Peristiwa ini sekitar tahun 2004
akhir. Saya lupa tepatnya bulan apa. Rupanya, Januari 2025 hari H-nya. Saya tahu
setelah melihat catatan buku harian. Waktu itu, saya menjadi ketua panitia PKD (pelatihan
kader dasar) untuk PKD yang belum pernah saya ikuti. Jangan tanya yang lain. Setahu
saya, ini PKD pertama di Bangkalan sejak saya kuliah sejak tahun 2000. Ketua PC-nya
waktu itu Abdurrahman Mamas. Sekertaris panitia (alm.) Mas’odi. Koseptor Kak Pa’ong.
Seperti biasa.
Dalam jajaran panitia ada Suhartini
dan Satiyah. Sepertinya mereka kader sambil lalu. Dua lagi yang aktif dan masih
saya ingat Evi dan Hosiah. Tapi buka mereka yang saya ingin ceritakan. Saya
akan bercerita tentang Suhartini dan Satiyah dan tugas mata kuliah mereka. PKD
sudah banyak yang tahu isinya. Pelatihan kader setelah Mapaba pada organisasi
PMII.
To the point saja. Mereka diberi
tugas untuk membuat peta bahasa dengan menggunakan daftar kata dari Morris
Swadesh. Dua orang ini, yang saya tahu, termasuk rajin masuk kuliah. Dosen pengampu
mata kuliah Pak Diding dari Unesa. Tugas leksikostatistik untuk mata kuliah
linguistik bandingan atau comparative linguistic. Dengan lembaran data
dan peta Madura foto kopian mereka menunduk serius. Melihat itu seolah-olah
semua masalah bisa sudah dengan mudah.
Dengan bercanda saya bertanya, “Perlu
saya bantu?”
“Tak perlu. Saya bisa mengerjakan
sendiri.” Kata satiyah. Suhartini hanya tersenyum seperti biasa.
Saya diam, menghadap bangku lain lalu
ngobrol dengan penjaga kantor PCNU. Banyak hal. Sudah lupa apa saja yang kami
bicarakan. Tentu tidak bisa nyaring atau teriak-teriak. Kantor ini berada di
tanah privat. Di depan kediaman seorang kiai berpengaruh, putera kiai
berpengaruh. Sesekali, saya menengok dua perempuan tersebut. Mereka tetap asyik
dengan pekerjaan mereka. Bermenit-menit berlalu. Padahal saya pikir tugas ini
mudah. Saya pernah mengerjakan tugas yang sama. Saya pun kembali menawarkan
bantuan dan menjelaskan bahwa cara mereka salah. Tentu saja dengan bahasa yang
saya upayakan sebisa mungkit tidak menyinggung. Namun, tetap saja jawabannya
penolakan. Saya tidak mengapa dengan penolakan tersebut. Saya hanya tersenyum
dan membatin. Baiklah saya tunggu kalian menyerah. Sebab saya tahu
mereka tak mengerti apa yang mereka kerjakan.
Sekitar tiga jam berlalu. Malam sudah
larut melewati tengah malam. Kantuk memberi tanda dengan mulut yang menguap. Mata
lelah yang mengerjap merah berair. Saya pun menawarkan lagi bantuan. Demi salah
satu dari mereka. Satiyah masih dengan senyuman tak percaya menyerah. Mungkin tak
yakin sebab saya biasa bercanda dan usil. Ia angsurkan lembar-lembar itu pada
saya. Ia pun berkata, “Ini. Awas gak bisa?” Ancamnya, akrab. Saya tertawa.
Saya mulai mengerjakan dengan santai
namun yakin. Pasti. Dalam dua puluh menit semua selesai. Mereka melongo. Saya jelaskan
prosedur dan maksudnya. Mereka baru mengerti. Mereka pamit tidur di ruangan
perempuan.
0 comments:
Posting Komentar