumpurkomunitasmasyarakat.blogspot.com. Setahu saya, situs ini dibuat oleh Suryadi
Arfa pada 2016. Tidak ada unggahan pada web blog ini. Hanya ada sebuah laman
berisi profil.
Pada media sosial facebook, hampir semua
komunitas memiliki akun. Akun Kalam Literasi Kwanyar bernama Klk Kalam Literasi
Kwanyar. Akun Komunitas Kopi Lembah bernama Paguyuban Seni Kopi Lembach. Akun
ini juga memiliki satu laman facebook bernama Kopi Lembah yang post terakhirnya
tahun 2021. Yang terkuat di antara semua adalah Komunitas Masyarakat Lumpur.
Nama akun Masyarakat Lumpur, tanpa komunitas.
Meskipun keterbacaan media sosial penting,
keamanan data dan keberlangsungan tetap dimiliki oleh situs web. Ada banyak
alasan. Pertama struktur unggahan yang lebih mudah ditelusuri dengan widget
kategori dan menu. Kemampuan menyimpan file digital atau pengutipan dari url
tertentu. Ketersediaan di mesin pencari web juga menjadi keunggulan situs web
dibandingkan dengan sosial media. Yang terpenting dari semua adalah kelayakan
dalam sitasi keilmuan. Apalagi jika komunitas tersebut menyediakan terbitan
berkala dalam bentuk majalah, tabloid, buletin, atau terbitan berupa buku.
Tidak harus ber-ISBN.
Pagar Kampung: Potensi Jangka Panjang.
Selain kurangnya publikasi konvensional, perlu
juga disampaikan bahwa masa depan sastra tidak bisa mengabaikan aspek digital.
Aspek ini dalam banyak komunitas dianggap tidak penting dan kurang relevan.
Sebagai seni digital memang dianggap tidak “tulen”, tradisi populer, tidak mendukung
peradaban yang baik, dsb. namun, Pada sisi konservasi, digitalisasi menjadi
aspek kunci dari pengarsipan.
Selain itu, sastra juga harus mengikuti
perkembangan pembacanya agar tidak terasing dari dunia nyata. Aplikasi digital
seperti Wattpad misalnya tetap bisa menjadi media untuk menulis sastra serius.
Meski mengindikasikan popularisme, media seperti wattpad tetap tidak menolak
sastra serius. Salah satu yang sukses dengan media daring adalah Agnes Davonar
yang memulai debutnya di friendster lalu blog pribadi. Karya monumentalnya Surat
Kecil Untuk Tuhan.[6]
Selain itu, pengabadian selama ini hanya
dilakukan dengan media ilmiah dalam bentuk karya ilmiah mahasiswa berupa
skripsi, tesis, dan disertasi, penelitian ilmiah dalam jurnal penelitian, dan
bentuk lain yang memiliki jarak signifikan dengan pembaca umum. Salah satu
tulisan penting yang mendekatkan adalah terbitan-terbitan digital yang bisa
diakses dengan mudah. Fiksi fan Indonesia misalnya bisa menjadi alternatif
pengabadian karya. Jika musik dinyanyikan kembali, sastra ditulis kembali oleh
penggemarnya. Dengan tidak mengabaikan hak cipta, fiksi fan atau fiksi
penggemar bisa menjadi salah satu pilihan untuk belajar menulis.
Akhirnya, sebuah daya hidup akan menua ketika
tidak mengikuti perkembangan sumber kehidupan. Digitalisasi, publikasi
multimedia, trasformasi karya dapat menjadi penopang yang menguatkan dan
mensolidkan semua bangunan inti dari sastra dan kesenian. Tanpa itu, sebagus
apa pun sebuah karya akan aus dimakan zaman. Yang terpenting regenerasi yang
baik dan maju dan di sisi lain produksi, reproduksi, dan konservasi.
Daftar Pustaka
Muhri, and Eli Masnawati. Historiografi Ringkas
Kesusastraan Bangkalan. Bangkalan: Komunitas Masyarakat Lumpur, 2018.
Muhri,
Muhri. “Perkembangan Tema Puisi-Puisi Penyair Bangkalan: Kajian Sejarah
Sastra.” Atavisme 20, no. 2 (December 30, 2017): 168.
https://doi.org/10.24257/atavisme.v20i2.305.168-180.
Pambudi,
Buyung. Cinta Di Kaki Bukit Baiyun. Bangkalan: YPLP-PT PGRI Bangkalan,
2016.
“Peluncuran
Buku Puisi, Klungkung: Tanah Tua, Tanah Cinta.” Berita Bali, October 28, 2016.
https://www.beritabali.com/berita/201610280004/peluncuran-buku-puisi-klungkung-tanah-tua-tanah-cinta.
“Profil
Agnes Davonar Yang Melejit Lewat Buku Surat Kecil Untuk Tuhan | Kumparan.Com.”
Kumparan, 2020.
https://kumparan.com/berita-hari-ini/profil-agnes-davonar-yang-melejit-lewat-buku-surat-kecil-untuk-tuhan-1udyyxD3rgR.
[1]Terjemahan paghâr perna tajuk acara
Komunitas Masyarakat Lumpur. Makalah ini disampaikan pada 12 Oktober 2024
[2]Muhri, “Perkembangan Tema Puisi-Puisi Penyair Bangkalan: Kajian Sejarah
Sastra.”
[3]Muhri and Masnawati, Historiografi
Ringkas Kesusastraan Bangkalan, 16.
Para pendatang? Apa bayangan yang muncul
pertama kali di benak? Penjajah Eropa? Pengungsi Rohingya? Atau etnis Arab
Yaman? Apa pun asosiasinya, mari abaikan itu. Tulisan iseng ini tidak untuk
bicara sejarah pendatang di atas. Tidak pula aspek politik dan sosiologisnya. Ini
tentang pendatang dalam sastra. Sastra Bangkalan.
Tulisan ini tidak untuk memberi selamat
datang. Tidak untuk menilai pendatang. Hanya ingin mencatat. Mencatat agar
tidak hilang dimakan waktu. Mari mulai pada cerita.
Cerita dimulai dari FPB 2 yang
dilaksanakan oleh Komunitas Masyarakat Lumpur. Siapa saja penulisnya? Tak perlu
diceritakan. Baca saja buku saya Sejarah Ringkas Kesusastraan Bangkalan.
Asal saja, saya ingin membahas hanya tiga penulis. Sesuai judul. Para
pendatang. Para pendatang yang dimaksud adalah penulis yang “berproses” pada jalur
berbeda dalam kesusastraan Bangkalan. Tiga nama tersebut Buyung Pambudi, Bagus
Tri Handoko (alm.), dan Ina Herdiyana.
Katakan saja saya diskriminatif. Saya
tidak peduli. He he he. Soal diskriminatif saya akan membahas Ina Herdiyana dulu.
Perempuan asal Sumenep ini pernah saya abaikan. Saya nafikan sebagai sastrawan
perempuan Bangkalan. Pada acara Mancing Sastra tanggal 22 Juli 2018 saya
menyebutkan bahwa ada lima penulis sastra perempuan Bangkalan: Yuni Kartika
Sari (dari Komunitas Bawah Arus-saya tulis dahulu agar tidak disebut mutilasi),
Irza Nova Husna, R. Nike Dianita F., Dini Islami, dan R. Dian Kunfilah. Keempat
penulis terakhir dari Komunitas Masyarakat Lumpur. Dalam makalah berjudul “Bicara
Apa Penyair Perempuan Bangkalan dalam Puisinya?”, saya tidak memasukkan Ina
Herdiyana. Alasanya sederhana. Bukan orang Bangkalan.
Ternyata, saya salah. Setahun atau dua
setelah acara tersebut Ina Herdiyana tetap “berseliweran” dalam acara-acara
seni di Bangkalan. Di lain sisi, Dini, Irza mulai menghilang setelah mendapat
gelar “Alumni” dari STKIP PGRI Bangkalan. Nike tetap dalam dunia koreografi.
Hanya Dian yang masih aktif menulis. Sepertinya saya harus merevisi kata
pendatang dalam mindset saya. Sejarah sastra memang tidak harus menjaga penulis
sastra tetap eksis. Hanya mencatat. Dan saya alpa mencatat Ina.
Seperti Ina, Buyung Pambudi juga
pendatang dalam sastra Bangkalan. Keduanya bekerja di grup Jawa Pos. Ina di Radar
Madura, Buyung pernah di JTV. Meski menolak karyanya Cinta di Kaki Bukit
Baiyun disebut sastra, karya Buyung Pambudi ini bisa disebut kisah
perjalanan, juga memoar. Keduanya termasuk salah satu genre sastra juga. Setelah
buku ini, ia menulis beberapa cerita anak. Sampai saat ini, ia aktif di
Komunitas Masyarakat Lumpur dengan profesi utama Dosen PBSI STKIP PGRI
Bangkalan.
Dengan latar belakang yang mirip dengan
Buyung Pambudi, almarhum Bagus Tri Handoko juga menulis sastra. Setelah
memutuskan keluar dari Radar Madura, Bagus fokus pada karir dosen. Buku kumpulan
puisi Adakah Pagi di Kota Ini? Buku kumpulan puisi dan foto ini ditulis di
antara kesibukannya sebagai Humas dan kepala penerbit STKIP PGRI Bangkalan.
Saya tidak akan melupakan penulis senior
ini. Saya harus meralat. Empat. Bukan tiga. Ki Suryo. Saya tidak tahu nama aslinya.
Ki Suryo adalah nama yang tertulis dalam buku Perjalanan Putih yang
terbit 2018. Seorang pensiunan guru dari Barunawati katanya. Sebenarnya masih
ada satu karya lagi yang tak jadi terbit sebab terkendala masalah teknis. Penulis
yang enak baca puisinya ini tinggal di sebuah perumahan di utara Makam Syaikh
Kholil Martajasah.
Keempat penulis ini tidak berasal dari
Bangkalan. Ina dari Sumenep; Buyung asal Pati, Jawa Tengah; Bagus dari Kediri;
dan Ki Suryo dari Jawa. Entah Jawa mana? Setahu saya, selain Bagus, tiga yang
lain menempuh pendidikan di luar Bangkalan. Mungkin mereka tidak bisa
dimasukkan sebagai bagian dari angkatan dalam klasifikasi sejarah sastra Bangkalan.
Sebab, secara tradisional, sejarah sastra Indonesia mengklasifikasi pembabakan
sejarah melalui sistem angkatan. Secara komunal angkatan didasarkan pada
kesamaan. Dan, mereka memang berbeda. Mereka tidak beralur dan berproses sama
dengan penulis-penulis generasi baru ketika karya mereka diterbitkan. Mereka
jelas tidak seumur dengan generasi keempat 2010-an. Ki Suryo berusia lebih jika
dibandingkan generasi penulis bangkalan generasi ke dua, generasi yang berproses
sebelum tahun 2000. Buyung secara usia masuk ke generasi ke-3, yaitu generasi
2000-an. Bagus dan Ina memang segenerasi dengan keempat tapi mereka bukan
aktivis teater yang menjadi karakteristik utama generasi keempat. Mereka memang
pendatang. Namun kiprah dan karya mereka harus dicatat. Tidak untuk
dikelompokkan tetapi untuk diabadikan dalam catatan
Mengulas bahasa Madura secara
diakronis menjadi menarik ketika penelitian saat ini cenderung pada yang “terbaru”.
Kata ini problematik sebab tak ada yang benar-benar baru dalam penelitian. Mungkin
yang dimaksud adalah novelty. Kebaruan. Ada kualitas yang terasa baru
atau tidak biasa. Tentu objek lama bisa dirasakan kebaruannya. Baiklah kita
kesampingkan hal tersebut. Kita buka kembali perbendaharaan lama dari langue
orang Madura. Malu.
Saya akan mengabaikan malu
dalam budaya. Kita akan masuk pada malu dalam nama. Dalam nahwu ‘alam jins.
Dua kata dari flora dan fauna. Lo-malo dan râng-birâng. Putri malu
dan luing atau kaki seribu.
Toḍus merupakan hipernim dari
beberapa kata malu dalam bahasa Madura barat. Hiponimnya malo, sengka,
cangkolang, dsb. Kaitan dengan dua kata ulang di atas?
Lo-malo [lo.ma.lo] berasal
dari malo dengan [o]. Kata ini sedikit berbeda dengan malo [ma.lɔ(h)] dengan bunyi [ɔ] yang
bermakna kultural. Lo-malo merupakan serapan dari bahasa Melayu malu. Disebut
malu-malu sebab tumbuhan ini mengatupkan daun dan rantingnya ketika disentuh. Menghasilkan
personifikasi yang mirip dengan manusia ketika malu yang cenderung menutup muka
atau masuk ke ruangan untuk menghindar. Kata ini hanya digunakan dalam penamaan
dan tidak ditemukan dalam kategori dan bentuk yang lain. Untuk menyatakan malu
orang Madura barat menggunakan kata toḍus.
Kata selanjutnya adalah râng-birâng.
Sudah bisa diduga bahwa kata ini serapan dari bahasa Jawa wirang ‘malu’.
Bunyi w menjadi b dan a menjadi â. Seperti juga putri
malu, kaki seribu akan melingkarkan tubuhnya ketika diganggu sebagai bentuk
pertahanan diri. Seperti malo, birâng juga tidak digunakan dalam
kehidupan sehari-hari selain sebagai nama. Kata ini bersinonim dengan kata toḍus.
Pencarian identitas menjadi titik kesadaran seseorang dari
suku tertentu. Dulu, saya berada pada persepsi bahwa suku Madura merupakan suku
yang berbudaya “memalukan”. Hampir semua budaya Madura merupakan reduksi dari
budaya “asli” dari Jawa. Nama bulan, nama hari, weton, tingkatan bahasa, ritus
kelahiran, pernikahan bahkan kematian, dan masih banyak lagi yang lainnya
(teringat Bang Haji Rhoma).
Saya juga pernah berpikir bagaimana cara lepas dari
pengaruh Jawa. Mengidentifikasi diri sebagai bukan Jawa. Dengan menjadi Madura
“penuh” makin memalukan lagi. Budaya blatèr pada saat itu kurasa tidak
lebih dari budaya preman. Carok, remo dan minuman keras, musik ingar sandur
dengan tandak laki-lakinya, mendapat legitimasi “haram” dari Islam. Seorang
guru saya juga menceritakan tidak ada peran orang Madura dalam pertempuran
Surabaya. Ditambah peristiwa Sambas dan Sampit di Kalimantan.
Sampai... Saya membaca Madura dalam buku-buku peneliti
asing. Mulai bangga? Belum. Dalam tulisan penulis Belanda, suku Madura tidak
lebih sebagai Jawa yang lebih rendah. Suku Madura selalu di bawah bayang-bayang
Jawa. Waktu itu saya masih di Yogyakarta. Bahkan, ketika seorang Profesor
meminta menyebutkan angka dalam bahasa Madura, saya merasa canggung dan malu
menyebutkan. Padahal, beliau hanya membandingkan dengan bahasa daerah lain
untuk kepentingan kuliah tentang simbol dan makna. Kesadaran saya sedikit
bangkit ketika beliau menanyakan sebuah kata. Papilon. Nama sebuah diskotik di
Yogyakarta. Sebagian teman menganggap itu bahasa Inggris. Namun saya bisa tahu
bahwa itu bahasa Perancis. Secara sederhana kata itu dibaca (papiyong) atau
dalam tulisan fonetik perancis [papi'jɔ̃]. Artinya kupu-kupu. Bisa dibayangkan
kupu-kupu sebagai nama diskotik? Sudah bisa ditarik asosiasinya mengarah ke
mana? Tapi, bukan itu yang saya pelajari. Perancis. Perancis pernah menjadi
bahasa resmi kerajaan Inggris selama kurang lebih 300 tahun. Bahasa Perancis
dianggap bahasa Elit, sedangkan Inggris bahasa jelata. Bagaimana sekarang?
Bahasa Inggris menjadi bahasa dengan penutur terbesar di dunia.
Cerita Inggris ini menginspirasi bagaimana sebuah bahasa
bisa naik kelas karena penuturnya. Suku yang menuturkannya. Dan Madura, .....
Ia telah menjadi bahasa yang tersendiri, budaya tersendiri, suku tersendiri.
Meskipun, sulit membedakan suku Jawa dari suku Madura jika dilihat dari
fisiknya. Suku Madura cenderung mengekspresikan idenya dengan lebih lugas. Dominasi
bunyi tak bersuara dan bunyi-bunyi beraspirat membuat bahasa Madura terasa
kurang merdu jika dibandingkan dengan bahasa Jawa. Seperti juga dominasi bunyi
sengau dan pembisuan “konsonan” pada suku tertutup, misalnya Paris yang dibaca
pari tanpa s, membuat bahasa Perancis terasa lebih merdu dari bahasa Inggris. Tentu
menggunakan bunyi r yang sebunyi dengan huruf arab غ atau secara
fonetis digambarkan dengan r kapital kecil terbalik [ʁ].
Seperti juga Inggris, manusia Madura memiliki sifat
ekspansif. Mereka merantau dan berkumpul bisa dengan siapa saja. Namun kembali
ke identitas ke-Maduraan ketika berkumpul sesama Madura. Hal ini yang menjadi
salah satu alasan adanya kabupaten-kabupaten Jawa Timur di luar Madura yang dominan
berbahasa Madura. Demikian pula di beberapa daerah di Kalimantan, Jakarta, dan
banyak lagi yang lainnya.
Adanya tokoh besar Madura yang berpikiran maju menambah
kebanggaan sebagai Madura. M. Tabrani yang memperjuangkan bahasa Indonesia dalam
kongres pemuda yang menghasilkan Sumpah Pemuda. Abdul Halim Perdana Kusuma seorang
pahlawan asal Sampang, Madura. Dua nama ini saja membuktikan bahwa pernyataan
guru saya tentang tak ada tokoh Madura pada perjuangan kemerdekaan menjadi
batal dengan sendirinya. Saya tidak menyebutkan Trunojoyo sebab beliau belum
mengenal konsep ke-Indonesiaan. Belum lagi tokoh-tokoh berpengaruh setelah masa
kemerdekaan.
Sayangnya, kesadaran akan ilmu pengetahuan tidak sejajar
dengan kesadaran kesukuan. Orang Madura terdidik cenderung menggunakan bahasa Indonesia
dan melupakan bahasa Madura sampai pada taraf canggung mengucapkan karena sudah
lama tak diucapkan. Madura seperti bejana kecil yang ketika isinya membesar
yang paling atas meluber keluar. Ke-Maduraan seharusnya dimaknai sebagai watak:
jujur dan berani plus berilmu dan/atau beradab. Dengan meniru Muhammadiyah “Madura
berkemajuan”. Madura dengan jujur dan berani dan berkemajuan dengan ilmu dan
peradaban. Selama ini Madura dalam bingkai ke-Indonesiaan terlalu mengadopsi porsi
“ke-NU-an” yang terlalu spiritual sehingga spiritualisme ini mengarah pada
fanatisme yang mengarah pada pengkultusan. Madura cenderung mengabaikan
ke-Muhammadiyah-an yang lebih kognitif-objektif bahkan cenderung profan. Mengutamakan
ketuhanan dengan melupakan kemanusiaan. Wallah a’lam bi as-ṣawab.