M. Helmy Prasetya
Pada
awalnya saya mengenal sastra secara tak terduga. Bahkan saya tidak berpikir sedang
menyukai sastra atau tidak. Di masa awal (ketika duduk di bangku SMA), saya
gemar menulis apa saja dengan maksud sebagai komunikasi bebas. Baik untuk keluarga,
guru, untuk teman, ke karib-karib yang lain, termasuk juga ke pacar. Saya lebih
memilih memberi tulisan pada secarik kertas atau benda-benda yang bisa ditulis untuk
disampaikan kepada orang lain, sebagai maksud tujuan bercakap. Kegiatan menulis
di masa itu dan begitu sungguh mengasyikkan. Tidak seperti sekarang yang sudah
beralih ke metode “ketik” langsung.
ilustrasi dari Designer AI
Tahun
2002 boleh dibilang sudah cukup aktif bersastra. Sejumlah puisi dan naskah
drama lumayan banyak saya buat. Tapi
pada tahun itu saya mendapatkan penolakan dari keluarga.
Puisi-puisi yang saya tulis, naskah drama yang saya buat, suatu hari dirampas
dan dihamburkan di hadapan saya yang tertunduk di atas kursi. Dihamburkan
dengan nada “mengejek”: (tak perlu saya tulis bagian ini, karena memang
menyakitkan). Sastra tak
mendapat tempat dalam keluarga saya.
Tapi
dari sanalah kemantapan proses menulis saya bermula. Mantap sebagai karya
tentunya. Menekuninya, serius. Tak adanya dukungan dari keluarga, karena orang
tua memang tak tamat SD bukan jadi penghambat. Justru menjadi poin tersendiri
bagi saya, hingga akhirnya berjalan bersama waktu saya makin ketagihan membuat
tulisan. Apalagi aktivitas di luar keluarga membuat saya terdukung untuk terus
aktif dalam menulis.
Mundur
sedikit sebelum
tahun 2002. Selepas
SMA tahun 1996, saya langsung diposisikan sebagai pelatih Sanggar Teater
Mutiara SMAN 3 Bangkalan oleh situasi. Di tempat itu, keberangkatan terkuat berada.
Selaku pelatih tentu dituntut kreatif agar aktivitas sanggar jadi berjalan.
Untuk pengembangan ke arah sana, tak ada tempat yang bisa dijadikan rujukan
pembelajaran. Tak ada, selain segala yang diupayakan langsung dari pengalaman
diri sendiri. Maka aktivitas yang berjalan tiada lain hanya materi-materi yang
meminta anggota untuk menulis puisi yang kemudian dibacakan dan dikumpulkan.
Juga membuat naskah drama lalu dipentaskan, dan lain-lain. Seperti itu terus
berlanjut berbulan-bulan lamanya.
Keadaan
tersebut di satu sisi makin giat membuat saya suka menulis. Di sisi lain saya berjumpa
dengan tokoh dan pokok yang menawarkan beragam sumber. Seperti puisi-puisi
Chairil Anwar yang tak bisa dipungkiri ada dalam pelajaran sekolah, seperti Rendra
dan bengkel teaternya, seperti Majalah Horison yang berisi karya-karya sastra
yang diakui keagungannya, rubrik sastra Jawa Pos, buku puisi Asmaradana
karya Goenawan Mohamad, juga Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko
Damono, hingga satu novel dari tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer
yang berjudul Bumi Manusia. Termasuk bertemu langsung dengan seorang
penyair dari Padang, Agus Hernawan.
Ajaib
sekali saya menemukan referensi-referensi itu. Semua saya dapat bukan dari
latar pendidikan. Karena selepas SMA saya tak langsung melanjutkan kuliah,
justru aktif sibuk dengan urusan sanggar sebagai pengisi waktu selama
menganggur. Saya peroleh semua itu dari gesekan-gesekan yang terjadi di ruang
sanggar/komunitas yang saya kelola. Termasuk juga dukungan pembina sanggar yang
kala itu dijabat oleh Bapak Sunar Dwigjo Wahono yang gemar meminjami saya
buku-buku sastra untuk dibaca. Sangat diingat adalah buku Linus Suryadi AG yang
berjudul Pengakuan Pariyem dan sejumlah buku karya Putu Wijaya.
Dari
tahun ke tahun saya makin tertarik ke dunia sastra. Saya dirikan kemudian
kelompok teater bernama Ndase, sebuah sanggar yang bergerak di bidang teater
dan sastra sekaligus. Menghasilkan antologi puisi bersama berupa manuskrip berjudul
“Nyanyian Tanah Kering” yang menampung penulis-penulis muda Bangkalan di masa
itu. Pertemuan dengan Lingkar Sastra Junok juga adalah spirit lain yang sedikit
banyak membawa gairah. Di kelompok sastra yang bermarkas di Junok itu ruang apresiasi
terkait sastra kerap saya temui. Dialektika tumbuh dan keseriusan makin
berkembang walau pada akhirnya segala isi waktu pecah dan menjadi
masing-masing.
Namun
hal yang paling menentukan untuk serius menulis, sebenarnya berangkat dari
kegelisahan-kegelisan pribadi saya yang datang dari lingkungan yang buruk. Katakanlah
pengalaman buruk. Misalnya pada masa 1997 hingga 1998, terdapat situasi yang
hingga hari ini membekas di ingatan. Puncaknya tahun 2001.
Pertama adalah perasaan lelah
menjadi diri sendiri yang kala itu menjalani masa-masa tak berbobot: bekerja
sebagai buruh pabrik kayu di Margomulyo Surabaya, jadi kernet truk kayu jurusan
Sampang Banyuwangi, menjadi tukang cuci mobil di Banyuates dengan upah ala
kadarnya, menjadi penjaja kue dari toko ke toko dengan berjalan kaki hampir
di seluruh kecamatan bagian barat Bangkalan, menjadi kuli bangunan di Rungkut
Surabaya, dan semacamnya.
Kedua lebih ke faktor ekternal,
yakni matinya aktivitas kesenian di Bangkalan, khususnya teater dan sastra
diakibatkan tragedi yang menimpa sebuah sanggar sekolah yang tengah melakukan
latihan alam di Pantai Siring Kemuning, Tanjungbumi, Bangkalan. Kala itu 9
siswa anggota teater tewas
setelah
menceburkan diri ke pantai untuk melakukan latihan alam. Pada peristiwa itu 1
orang hingga kini tak ditemukan jasadnya. Adik saya, adalah salah satu korban
yang selamat namun mengalami trauma hingga berbulan-bulan. Tak mau bicara, enggan makan, dan hanya menangis
tersedu-sedu. Parahnya lagi, setelah
kejadian itu teater dan sastra di Bangkalan menjadi sangat menyedihkan, amat sepi,
begitu menakutkan, ditolak dan dijauhi masyarakat.
Ketiga adalah masa saat Madura
mati lampu hingga 3 bulan lamanya. Mati lampu dengan segala desas-desus yang
meresahkan masyarakat. Momen ini juga dibarengi dengan isu ninja (santet yang
mewabah). Tak ada aktivitas yang terjadi, selain pada setiap malam para lelaki
menenteng celurit ke sana-sini. Siap menebas siapa saja yang mencurigakan.
Keempat adalah datangnya reformasi
yang menegaskan suasana politik negeri yang hancur. Krisis moneter menjadi
makin ruwet dan tak menjelaskan. Masa di mana saya dalam beberapa waktu ditolak
melamar kerja.
Lalu
yang kelima adalah konflik Madura Dayak tahun 2001. Peristiwa yang amat mengerikan tersaji. Betapa tidak,
hampir sepanjang malam kala itu, saya berdiam diri sendirian di rumah.
Sementara keluarga oleh pemeritah harus diungsikan ke Batuporon Kamal demi
keamanan. Keluarga saya mengungsi, karena semua tahu, saya dan keluarga saya
adalah orang Kalimantan, pendatang, bukan orang Madura.
Hal-hal
di atas itulah yang membawa pengaruh terhadap diri saya untuk serius dalam
menulis. Saya akui dari sanalah ide-ide berkarya muncul. Sebenarnya bukan karya
barangkali, mungkin refleks emosi diri saja, karena lebih pada gerutu atau
makian yang benar-benar ingin saya tumpahkan. Baik berupa puisi atau
naskah-naskah drama. Walau pada dasarnya, segala yang saya tulis itu kerap
bernada penyayangan semata, yang seolah bertanya “mengapa, mengapa, mengapa
semua itu terjadi?”
Maka
tak heran, berselang beberapa tahun kemudian sejumlah tulisan dapat saya kumpulkan,
antara lain “Goresan Babat Kehidupan”, “Sampah Bicara Sejarah Hari ini”, “Sajak
untuk Pacar Gelapku Roro”, “Lelaki Senja”, dan naskah teater berjudul
“Insulinde” serta “Jalan ke
Langit”. Puncaknya terbit buku
puisi yang saya beri judul “Antologi Cinta”.
Tulisan-tulisan
awal saya tersebut, sebenarnya adalah bagian yang lebih saya perhitungkan
ketimbang karya-karya yang saya tulis akhir-akhir ini. Perannya jelas, karena
tanpa tulisan-tulisan saya yang terdahulu, tak mungkin rasanya bakal lahir
karya-karya lain yang saya buat, bahkan sampai hari ini. Selain disebabkan juga
oleh peristiwa seperti yang saya maksudkan di paragraf kedua. Secara kualitas
barangkali patut dipertanyakan, barangkali jelek, namun bagi saya itu tak
penting dan tak terlalu saya risaukan.
Kualitas
karya sejauh ini memang tak menjadi pengganggu. Saya percaya fenomena objektif
pembaca. Ketika ditanya mana karya yang dianggap fenomenal? Tentu saya akan
menunjuk tulisan-tulisan yang saya buat pada masa awal. Tak ada yang spesifik. Alasannya
jelas. Sudah terpapar. Karena lagi, tujuan saya menulis juga tidak mencari
kualitas atau ujung-ujungnya ingin terkenal dan disebut sastrawan. Tidak.
Bahkan tidak sama sekali. Ada hal dan ruang yang membuat saya sedikit tahu
diri. Walau pada perkembangannya, proses kreatif menulis yang saya lalui akhirnya
berpapas dengan sistem yang di dalamnya terdapat perspektif kualitas seperti
tergabungnya saya di Antologi Puisi Penyair Mutakhir Jawa Timur edisi
Festival Seni Surabaya tahun 2004 yang dikuratori W Haryanto. Atau pada tahun
berikutnya, tahun 2005, R. Giryadi yang memuat 5 puisi saya di Surabaya Post.
Saya
tidak terlalu gembira dengan hal itu. Entah apa sebabnya. Mungkin karena belum
ada di pikiran saya untuk berfokus bagaimana menulis karya sastra yang baik dan
benar. Belum ada hal itu, belum saya rasakan yang begitu. Saya menulis, lebih
banyak terjadi pada suatu keadaan langsung. Seperti pentas drama 1 babak.
Misalnya sebagai contoh puisi berjudul “Di Atas Selat Madura” (2001), yang
dimuat di Antologi Puisi Penyair Mutakhir Jawa Timur, yang disebut-sebut
oleh pihak kurator seperti sebuah sajak yang ditulis seorang penyair besar, adalah
puisi yang langsung jadi ketika itu. Saya buat puisi itu kala sedang duduk di
atas kapal penyeberangan Ujung Surabaya menuju Dermaga Kamal, melihat sekitar,
memandang keadaan, merasakan yang terjadi, lalu menuangkannya ke dalam kertas. Tak
ada editan seperti yang kerap terjadi pada proses kreatif menulis zaman
sekarang.
Kadang
kapal yang berlabuh
kita
sebut cerita
Di
atasnya kita tandai pula
seindah
kita bayangkan
:
air berkelok, suara mesin kapal,
gambar
orang-orang menangis
telah
mengantarkan kita pada sebuah
kenangan
masa datang
(“Di
Atas Selat Madura”, Antologi Cinta, hlm. 21)
Itulah
puisi yang saya maksud. Puisi yang saya tulis sebelum memutuskan untuk kuliah
di tahun itu juga. Tepatnya bulan September 2001, mengambil jurusan Bahasa dan
Sastra Indonesia. Sebuah jurusan yang mempertemukan saya dengan seabrek teori
sastra, aturan kebahasaan, kritik sastra dan semacamnya. Saya bersyukur lebih
dahulu dipertemukan dengan proses kreatif menulis langsung, bukan dengan aturan
atau tata cara menulis yang baik dan benar seperti yang diajarkan di bangku
kuliah.
Lantas,
seperti apakah karya-karya yang ditulis setelah mengeyam pendidikan di jurusan
Bahasa dan Sastra Indonesia? Adakah pengaruh yang merubah? Tentu, dan boleh
saya tegaskan bahwa pengaruhnya lebih pada pilihan-pilihan suatu kondisi
bagaimana memanajemen karya. Bukan pada keberlangsungan penciptaan karya. Misalnya
lebih mengerti menempatkan karya berdasarkan aspek tematik, sehingga muncul
antologi puisi “Sajak Tuhan”, Ollesia, Sepasang Mata Ayu, Tamasya Celurit
Minor, Antropologi Hilang, Mendapat Pelajaran dari Buku, dan lain-lain. Beberapa
pengantologian puisi yang arahnya lebih pada strategi agar tercipta lingkungan
sastra yang kondusif, hidup, dan makin banyak diminati.
Menyeringkan
agenda diskusi sastra juga merupakan pengaruh dari faktor pendidikan yang saya
jalani. Muncul beberapa gerakan sastra seperti berdirinya Komunitas Masyarakat Lumpur bersama
Rozekki, Bangkalan Membaca bersama Ahmad Faishal (Acong),
Festival Puisi Bangkalan
bersama Buyung Pambudi, Mancing Sastra bersama Joko Sucipto,
Baca Puisi Na’kana’ Bhângkalan
bersama Muzammil Frasdia, dan gerakan-gerakan memasukkan sastra ke dalam ruang
seni rupa bernama Manifesto Idiot bersama Anwar Sadat, merupakan
pengaruh dari aktivitas saya selama mengeyam pendidikan hingga menjadi tenaga
pengajar di sebuah perguruan tinggi. Dan semua itu, berdampak positif mengingat
perkembangan sastra di Bangkalan dari tahun ke tahun mengalami perkembangan luas dan asyik.
Barangkali,
melewati itu semua, di aspek pendidikan, boleh jadi tipikal saya dalam menulis
menjadi bergeser. Tapi sekali lagi, bergeser atau tidak, tak pernah saya
perhatikan. Sebab, tanpa saya sadari. Kemudian pelan-pelan saya sadari, ada
prinsip-prinsip yang tak bisa saya ubah dalam menuliskan karya sejak dari awal.
Misalnya, berpikir untuk apa saya menulis, untuk siapa saya menulis, tak pernah
saya pertanyakan itu.
Saya meyakini saja, bahwa suatu saat, apa saja yang saya tulis, jadi karya sastra
atau bukan, kelak pasti akan berguna.
Mungkin
karena alasan tersebut,
perlu saya akui, saya termasuk orang yang enggan mengirim karya ke media dalam
rangka apa pun. Ada perasaan yang tak bebas, ada penghimpitan, ada yang tak
dapat digapai, ada kejujuran yang hilang. Jika di suatu waktu saya ketahuan
mengirimkan karya, hitunglah itu berangkat dari keterpaksaan yang tak bisa saya
jelaskan di ruang ini.
Artinya, proses
kreatif menulis yang saya jalani bukan ingin menyergap pengakuan, terkenal, dan
dapat hasil dari itu. Tapi lebih
sebagai sebuah jalan alternatif agar saya tetap
bisa bertahan di ruang hidup yang kian hari makin gelap dan hancur bentuknya.
Saya percaya, jalan sastra
bisa menyelamatkan ketakberesan hidup saya.
Jadi penuntun
bagi saya mengarungi panjangnya ketiadaan.
Beruntung, pada suatu waktu
saya dapat berjumpa langsung dengan KH. Mustafa Bisri di acara Muktamar Sastra
2018 di Sukorejo, Situbondo. Kesempatan yang indah, karena dari beliau saya
mendapatkan pernyataan penting yang hingga kini tetap saya ingat. Yakni, “Sudah
saatnya sastra menjadi panglima peradaban,” ujar beliau dari atas mimbar. Meyakinkan.
Mengokohkan.
Sekali lagi perlu saya
utarakan, bahwa saya menulis—untuk ruang apa pun, karena
percaya bahwa seluruh kenyataan yang ada hanyalah fana. Yang bisa jadi abadi,
mungkin segala hal yang penah kita upayakan untuk selalu dituang ke dalam
tulisan, ke dalam tulisan, ke dalam tulisan. Dan, biarlah waktu yang
membacanya.
Bangunlah engkau
pagi-pagi
setelah itu bukalah
jendela kamarmu
dari situ kau dapat
menyaksikan betapa berat
hidup yang dipikul oleh
orang-orang seperti kita
lalu melihatlah ke arah
langit, dari situ kau juga dapat
mengepalkan kedua
tanganmu tinggi-tinggi hingga
akhirnya kau mengerti
bagaimana cara memaknai hidup
yang hanya terdiri dari
tiga lembar peristiwa: kelahiran,
kesedihan, dan kematian.
Itu saja.
(“Dari Jendela”, Antologi
Cinta, hlm. 43)