Muhri
Masa
remaja saya sebagian besar bersetting Masjid Kholilurrahman[1]
Langkap Barat. Mengenang masa itu saya teringat satu bagian yang sebenarnya
memalukan tapi lucu. Yah. Makan gratis di hajatan tetangga.
Cerita
ini dimulai dengan keikutsertaan saya pada kursus bahasa Inggris di English
Quick Course (EQC). EQC adalah pondok pesantren yang khusus mengajarkan bahasa
Inggris. Inilah awal mula kedekatan saya dengan anak masjid. Masjid kemudian
menjadi “basecamp” masa pendidikan saya dari Darul Hikmah (DH) dan EQC.
Di masjid ini sebagian buku bahasa Inggris dan kitab kuning saya, pada waktu
itu, “mendekam”. Saya masih ingat beberapa buku dan kitab. Sullam at-Taufiq,
Bulūgh al-Marām, English 900, A Practical English Grammar,
dan Kamus Inggris-Indonesia adalah beberapa yang saya ingat saya bawa ke
masjid. Saya pulang hanya untuk makan. Demikian, teman saya yang lain. Tapi,
dalam tulisan ini saya tidak akan bercerita tentang ini. Cerita tentang ini
saya ceritakan pada bagian tersendiri.
Sebuah
peristiwa memalukan namun lucu. Seperti pada judul. Itulah yang ingin saya ceritakan
kali ini.
Remaja
Masjid Kholilurrahman mengelola dua buah toa. Saya lupa toa ini dibeli dari
siapa. Toa ini dipakai untuk yasinan mingguan, juga hajatan warga. Mereka cukup
bayar kas yang sangat murah dan rokok untuk operatornya. Operator toa biasanya Jauhari. Dengan alasan membantu
membereskan toa, sebagian kami datang
bertandang. Pertanyaan, “Ke mana?”
“Nganḍâng”. Itulah jawabannya.
Tentu sambil tersenyum dan saling mengerti.
Untuk yasinan biasanya toa dipasang
setelah asar. Beruntung jika tuan rumah menyediakan bambu. Jika tidak, toa
dipasang di dahan pohon. Tentu ada yang naik terlebih dahulu. Lalu toa ditarik
ke atas dengan tali. Setelah diikat, kabel toa dihubungkan dengan amplifier.
Anda tahu sisanya. Toa diturunkan segera setelah acara. Malam itu juga. Saat inilah
acara nganḍâng terjadi. Sebab, dibutuhkan tenaga untuk menurunkan toa
dan membawa pulang kembali semua perangkat soundsystem ini. Hitungan jumlah
tenaga yang dibutuhkan jelas. Namun yang datang sering lebih dari yang
dibutuhkan.
Ingatan
saya dipantik oleh sebuah lema dari kamus bahasa yang sedang saya pelajari. Nganḍâng.
Kata yang secara sederhana berarti mendatangi
orang-(orang) yang sedang makan dengan harapan mendapat bagian.
Yang
perlu diperhatikan di sini, respon tuan rumah. Mereka senang sekali. Sebab, anak-anak
masjid ini rajin membantu, teman anak-anak mereka, anak-anak baik yang merawat
masjid, akrab dengan masyarakat sekitar. Selain itu, setiap ada hajatan porsi
selalu lebih untuk diantar ke tetangga. Jadi memang bagian kami dari jatah
lebih ini. Sayangnya, saya bukan sebagian dari pelaku nganḍâng ini. Entah
mengapa perilaku “nakal” dan “lucu” ini tidak pernah muncul di benak saya. Beberapa
teman juga seperti enggan dan tidak pernah melakukan. Mungkin malu.
Untuk
melengkapi cerita, saya ulas kata nganḍâng. Kata ini sebenarnya bentuk
turunan dari kata anḍâng yang berarti ‘pelangi’. Nganḍâng berarti
‘bertindak seperti pelangi’. Dalam mitos yang saya dengar saat saya kecil,pelangi
itu dipersonifikasi seperti makhluk hidup. Katanya, salah satu ujung
lengkungnya pasti mengarah ke air. Minum katanya. Terus apa hubungannya dengan nganḍâng
yang figuratif ini?
Seperti
pelangi, satu bagian tubuh berpijak di satu ujung sedang bagian kepala di ujung
yang lain. Melompati jeda lebar untuk minum. Demikian juga perilaku nganḍâng.
Orang yang tidak ada relasi dengan acara namun makan dan minum dalam acara
tersebut. Sebuah analogi rumit yang muncul dari mitos.
[1] Dulu bernama Masjid Baitur Rahman