03 Maret 2023

,

TIDAK ADA MADURA ASLI: CERITA MANCING SASTRA 37 “TATAK BÂN TOTOK”

Muhri

        Sebenarnya saya tidak ingin bicara pada waktu itu. Sengaja saya bawa buku tulis dan pinjam bolpen untuk menulis kosa kata kamus saja sembari mendengarkan. Sekedar melakukan darma sebagai supporter kesenian di Bangkalan.

Cerita ini dimulai dengan flyer yang terbang di akun Facebook resmi Komunitas Masyarakat Lumpur. Mancing Sastra #37. Dua hari kemudian, tiga hari sebelum hari H, sebuah undangan berformat pdf meluncur melalui nomor WA. Resmi dengan kepala surat KML. Sebenarnya, saya tetap akan hadir meski tanpa undangan resmi. Bagi saya, selama kegiatan seni tersebut terbuka untuk umum dan tidak ada kegiatan rutin dan / atau wajib, saya sempatkan untuk hadir.



Sabtu, sehari sebelum hari H, dalam perjalanan ke Stairua, Sreseh, Sampang, saya bertanya pada Roz, “Acara besok itu jam berapa?”. Dalam bahasa Madura.

“Jam 10.”

“Tepat waktu?”

“Mungkin tidak. Paling sekitar pukul 11 mulai.” Sambil tersenyum.

Keesokan harinya, Minggu tanggal 26 Januari 2023, saya berangkat dari rumah pukul 9.30-an. Sampai di tempat acara, Kafe Alas Bhumeh, beberapa menit sebelum pukul 10. Masih sepi. Seingatku ada tiga orang: Rendra (Rendra Sakbana Kusuma, pembicara, dosen PGSD STKIP PGRI Bangkalan), Helmi (tuan rumah KML), dan Roz (juga tuan rumah). Setelah lajhu[*], saya tahu dari mereka bahwa Rendra datang pukul 9.30. Dengan senyum Roz berkata, “belum terbiasa dengan kebiasaan ML.”

Acara dimulai pukul kira-kira pukul 11. Dimulai dengan pemaparan dari pemancing, sebutan untuk pembicara mancing sastra. Setelah beberapa menit pemaparan, dilajutkan dengan model tanya jawab antara pembicara dengan moderator. Sesi ini lumayan membosankan karena terkesan monoton dan lama. Sesi selanjutnya, seperti biasa, tanya-jawab pemateri dan audien.

Audien yang hadir dalam acara ini sebagian besar adalah mahasiswa STKIP PGRI Bangkalan dari beberapa program studi. Terbanyak dari program studi PBSI (Bahasa Indonesia) dan PGSD. Hadir juga pada acara tersebut beberapa seniman dan pemerhati seni Bangkalan. Pak Chairul, Pak Syahrul Hanafi, Abdul Halim, Anwar Sadat, Muzammil, Buyung Pambudi, dan Jaya adalah sebagian seniman yang saya ingat hadir pada acara ini.

Sesi tanya jawab berlangsung lancar dan tenang. Pada mulanya. Sampai Joko Sucipto bicara dan mengajukan pendapat. Entah bagaimana redaksinya. Intinya, Joko tidak menemukan ke-Madura-an dalam “Tatak bân totok.[†]” Peribahasa yang disampaikan dalam diskusi ini. Dengan argumen yang cukup panjang dia meminta pendapat saya tentang aspek ke-Madura-an dalam peribahasa ini.

Pilihan untuk diam dan menjadi pendengar setia, saya batalkan ketika Roz memberikan mik kepada saya setelah Joko bicara. Saya memulai dengan pernyataan bahwa tidak ada yang asli Madura. Menurut saya Madura merupakan subkultur Jawa yang karena kekhususannya yang mencolok kemudian dianggap mandiri lepas dari kultur Jawa. Kesenian Madura hampir semua merupakan modifikasi dari kesenian Jawa.

Dalam hal kebahasaan, sebagian besar bahasa Madura merupakan adaptasi dari bahasa Jawa selain juga bahasa Melayu. Bahkan sebagian peribahasa Madura merupakan adaptasi dari bahasa Jawa dan Melayu. Peribahasa “Ètèmbhâng potè mata, ango’an apotèa tolang.[‡]”, misalnya, ternyata memiliki padanan dalam peribahasa melayu, yaitu “Biar berputih tulang, jangan berputih mata”. Variasi dari peribahasa ini adalah “Lebih baik berputih tulang daripada berputih mata.” Maksud dari tiga peribahasa tersebut ternyata sama, yaitu lebih baik mati daripada menanggung malu.

Demikian juga dengan “Tatak bân totok.” Peribahasa ini ternyata modifikasi dari peribahasa Jawa “Tatag, teteg, lan tutug.” Bedanya tidak ada kata teteg ‘teguh’ dalam peribahasa Madura. Tatag ternyata berarti bertindak tanpa kekhawatiran karena yakin. Orang Madura mereduksi menjadi berani. Cenderung seperti ungkapan Joko dengan kata bonek atau bandha nèkad. Seperti juga peribahasa sebelumnya yang di Madura dimanifestasi dengan keberanian untuk bertarung berbunuh-bunuhan untuk membela martabat yang disebut carok. Wallahu a’lam bissawab.



[*] lajhu (Madura, ‘masuk dan duduk [untuk bertamu dsb]’)

[†] Tatak bân totok (Madura, ‘berani bertindak dan selesai’)

[‡] Ètèmbhâng potè mata, ango’an apotèa tolang. (Madura, ‘Daripada putih mata, lebih baik berputih tulang.’)

video acara dari saluran resmi Komunitas Masyarakat Lumpur



4 komentar:

  1. Cora' lo' patè totok pembahasannya.

    BalasHapus
  2. Untuk meningkatkan produktifitas masyarakat Madura barangkali pribahasa ini sangat pragmatik

    BalasHapus