26 Mei 2025

, ,

MOMENTUM DAN KEABADIAN: CATATAN UNTUK PENYAIR SUDRA

Muhri[1]

 

Terbitnya buku Catatan Penyair Sudra yang memuat karya-karya Syarifuddin Dea saya sambut dengan gembira. Tak ada hubungan Istimewa. Bahkan, saya tidak memiliki relasi apa-apa. Kelahiran kembali karya sastrawan yang telah tiada perlu dirayakan. Istilahnya mencari momentum.

Tulisan ini sengaja saya tulis terlambat untuk memperpanjang momentum tersebut. Momentum? Apakah mungkin ada kesempatan momentum berikutnya? Bisakah karya sastra lama menelisik di antara karya-karya sastra baru?



Syarifuddin Dea merupakan penyair dari Bangkalan. Kiprahnya mulai 1960-an. Perannya tidak tercatat kecuali dalam lembaran-lembaran yang hanya dimiliki kalangan terbatas terutama keluarga. Bahkan, Shoim Anwar yang ditulisi surat oleh beliau tidak menulis nama beliau dalam buku Sejarah Sastra Indonesia yang disusunnya tahun 2012. Apakah itu berarti memang karya-karya ini tidak cukup berharga? Apakah kiprahnya dianggap kurang signifikan terhadap kesusastraan Indonesia?

Saya pribadi mengenal nama beliau saat kuliah S1 di STKIP PGRI Bangkalan. Beliau dihormati oleh semua seniman yang lebih muda. Dalam beberapa event saya mendengar suara beliau membacakan karyanya. Namun tetap saja saya tidak cukup jelas melihat wajah beliau dari sisi penonton. Ditambah, acara semacam ini selalu menyajikan panggung dengan pencahayaan temaram dan dilakukan waktu malam.

Saya lebih mengenal karya beliau saat melakukan penelitian sejarah sastra Bangkalan. Sebuah proyek penelitian bagi dosen pemula. Dalam pembacaan itu dapat dinyatakan bahwa karya-karya itu adalah karya-karya yang baik dan mapan. Karya-karya yang benar-benar matang. Layak disejajarkan dengan sastrawan-sastrawan dari generasi 70/80-an yang dikenal secara nasional. Sayangnya, karya-karya itu tetap tersimpan dalam koleksi pribadi. Semakin lama tidak dipublikasi, akan semakin lemah relasi dan relevansi karya dengan generasi terkini.

Karya yang berharga bisa jadi lahir di saat tidak tepat. Mereka lahir di luar trend pada masanya sehingga tidak “meledak” dalam bacaan Masyarakat. Serupa dengan Chairil yang meledakkan karyanya setelah meninggal. Dan, sosok dibalik ledakan itu adalah H.B. Jassin. Karya Chairil yang dianggap merusak tatanan sastra, bahkan oleh kalangan guru, meledak di tangan Jassin yang memiliki otoritas sebagai dosen sastra di UI. Jassin memiliki pengaruh pada ilmuwan-ilmuwan sastra yang pernah menjadi “muridnya”. Ada satu masa dalam hidup saya ketika saya mengenal penyair hanya Chairil dan puisi “Aku” menjadi puisi yang paling saya ingat. Tentu sebelum saya membaca karya-karya lain.

Tidak hanya massa, momentum memerlukan komponen kecepatan dan waktu. Dengan kecepatan dan waktu yang tepat ledakan kekuatan itu bisa maksimal. Getarannya akan jauh dan menggema beberapa saat. Kemudian tenang. Namun, dalam ketenangan itu masih tersisa rasa, emosi, kesan terhadap ledakan. Yah, memori tentang ledakan. Apakah karya syarifuddin sedang menunggu momentum atau momentum itu tak akan pernah ada?

Jika pun momentum itu tidak pernah ada, tetap saja ada piranti yang bisa mengabadikan karya. Kita sebut saja “museumisasi”. Tidak perlu bahas konsepsi. Cukup pahami dari sisi pameran atau display sisa masa lalu. Mungkin karya itu tetap dalam kesepian kotak kaca. Atau ada momentum lain yang menariknya kembali ke arena, seperti buku Aku karya Sjuman Djaya. Buku skenario film ini sepertinya tidak akan pernah dilayarkan. Namun ia tertarik paksa oleh skenario film Ada Apa dengan Cinta? yang juga menarik paksa Chairil ke arena. Penonton remaja yang pada saat itu mungkin tidak mengenal Chairil Anwar, apa lagi Sjuman Jaya, paling tidak memendam tanda tanya buku yang dipegang oleh Rangga. Buku tersebut menjadi bagian dari benang merah yang menautkan peristiwa percintaan Cinta dan Rangga.

Mungkin Syarifuddin Dea tidak setingkat dengan Chairil yang menjadi voorloper dalam pembaharuan konvensi sastra. beliau juga tidak merevitalisasi mantra menjadi puisi kontemporer seperti Sutardji Calzoum Bachri. Ia tidak setenar itu. Tapi, kegilaannya pada sastra dan teater menginspirasi generasi setelahnya. Perannya dalam Dewan Kesenian Bangkalan menghadirkan momen-momen seni. Bahkan, penentangan terhadap pandangannya melahirkan DKBP pada paruh pertama 2000-an. Dewan Kesenian Bangkalan Partikelir yang bersinonim dengan swasta. Lawan dari DKB yang di-SK bupati namun tetap minim bantuan pembiayaan. Tak perlu dipertanyakan siapa yang benar, yang lebih baik, apalagi konsepsi yang lebih pas. Konflik tersebut jelas menghadirkan dua sisi event. Saling menyerang, menghujat, bahkan menghina dengan karya tetap melahirkan karya. Ketegangan konfrontatif yang melahirkan antitesis, menolak sama, dan mengeksposnya secara terbuka. Bukankah ini lebih baik dari pada ketenangan yang hampa?



[1]Pembaca dan penikmat sastra.

0 comments:

Posting Komentar