27 Oktober 2024

,

PAGAR ASRI:[1] DAYA HIDUP SASTRA BANGKALAN

 Muhri

STKIP PGRI Bangkalan

 

Pagar Batin: Jati Diri Sastra Bangkalan

Sastra Indonesia modern Bangkalan telah ada sejak 1960-an. Pelopornya R. Syarifuddin Dea yang dikenal oleh sastrawan Bangkalan dengan nama panggilan Babe. Penulis lain adalah Pak Narto dengan nama pena Rasnavastara.[2] Generasi pertama ini agak sulit ditelusuri mengingat pada generasi ini minim arsip dan publikasi.

Sastra Bangkalan sebagian besar tidak ditulis oleh kaum santri. Hal ini berbeda dengan sastra Indonesia di Sumenep. Seniman Bangkalan awal sebagian besar dari kaum ningrat yang memiliki akses pada pendidikan formal. Generasi berikutnya dari sekolah-sekolah negeri yang memiliki komunitas seni. Komunitas sekolah ini menghasilkan tokoh-tokoh generasi kedua seperti Ribut Rahmat Jaya, Sunar Dwigjo Wahono, Sonny T. Atmosentono, R. Timur Budi Raja, M. Helmy Prasetya, dsb. Kiprah generasi kedua ini pada masa sebelum 2000, kira-kira 1990-an.

Meski-sudah aktif sebelum tahun 2000-an, hampir semua penerbitan karya dilakukan setelah tahun 2000. Karya yang terbit sebelum itu adalah Anak Beranak (R. Syarifuddin Dea dan R. Timur Budi Raja, 1998) dan Nyanyian Tanah Kering (Antologi Bersama, 1999)[3]. Pelacakan karya bisa dilakukan dengan melihat angka tahun misalnya pada puisi yang dicantumkan dalam buku.

Generasi ketiga lahir di perguruan tinggi, terutama di STKIP PGRI Bangkalan. Generasi ketiga melahirkan penulis-penulis seperti Rozekki, Anwar Sadat, Muzammil Frasdia, Muhlis Alfirmany, Eko Sabto Utomo, Andi Moe, dsb. Jika generasi sebelumnya, sebagian besar berasal dari sekitar kota bangkalan, generasi ketiga ini berasal dari berbagai penjuru kabupaten Bangkalan.

Pada generasi ketiga ini, ada sastrawan Bangkalan yang secara sejarah agak berbeda latar belakang. Salah satunya Ahmad Faishal (Acong). Acong memang berasal dari kabupaten Bangkalan. Ia menempuh pendidikan sampai setingkat SMA di Bangkalan. Akan tetapi, dalam bersastra, ia berproses di Surabaya. Ia pernah menjadi ketua Teater Gapus dari kampus Unair Surabaya.

Di sisi lain ada Buyung Pambudi. Bermula dari jurnalis JTV yang ditugaskan di Madura, BP berasal dari Pati Jawa Tengah. Bukan orang Madura, tetapi mulai menulis sastra di Madura. Sebenarnya, kiprah BP sudah sejak tahun 2000-an. Namun dosen di STKIP PGRI Bangkalan ini menulis buku pertamanya pada 2016. Tulisan sastra pertama dosen yang berbahasa Madura ini berupa memoar, based on true story, berjudul Cinta di Kaki Bukit Baiyun[4]. Buku ini bercerita tentang perjalanan penulis mengantar istrinya berobat ke negara China.

Generasi keempat diisi oleh penulis-penulis mahasiswa. Sebagian besar menulis hanya sebagai ekspresi eksistensi diri. Bukan sebagai hobi apalagi sebagai jalan hidup. Karena kemudahan publikasi, generasi ini paling banyak menghasilkan buku sastra. Hal ini ditunjukkan dengan terbitnya 45 buku puisi pada 2016 dan 37 buku puisi pada 2017. Buku-buku tersebut diterbitkan dalam euforia Festival Puisi Bangkalan pertama dan kedua.

 

Pagar Diri: Kekuatan Sastra Bangkalan

Menilik penjelasan sebelumnya, masa depan kesusastraan Bangkalan masih bisa diharapkan. Sejak sastra Bangkalan ada dan berkembang, tidak kurang dari 40-an penulis telah menyumbangkan ide dalam bentuk tulisan. Sejak 1998 sampai hari ini selalu ada karya yang terbit pada tiap tahun sampai 2022. Pada 2023 memang tidak tercatat ada karya yang terbit. Namun kosongnya catatan tersebut tidak menunjukkan bahwa tidak ada karya yang terbit pada tahun tersebut. Data yang saya sajikan pada chart ini hanya data dari komunitas Bangkalan, terutama KML, Komunitas Bawah Arus, dan Kopi Lembah. Data ini belum memasukkan sumber dari Kalam Literasi Kwanyar (KLK) yang tetap aktif sampai hari ini. Sebagian besar karya KLK dalam bentuk prosa

Berikut disajikan diagram terbitan buku sejak 1960-an sampai dengan 2024. Daftar lengkap sastrawan Bangkalan dan karya-karya mereka bisa dibaca dalam Historiografi Ringkas Kesusastraan Bangkalan.

 

Jumlah terbitan dari 1966-2024

 

Diagram tersebut menunjukkan kesusastraan Bangkalan terus berlangsung. Perkembangan produksi sastra, meski fluktuatif, juga terus berjalan. Kepesertaan dalam event sastra juga terus terjadi dan mengindikasikan kepenulisan sastra di Bangkalan terus berlangsung. Terakhir Rozekki menjadi juara III Penulisan Cerpen Tingkat Internasional Piala HB Jassin 2024. Berikut daftar prestasi individu penulis Bangkalan.


2024    Rozekki “Kampung yang Dikuasai Sapi” Juara III Penulisan Cerpen Tingkat Internasional Piala HB Jassin

2023    Eko Sabto Utomo Burdah nomine sayembara buku puisi tunggal Kanjeng Nabi Muhammad SAW yang diadakan oleh penerbit DIVA Press

2017    Rozekki Fragmen Pasar Burung 13 Naskah Teater Terpilih Rawayan Award 2017 (tanpa pemenang)

2016    Joko Sucipto Klonnong Penulis Emerging Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2016

2016    Suryadi Arfa 10 besar dalam seleksi antologi nasional Klungkung: Tanah Tua, Tanah Cinta[5]

2013    Muzammil Frasdia Pilkada 10 Besar naskah drama terbaik versi Federasi Teater Indonesia di Taman Ismail Marzuki

2004    Rozekki Lomba Menulis Naskah Monolog Budaya Antikorupsi Tempo

 


Daftar tersebut hanya menyajikan sebagian kecil dari keaktivan penulis Bangkalan dalam peristiwa-peristiwa seni. Meski bukan menjadi tolok ukur utama, sistem seleksi ini menunjukkan bahwa sastrawan Bangkalan diakui dalam dunia sastra di Indonesia. Tentunya, kualitas sastra tidak diukur dari menang atau tidaknya sebuah karya dalam sabuah event kompetisi.


 

Pagar Luar: Potensi Jangka Pendek

Dalam perjalanan panjang kesusastraan Bangkalan, kekuatan sastra Bangkalan pada jenis puisi. Sebagian besar masih bercorak liris. Hanya penulis puisi yang sudah matang yang mengeksplorari corak naratif dan dramatik. Unsur tema masih seputar filosofi hidup, ungkapan keindahan yang romantik, dan pseudoetnografi dari buku-buku etnografi Madura yang cenderung generalistik. Tema cinta masih dominan pada dekade 2000-an. Tema cinta mulai berkurang dan sedikit meluas pada hal-hal lain pada dekade setelah 2010. Tema politik juga seperti menjadi tabu yang seolah “haram” dalam puisi.

Ditinjau dari publikasi, terdapat banyak publikasi yang bisa dijangkau untuk saat ini. Penerbitan lokal yang bisa diakses dengan biaya relatif murah adalah STKIP PGRI Bangkalan press dan penerbit Komunitas Masyarakat Lumpur. Dari kedua penerbit, KML hari ini masih dalam pembenahan sehingga belum bisa menerima penerbitan buku.

Terbitan berkala belum tersedia dengan baik. Terbitan cetak yang pernah ada Buletin Komunitas Masyarakat Lumpur. Tidak ada terbitan berkala cetak dari komunitas lain. Buletin ini hanya terbit tiga kali. Dari pertanyaan akrab pada pengurus, masalah terbesar pada pengelola. Untuk KML yang waktu itu memiliki pengurus dalam jumlah besar, motor penggerak buletin hanya Joko Sucipto. Selain itu, kontributor dan skema rubrik juga sulit dikembangkan. Dari dua terbitan, rubrik buletin cenderung berubah.

Media daring yang tersedia juga tidak banyak. Terutama media yang cenderung terstruktur dengan baik. Media YouTube, misalnya, yang tersedia hanya dari Komunitas Masyarakat Lumpur. Yang lain menggunakan nama pribadi seperti Sanggar Lukis Lebur memakai nama pendirinya yaitu Anwar Sadat. Demikian Komunitas Bawah Arus tidak punya kanal YouTube. Yang ada hanya kanal bernama Timur Budi Raja.

Media daring yang berbentuk web juga tidak banyak. Salah satunya ruangbudaya.com yang saya dirikan. KML pernah membuat media web dan tidak dilanjutkan lumpurkomunitasmasyarakat.blogspot.com. Setahu saya, situs ini dibuat oleh Suryadi Arfa pada 2016. Tidak ada unggahan pada web blog ini. Hanya ada sebuah laman berisi profil.

Pada media sosial facebook, hampir semua komunitas memiliki akun. Akun Kalam Literasi Kwanyar bernama Klk Kalam Literasi Kwanyar. Akun Komunitas Kopi Lembah bernama Paguyuban Seni Kopi Lembach. Akun ini juga memiliki satu laman facebook bernama Kopi Lembah yang post terakhirnya tahun 2021. Yang terkuat di antara semua adalah Komunitas Masyarakat Lumpur. Nama akun Masyarakat Lumpur, tanpa komunitas.

Meskipun keterbacaan media sosial penting, keamanan data dan keberlangsungan tetap dimiliki oleh situs web. Ada banyak alasan. Pertama struktur unggahan yang lebih mudah ditelusuri dengan widget kategori dan menu. Kemampuan menyimpan file digital atau pengutipan dari url tertentu. Ketersediaan di mesin pencari web juga menjadi keunggulan situs web dibandingkan dengan sosial media. Yang terpenting dari semua adalah kelayakan dalam sitasi keilmuan. Apalagi jika komunitas tersebut menyediakan terbitan berkala dalam bentuk majalah, tabloid, buletin, atau terbitan berupa buku. Tidak harus ber-ISBN.

 

Pagar Kampung: Potensi Jangka Panjang.

Selain kurangnya publikasi konvensional, perlu juga disampaikan bahwa masa depan sastra tidak bisa mengabaikan aspek digital. Aspek ini dalam banyak komunitas dianggap tidak penting dan kurang relevan. Sebagai seni digital memang dianggap tidak “tulen”, tradisi populer, tidak mendukung peradaban yang baik, dsb. namun, Pada sisi konservasi, digitalisasi menjadi aspek kunci dari pengarsipan.

Selain itu, sastra juga harus mengikuti perkembangan pembacanya agar tidak terasing dari dunia nyata. Aplikasi digital seperti Wattpad misalnya tetap bisa menjadi media untuk menulis sastra serius. Meski mengindikasikan popularisme, media seperti wattpad tetap tidak menolak sastra serius. Salah satu yang sukses dengan media daring adalah Agnes Davonar yang memulai debutnya di friendster lalu blog pribadi. Karya monumentalnya Surat Kecil Untuk Tuhan.[6]

Selain itu, pengabadian selama ini hanya dilakukan dengan media ilmiah dalam bentuk karya ilmiah mahasiswa berupa skripsi, tesis, dan disertasi, penelitian ilmiah dalam jurnal penelitian, dan bentuk lain yang memiliki jarak signifikan dengan pembaca umum. Salah satu tulisan penting yang mendekatkan adalah terbitan-terbitan digital yang bisa diakses dengan mudah. Fiksi fan Indonesia misalnya bisa menjadi alternatif pengabadian karya. Jika musik dinyanyikan kembali, sastra ditulis kembali oleh penggemarnya. Dengan tidak mengabaikan hak cipta, fiksi fan atau fiksi penggemar bisa menjadi salah satu pilihan untuk belajar menulis.

Akhirnya, sebuah daya hidup akan menua ketika tidak mengikuti perkembangan sumber kehidupan. Digitalisasi, publikasi multimedia, trasformasi karya dapat menjadi penopang yang menguatkan dan mensolidkan semua bangunan inti dari sastra dan kesenian. Tanpa itu, sebagus apa pun sebuah karya akan aus dimakan zaman. Yang terpenting regenerasi yang baik dan maju dan di sisi lain produksi, reproduksi, dan konservasi.

 

Daftar Pustaka

Muhri, and Eli Masnawati. Historiografi Ringkas Kesusastraan Bangkalan. Bangkalan: Komunitas Masyarakat Lumpur, 2018.

Muhri, Muhri. “Perkembangan Tema Puisi-Puisi Penyair Bangkalan: Kajian Sejarah Sastra.” Atavisme 20, no. 2 (December 30, 2017): 168. https://doi.org/10.24257/atavisme.v20i2.305.168-180.

Pambudi, Buyung. Cinta Di Kaki Bukit Baiyun. Bangkalan: YPLP-PT PGRI Bangkalan, 2016.

“Peluncuran Buku Puisi, Klungkung: Tanah Tua, Tanah Cinta.” Berita Bali, October 28, 2016. https://www.beritabali.com/berita/201610280004/peluncuran-buku-puisi-klungkung-tanah-tua-tanah-cinta.

“Profil Agnes Davonar Yang Melejit Lewat Buku Surat Kecil Untuk Tuhan | Kumparan.Com.” Kumparan, 2020. https://kumparan.com/berita-hari-ini/profil-agnes-davonar-yang-melejit-lewat-buku-surat-kecil-untuk-tuhan-1udyyxD3rgR.

 



[1] Terjemahan paghâr perna tajuk acara Komunitas Masyarakat Lumpur. Makalah ini disampaikan pada 12 Oktober 2024

[2] Muhri, “Perkembangan Tema Puisi-Puisi Penyair Bangkalan: Kajian Sejarah Sastra.”

[3] Muhri and Masnawati, Historiografi Ringkas Kesusastraan Bangkalan, 16.

[4] Pambudi, Cinta Di Kaki Bukit Baiyun.

[5] “Peluncuran Buku Puisi, Klungkung: Tanah Tua, Tanah Cinta.”

[6] “Profil Agnes Davonar Yang Melejit Lewat Buku Surat Kecil Untuk Tuhan | Kumparan.Com.”


Video acara di Komunitas Masyarakat Lumpur 

dari kanal resmi Komunitas Masyarakat Lumpur




0 comments:

Posting Komentar