19 Mei 2025

,

PKD, LESIKOSTATISTIK, DAN SEKRETARIAT PRIVAT PCNU

Peristiwa ini sekitar tahun 2004 akhir. Saya lupa tepatnya bulan apa. Rupanya, Januari 2025 hari H-nya. Saya tahu setelah melihat catatan buku harian. Waktu itu, saya menjadi ketua panitia PKD (pelatihan kader dasar) untuk PKD yang belum pernah saya ikuti. Jangan tanya yang lain. Setahu saya, ini PKD pertama di Bangkalan sejak saya kuliah sejak tahun 2000. Ketua PC-nya waktu itu Abdurrahman Mamas. Sekertaris panitia (alm.) Mas’odi. Koseptor Kak Pa’ong. Seperti biasa.

gambar disalin dari https://halojember.jawapos.com/ 


Dalam jajaran panitia ada Suhartini dan Satiyah. Sepertinya mereka kader sambil lalu. Dua lagi yang aktif dan masih saya ingat Evi dan Hosiah. Tapi buka mereka yang saya ingin ceritakan. Saya akan bercerita tentang Suhartini dan Satiyah dan tugas mata kuliah mereka. PKD sudah banyak yang tahu isinya. Pelatihan kader setelah Mapaba pada organisasi PMII.

To the point saja. Mereka diberi tugas untuk membuat peta bahasa dengan menggunakan daftar kata dari Morris Swadesh. Dua orang ini, yang saya tahu, termasuk rajin masuk kuliah. Dosen pengampu mata kuliah Pak Diding dari Unesa. Tugas leksikostatistik untuk mata kuliah linguistik bandingan atau comparative linguistic. Dengan lembaran data dan peta Madura foto kopian mereka menunduk serius. Melihat itu seolah-olah semua masalah bisa sudah dengan mudah.

Dengan bercanda saya bertanya, “Perlu saya bantu?”

“Tak perlu. Saya bisa mengerjakan sendiri.” Kata satiyah. Suhartini hanya tersenyum seperti biasa.

Saya diam, menghadap bangku lain lalu ngobrol dengan penjaga kantor PCNU. Banyak hal. Sudah lupa apa saja yang kami bicarakan. Tentu tidak bisa nyaring atau teriak-teriak. Kantor ini berada di tanah privat. Di depan kediaman seorang kiai berpengaruh, putera kiai berpengaruh. Sesekali, saya menengok dua perempuan tersebut. Mereka tetap asyik dengan pekerjaan mereka. Bermenit-menit berlalu. Padahal saya pikir tugas ini mudah. Saya pernah mengerjakan tugas yang sama. Saya pun kembali menawarkan bantuan dan menjelaskan bahwa cara mereka salah. Tentu saja dengan bahasa yang saya upayakan sebisa mungkit tidak menyinggung. Namun, tetap saja jawabannya penolakan. Saya tidak mengapa dengan penolakan tersebut. Saya hanya tersenyum dan membatin. Baiklah saya tunggu kalian menyerah. Sebab saya tahu mereka tak mengerti apa yang mereka kerjakan.

Sekitar tiga jam berlalu. Malam sudah larut melewati tengah malam. Kantuk memberi tanda dengan mulut yang menguap. Mata lelah yang mengerjap merah berair. Saya pun menawarkan lagi bantuan. Demi salah satu dari mereka. Satiyah masih dengan senyuman tak percaya menyerah. Mungkin tak yakin sebab saya biasa bercanda dan usil. Ia angsurkan lembar-lembar itu pada saya. Ia pun berkata, “Ini. Awas gak bisa?” Ancamnya, akrab. Saya tertawa.

Saya mulai mengerjakan dengan santai namun yakin. Pasti. Dalam dua puluh menit semua selesai. Mereka melongo. Saya jelaskan prosedur dan maksudnya. Mereka baru mengerti. Mereka pamit tidur di ruangan perempuan.

0 comments:

Posting Komentar