Muhri
Waktu itu saya masih di UGM belajar ilmu sastra. Seingat saya, itu
saat bimbingan sekitar 2008 akhir. Kebetulan saya mengangkat sisi budaya
kekerasan dalam sebuah novel tulisan penulis Madura. Dalam bimbingan ada satu
simbol kultural yang disebut blatèr. Pembimbing saya seorang Profesor
yang pada waktu itu merupakan petinggi Aisyiyah pusat. Organ Muhammadiyah yang
mirip Muslimat di NU. Beliau juga terkenal sebagai tokoh feminisme di UGM pada
waktu itu. Salah satu tokoh yang saya kagumi dan menginspirasi saya.
“Ini menarik. Dalam bahasa Jawa, blatèr itu artinya supel,
pandai bergaul.” Kata beliau. Waktu itu, saya belum punya akses pada kamus
bahasa Jawa.
Akses terhadap kamus bahasa Jawa pertama kali saya dapat setelah
saya menulis kamus bahasa Madura. Kamus online aplikasi dalam situs resmi UGM. Waktu
itu sekitar tahun 2015 dengan niat mengembangkan kamus Madura saya yang terbit
2014. Dengan membaca buku ajar Bahasa Madura tingkat SD sampai SMA proyek Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur, saya berusaha mencari padanan
kata bahasa Madura yang tidak saya mengerti dalam bahasa Jawa. Waktu itu saya
tidak memiliki satu pun kamus bahasa Madura. Ada beberapa kata yang tidak bisa
ditelusuri. Meski demikian, saya tetap beruntung. Saya terinspirasi untuk
menelusuri bahasa Madura secara diakronis dengan melacak asal kata dalam bahasa
lain, baik bahasa serumpun maupun bahasa asing. Mencari etimologi kata dalam
bahasa Madura.
Hasil pencarian saya saya konfirmasi lagi setelah saya memiliki
kamus Bausastra Jawa dari Balai Bahasa Yogyakarta yang diterbitkan
Kanisius. Pada kamus itu blatèr[1]
didefinisikan ‘bisa srawungan karo sapa baé’. Mungkin artinya bisa
bergaul dengan siapa saja. Definisi ini sesuai dengan kaum blatèr yang
memiliki pergaulan luas berkat lembaga yang disebut rèmo yang secara
sederhana bisa disebut hajatan atau pesta.
Pada 2020 dan 2021 saya menemukan salinan buku kamus digital
berformat PDF. Kamus tersebut ditulis oleh H.N. Kiliaan berjudul Madoereesch-Nederlandsch
Woordenboek. Dalam bahasa Indonesia berarti Kamus Madura-Belanda. Saya pun
berharap mendapat pengertian kata-kata penting pada masa itu, yaitu tahun
terbit kamus 1904 jilid 1 dan 1905 jilid 2. Salah satu kata yang penting itu adalah
kata blatèr. Dengan scroll tetikus[2]
komputer akhirnya saya sampai pada bagian B. B terdapat pada jilid dua buku
tersebut. Sebab, kamus tersebut mengikuti urutan abjad Caraka.
Saya pun mencari dengan hati-hati. Lema demi lema. Dan setelah naik
turun berkali-kali, kata blatèr tidak ada pada kamus tersebut. Saya pun
menerawang pada kemungkinan-kemungkinan. Kemungkinan pertama menurrut saya
waktu itu kealpaan penulis. Yah, mungkin kata ini terlewat. Tapi mengingat
detil kamus yang luar biasa, segera saya abaikan kemungkinan ini. Apalagi jika
mengingat kata ini begitu penting dalam istilah kultural Madura. Tidak mungkin
kata sepenting ini bisa terlupakan. Saya pun mengembara pada
kemungkinan-kemungkinan lain. Sampai pada suatu pemikiran. Blatèr tidak
dikenal pada waktu itu.
Saya pun mencoba mencari padanan kata ini di Madura bagian timur,
yaitu bâjing atau bâjingan.[3]
Setelah mencari beberapa detik saya temukan katan bàjing dengan ejaan à
bertanda diakritik grave, yaitu tanda coret di atas mengarah ke belakang.
Dalam ejaan hari ini sama dengan a tanpa tanda diakritik circumflex (â) yaitu
tanda mirip caping di atas. Bentuk turunannya adalah bàjingan. Penemuan
kata ini menguatkan asumsi saya yang terakhir bahwa kata blatèr tidak dikenal sebelum
abad 20. Entah kapan pastinya.
Yang paling mengherankan dari kata bajingan di atas adalah
definisi yang diberikan oleh Kiliaan. Kiliaan tidak mendefinisikan dalam bahasa
Belanda. Sebaliknya, ia menuliskan definisi dalam bahasa Madura. Dengan
menyesuaikan pada ejaan terbaru saat ini, bajingan didefinisikan sebagai
orèng palancongan. Dalam bahasa Belanda orèng palancongan
disinonimkan dengan landlooper atau dalam ejaan Belanda saat ini ditulis
landloper. Dan definisi ini mengejutkan. Landloper berarti orang
yang tidak memiliki tempat tinggal tetap. Bahasa kasarnya gelandangan. Kembali
pikiranku menerawang dan berhenti pada Soto Madhurâ[4]
dalam orkes Melayu.
Drama ini dimulai dengan lagu “Sanjungan Jiwa” yang dinyanyikan
duet oleh tokoh laki-laki dan perempuan. Adegan dimulai dengan saling sapa dan
saling hina dengan sengit. Kemudian menjelang akhir keduanya saling tanya nama
dan alamat. Belakangan diketahui, berdasarkan cerita, perempuan tersebut adalah
istri dari tokoh laki-laki yang telah ditinggal lama merantau. Laki-laki blatèr
sampai lupa wajah istrinya karena selalu melancong kemana-mana menjalani hidup
sebagai blatèr. Hidup menjadi blatèr disebut ablatèr.
Akhirnya, saya tidak ingin menghadirkan definisi kata blatèr
tersebut. Saya hanya ingin bercerita tentang perjalanan kata blatèr
dalam perjalanan pemikiran dan keilmuan. Selebihnya, waktu akan berbicara.
Waktu juga yang akan menentukan apakah kata blatèr akan tetap hidup, mati,
atau tergantikan. Tetap atau berubah.
[1] Tim Balai
Bahasa Yogyakarta, Kamus Basa Jawa: Edisi Kedua, (Yogyakarta: Kanisius, 2011)
h. 66
[2] Piranti
komputer yang dalam bahasa Inggris disebut mouse.
[3] H.N. Kiliaan, Madoereesch-Nederlandsch
Woordenboek: Tweede Deel, (Leiden: E.J. Brill, 1905), h. 351
[4] Satu segmen
dalam Orkes Melayu Madura yang muncul setelah semua biduan tampil dan sebelum
segmen drama