Siang setelah salat zuhur, sekitar pukul 14.00 WIB, saya berangkat dengan santai. Seperti biasa, saya berharap sampai di sana acara baru mulai atau akan mulai. Di poster tertulis acara diadakan pukul 14.00. Saya yakin tidak akan tepat waktu. Seperti biasa.
Depan SD Negeri Burneh I, ke Tunjung, Besel,
Ketengan, dan Junok, di sela-sela reklame politik dalam berbagai ukuran, saya
teringat sebuah tulisan yang menggelitik pemahaman saya. Sebuah tulisan yang
ada di taman seberang pos polisi alun-alun Bangkalan. Ingatan itu menarik saya
untuk mengabadikan dalam foto sebagai tambahan data pameran kebodohan. Alih-alih
lewan ringroad selatan, saya mengambil jalur lurus di pertigaan Junok, melewati
depan SMA Negeri I Bangkalan, pertigaan Trunojoyo, rumah dinas bupati. Sampailah
di lokasi yang saya tuju. Saya matikan sepeda motor, mengambil HP, dan
membidikkan kamera pada satu objek. Sebuah taman dengan tulisan. Cantik. Terang
dalam warna biru, merah, dan kuning. Ada logo BNN sebelah kiri atas dan logo
pemerintah Bangkalan pada kanan atas. Paling atas tertulis dalam huruf kapital
warna biru dalam bahasa inggris war on drugs. Di bawahnya terjemahan
dalam bahasa Madura perang alabhen narkoba. Terjemahan Madura inilah
yang saya maksud dengan pameran kebodohan. Tapi, sudahlah. Kita singkirkan
dulu. Mungkin saya akan ceritakan nanti dalam cerita tersendiri. Sebenarnya
foto ini hanya satu dari beberapa pameran kebodohan yang sengaja saya
kumpulkan.
Sampai di Alas Bhumèh, seperti prediksi, acara
belum dimulai. Acara dimulai menjelang asar. Dimoderatori oleh Pak Helmi,
pemancing atau pembedah Joko Sucipto, sedangkan buku yang dibedah karya Eko
Sabto Utomo. Dua tokoh pertama sudah saya sering ceritakan. Eko pendatang baru
dalam cerita saya. Meski bukan tokoh baru dalam sejarah kesenian di Bangkalan.
Mungkin saya cicil saja agar tidak mengganggu alur.
Eko diberi kesempatan untuk menceritakan
proses kreatifnya. Dia menyatakan bahwa menulis bukan sesuatu yang mudah dan
remeh. Ada data yang perlu digali dan itu memerlukan satu kegiatan yaitu
membaca. Seperti biasanya Eko dengan idealismenya. Sebuah pernyataan yang bisa
dibenarkan dalam satu sisi namun menakutkan bagi penulis pemula.
Eko selalu lekat dengan ide ekstrem. Ingatan
saya melayang ke peristiwa Ghun-Tengghun beberapa bulan yang lalu. Selesai
acara saya melihat Eko bergegas pulang. Saya coba menahannya dan mengajak
ngobrol. Saya pun bertanya, mengapa tak pernah ngumpul dalam acara seni. Dengan
bergurau dia menyatakan bahwa dia tidak bisa menulis jika ngumpul-ngumpul.
Belakangan saya tahu bahwa Eko menyajikan cerita unik dalam proses kreatif. Ia
selalu menulis karyanya melalui HP. Menulis di antara pekerjaannya sebagai
penjual nasi goreng. Saya tahu dari cerita Sadat dan Roz Ekki. Dan buku puisi
berjudul Burdah yang dibedah ini merupakan buku nominasi sayembara yang
diadakan oleh Diva Press. Tapi, jangan salah. Eko sarjana dengan program studi Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia. Pernah menjadi ketua Komunitas Masyarakat Lumpur.
Joko selanjutnya membedah naskah puisi. Sebab
puisi ini belum terbit. Masih dalam proses penerbitan. Seperti juga Eko,
pemenang Ubud Writer ini juga memiliki karakteristik yang unik. Terbuka. Ia
mengkritik karya Eko sebagai sulit dibaca. Mungkin lengkapnya bisa ditonton
pada video youtube resmi Komunitas Masyarakat Lumpur.
Dalam rangkaian acara, menarik pertanyaan Salman
Alfarisi “Apakah sastrawan itu profesi?”
Dalam kata penutup saya mengambil kesempatan
yang diberikan moderator. Salah satunya saya berbicara tentang ini. Profesi.
Mungkin ada dua kata yang dalam adaptasinya menghasilkan kata ini. Profession
dan prophecy. Apakah sastrawan sekedar profesi (profession) yang salah
satu wataknya mendapat bayaran yang layak? Ataukah sastrawan memiliki fungsi
profetik (prophecy) atau kenabian yang menjadi fungsi tertinggi sastra
yaitu katarsis atau penyucian? Tentu tidak bisa dijawab dengan pasti. Dua sisi
ini pasti saling tarik menarik.
Dari rangkaian acara, seperti selalu saya
katakan, acara paling menarik adalah setelah penutupan. Ngobrol santai
meletakkan rutinitas dan berbicara konsep-konsep yang hanya sempat diobrolkan
dalam pertemuan seperti ini. Sebuah kesempatan yang jarang. Sayang, saya
dibayangi oleh acara setelah magrib dan salat asar yang waktunya telah
mendekati tubir. Saya terpaksa pamit. Mungkin.. atau semoga masih ada
kesempatan lain untuk menyambung yang terpaksa putus.
Akhirnya, ini hanya sekedar darma. Ḍhârmah
dalam dialek Bangkalan. Kewajiban sebagai pegiat sastra.
Untuk menonton acara lengkapnya, silahkan tonton video dari kanal YouTube resmi Komunitas Masyarakat Lumpur.