Muhri[1]
Terbitnya buku Catatan Penyair
Sudra yang memuat karya-karya Syarifuddin Dea saya sambut dengan gembira.
Tak ada hubungan Istimewa. Bahkan, saya tidak memiliki relasi apa-apa.
Kelahiran kembali karya sastrawan yang telah tiada perlu dirayakan. Istilahnya
mencari momentum.
Tulisan ini sengaja saya tulis
terlambat untuk memperpanjang momentum tersebut. Momentum? Apakah mungkin ada
kesempatan momentum berikutnya? Bisakah karya sastra lama menelisik di antara
karya-karya sastra baru?
Syarifuddin Dea merupakan penyair
dari Bangkalan. Kiprahnya mulai 1960-an. Perannya tidak tercatat kecuali dalam
lembaran-lembaran yang hanya dimiliki kalangan terbatas terutama keluarga.
Bahkan, Shoim Anwar yang ditulisi surat oleh beliau tidak menulis nama beliau
dalam buku Sejarah Sastra Indonesia yang disusunnya tahun 2012. Apakah
itu berarti memang karya-karya ini tidak cukup berharga? Apakah kiprahnya
dianggap kurang signifikan terhadap kesusastraan Indonesia?
Saya pribadi mengenal nama beliau
saat kuliah S1 di STKIP PGRI Bangkalan. Beliau dihormati oleh semua seniman
yang lebih muda. Dalam beberapa event saya mendengar suara beliau
membacakan karyanya. Namun tetap saja saya tidak cukup jelas melihat wajah
beliau dari sisi penonton. Ditambah, acara semacam ini selalu menyajikan
panggung dengan pencahayaan temaram dan dilakukan waktu malam.
Saya lebih mengenal karya beliau saat
melakukan penelitian sejarah sastra Bangkalan. Sebuah proyek penelitian bagi
dosen pemula. Dalam pembacaan itu dapat dinyatakan bahwa karya-karya itu adalah
karya-karya yang baik dan mapan. Karya-karya yang benar-benar matang. Layak
disejajarkan dengan sastrawan-sastrawan dari generasi 70/80-an yang dikenal
secara nasional. Sayangnya, karya-karya itu tetap tersimpan dalam koleksi
pribadi. Semakin lama tidak dipublikasi, akan semakin lemah relasi dan
relevansi karya dengan generasi terkini.
Karya yang berharga bisa jadi lahir
di saat tidak tepat. Mereka lahir di luar trend pada masanya sehingga
tidak “meledak” dalam bacaan Masyarakat. Serupa dengan Chairil yang meledakkan
karyanya setelah meninggal. Dan, sosok dibalik ledakan itu adalah H.B. Jassin.
Karya Chairil yang dianggap merusak tatanan sastra, bahkan oleh kalangan guru,
meledak di tangan Jassin yang memiliki otoritas sebagai dosen sastra di UI. Jassin
memiliki pengaruh pada ilmuwan-ilmuwan sastra yang pernah menjadi “muridnya”.
Ada satu masa dalam hidup saya ketika saya mengenal penyair hanya Chairil dan
puisi “Aku” menjadi puisi yang paling saya ingat. Tentu sebelum saya membaca
karya-karya lain.
Tidak hanya massa, momentum
memerlukan komponen kecepatan dan waktu. Dengan kecepatan dan waktu yang tepat
ledakan kekuatan itu bisa maksimal. Getarannya akan jauh dan menggema beberapa
saat. Kemudian tenang. Namun, dalam ketenangan itu masih tersisa rasa, emosi,
kesan terhadap ledakan. Yah, memori tentang ledakan. Apakah karya syarifuddin
sedang menunggu momentum atau momentum itu tak akan pernah ada?
Jika pun momentum itu tidak pernah
ada, tetap saja ada piranti yang bisa mengabadikan karya. Kita sebut saja
“museumisasi”. Tidak perlu bahas konsepsi. Cukup pahami dari sisi pameran atau display
sisa masa lalu. Mungkin karya itu tetap dalam kesepian kotak kaca. Atau ada
momentum lain yang menariknya kembali ke arena, seperti buku Aku karya Sjuman
Djaya. Buku skenario film ini sepertinya tidak akan pernah dilayarkan. Namun ia
tertarik paksa oleh skenario film Ada Apa dengan Cinta? yang juga
menarik paksa Chairil ke arena. Penonton remaja yang pada saat itu mungkin
tidak mengenal Chairil Anwar, apa lagi Sjuman Jaya, paling tidak memendam tanda
tanya buku yang dipegang oleh Rangga. Buku tersebut menjadi bagian dari benang
merah yang menautkan peristiwa percintaan Cinta dan Rangga.
Mungkin Syarifuddin Dea tidak
setingkat dengan Chairil yang menjadi voorloper dalam pembaharuan
konvensi sastra. beliau juga tidak merevitalisasi mantra menjadi puisi
kontemporer seperti Sutardji Calzoum Bachri. Ia tidak setenar itu. Tapi,
kegilaannya pada sastra dan teater menginspirasi generasi setelahnya. Perannya
dalam Dewan Kesenian Bangkalan menghadirkan momen-momen seni. Bahkan,
penentangan terhadap pandangannya melahirkan DKBP pada paruh pertama 2000-an.
Dewan Kesenian Bangkalan Partikelir yang bersinonim dengan swasta. Lawan dari
DKB yang di-SK bupati namun tetap minim bantuan pembiayaan. Tak perlu
dipertanyakan siapa yang benar, yang lebih baik, apalagi konsepsi yang lebih
pas. Konflik tersebut jelas menghadirkan dua sisi event. Saling
menyerang, menghujat, bahkan menghina dengan karya tetap melahirkan karya. Ketegangan
konfrontatif yang melahirkan antitesis, menolak sama, dan mengeksposnya secara
terbuka. Bukankah ini lebih baik dari pada ketenangan yang hampa?
0 comments:
Posting Komentar