Muhri
Pencarian identitas menjadi titik kesadaran seseorang dari
suku tertentu. Dulu, saya berada pada persepsi bahwa suku Madura merupakan suku
yang berbudaya “memalukan”. Hampir semua budaya Madura merupakan reduksi dari
budaya “asli” dari Jawa. Nama bulan, nama hari, weton, tingkatan bahasa, ritus
kelahiran, pernikahan bahkan kematian, dan masih banyak lagi yang lainnya
(teringat Bang Haji Rhoma).
Saya juga pernah berpikir bagaimana cara lepas dari
pengaruh Jawa. Mengidentifikasi diri sebagai bukan Jawa. Dengan menjadi Madura
“penuh” makin memalukan lagi. Budaya blatèr pada saat itu kurasa tidak
lebih dari budaya preman. Carok, remo dan minuman keras, musik ingar sandur
dengan tandak laki-lakinya, mendapat legitimasi “haram” dari Islam. Seorang
guru saya juga menceritakan tidak ada peran orang Madura dalam pertempuran
Surabaya. Ditambah peristiwa Sambas dan Sampit di Kalimantan.
Sampai... Saya membaca Madura dalam buku-buku peneliti
asing. Mulai bangga? Belum. Dalam tulisan penulis Belanda, suku Madura tidak
lebih sebagai Jawa yang lebih rendah. Suku Madura selalu di bawah bayang-bayang
Jawa. Waktu itu saya masih di Yogyakarta. Bahkan, ketika seorang Profesor
meminta menyebutkan angka dalam bahasa Madura, saya merasa canggung dan malu
menyebutkan. Padahal, beliau hanya membandingkan dengan bahasa daerah lain
untuk kepentingan kuliah tentang simbol dan makna. Kesadaran saya sedikit
bangkit ketika beliau menanyakan sebuah kata. Papilon. Nama sebuah diskotik di
Yogyakarta. Sebagian teman menganggap itu bahasa Inggris. Namun saya bisa tahu
bahwa itu bahasa Perancis. Secara sederhana kata itu dibaca (papiyong) atau
dalam tulisan fonetik perancis [papi'jɔ̃]. Artinya kupu-kupu. Bisa dibayangkan
kupu-kupu sebagai nama diskotik? Sudah bisa ditarik asosiasinya mengarah ke
mana? Tapi, bukan itu yang saya pelajari. Perancis. Perancis pernah menjadi
bahasa resmi kerajaan Inggris selama kurang lebih 300 tahun. Bahasa Perancis
dianggap bahasa Elit, sedangkan Inggris bahasa jelata. Bagaimana sekarang?
Bahasa Inggris menjadi bahasa dengan penutur terbesar di dunia.
Cerita Inggris ini menginspirasi bagaimana sebuah bahasa
bisa naik kelas karena penuturnya. Suku yang menuturkannya. Dan Madura, .....
Ia telah menjadi bahasa yang tersendiri, budaya tersendiri, suku tersendiri.
Meskipun, sulit membedakan suku Jawa dari suku Madura jika dilihat dari
fisiknya. Suku Madura cenderung mengekspresikan idenya dengan lebih lugas. Dominasi
bunyi tak bersuara dan bunyi-bunyi beraspirat membuat bahasa Madura terasa
kurang merdu jika dibandingkan dengan bahasa Jawa. Seperti juga dominasi bunyi
sengau dan pembisuan “konsonan” pada suku tertutup, misalnya Paris yang dibaca
pari tanpa s, membuat bahasa Perancis terasa lebih merdu dari bahasa Inggris. Tentu
menggunakan bunyi r yang sebunyi dengan huruf arab غ atau secara
fonetis digambarkan dengan r kapital kecil terbalik [ʁ].
Seperti juga Inggris, manusia Madura memiliki sifat
ekspansif. Mereka merantau dan berkumpul bisa dengan siapa saja. Namun kembali
ke identitas ke-Maduraan ketika berkumpul sesama Madura. Hal ini yang menjadi
salah satu alasan adanya kabupaten-kabupaten Jawa Timur di luar Madura yang dominan
berbahasa Madura. Demikian pula di beberapa daerah di Kalimantan, Jakarta, dan
banyak lagi yang lainnya.
Adanya tokoh besar Madura yang berpikiran maju menambah
kebanggaan sebagai Madura. M. Tabrani yang memperjuangkan bahasa Indonesia dalam
kongres pemuda yang menghasilkan Sumpah Pemuda. Abdul Halim Perdana Kusuma seorang
pahlawan asal Sampang, Madura. Dua nama ini saja membuktikan bahwa pernyataan
guru saya tentang tak ada tokoh Madura pada perjuangan kemerdekaan menjadi
batal dengan sendirinya. Saya tidak menyebutkan Trunojoyo sebab beliau belum
mengenal konsep ke-Indonesiaan. Belum lagi tokoh-tokoh berpengaruh setelah masa
kemerdekaan.
Sayangnya, kesadaran akan ilmu pengetahuan tidak sejajar
dengan kesadaran kesukuan. Orang Madura terdidik cenderung menggunakan bahasa Indonesia
dan melupakan bahasa Madura sampai pada taraf canggung mengucapkan karena sudah
lama tak diucapkan. Madura seperti bejana kecil yang ketika isinya membesar
yang paling atas meluber keluar. Ke-Maduraan seharusnya dimaknai sebagai watak:
jujur dan berani plus berilmu dan/atau beradab. Dengan meniru Muhammadiyah “Madura
berkemajuan”. Madura dengan jujur dan berani dan berkemajuan dengan ilmu dan
peradaban. Selama ini Madura dalam bingkai ke-Indonesiaan terlalu mengadopsi porsi
“ke-NU-an” yang terlalu spiritual sehingga spiritualisme ini mengarah pada
fanatisme yang mengarah pada pengkultusan. Madura cenderung mengabaikan
ke-Muhammadiyah-an yang lebih kognitif-objektif bahkan cenderung profan. Mengutamakan
ketuhanan dengan melupakan kemanusiaan. Wallah a’lam bi as-ṣawab.
0 comments:
Posting Komentar