Males dan mâles, dua kata dengan bunyi yang
hampir sama. Bedanya bunyi yang ditandai grafem <a> dan grafem <â>. Sekilas dari penampakan tulisan tidak ada yang beda
kecuali tanda diakritik sirkumfleks (ˆ) pada mâles dan tanpa tanda diakritik pada males. Meski beda
tanda diakritik, dua kata ini berbeda arti. Males berarti ‘malas’
sedangkan mâles berarti ‘membalas’. Dengan demikian <a> dan <â>
bukan variasi bunyi atau alofon melainkan bunyi yang membedakan arti atau
fonem.
Sebuah pemikiran yang diawali pencarian saya terhadap Pedoman Umum Ejaan Bahasa Madura yang Disempurnakan.
Saya menemukan file digital pedoman ejaan tersebut. Saya membaca pada penggunaan
huruf. Pada halaman dua tertulis bahwa [a] memiliki dua variasi yaitu <a> dan <â>. “Apa iya?” Begitu respon saya di kepala. Sebagai orang Madura yang lahir
dan menetap di Madura, saya merasa ini tidak benar. Namun, pada waktu itu saya
belum mempunyai bukti sebagai pendukung argumentasi. Males dan mâles
di atas adalah bagian dari alur cerita ini.[1]
Sebuah jawaban yang selama ini saya cari. Muncul dan dipicu oleh entah apa.
Selanjutnya seperti biasa, ide-ide yang “unik” dalam pengembaraan ilmu ini,
saya share ke FB. Mancing respon dari teman-teman FB yang sebagian orang
yang berlatar belakang pendidikan bahasa. Sebuah respon ilmiah dari Pak Adam,
seorang dosen universitas negeri di Surabaya asal Bangkalan. Saya menambahkan paḍang
dan paḍâng. Paḍang berarti ‘ketapel’ sedangkan paḍâng
berarti ‘tahi, kotoran manusia’. Seperti sebelumnya, dua kata ini berbeda hanya
pada bunyi <a> dan <â> tetapi artinya berbeda.
Satu minggu berikutnya, dalam perjalanan ke STAIRUA Sreseh, Sampang, Roz
menanggapi ide yang saya sebutkan terkait fenomena tersebut. Lalu seperti biasa
obrolan di atas sepeda motor ini mengarah ke mana-mana. Sampai suatu saat. “Kalau
ini tak akan salah.”
“Apa?” Saya gagal menemukan konteks dari berbagai arah obrolan.
“Terkait <a> dan <â>. Anḍang bi’ anḍâng.” Oh… Dalam
hati. Ternyata soal itu.
“Anḍang itu apa?” saya sudah punya jawaban untuk ini. Sebagai konfirmasi saja.
“Sama dengan blènggon.[2]”
Dalam pikiran saya, anḍang juga rangka kayu yang dilekatkan pada
boncengan sepeda sebagai tumpuan untuk membawa bawaan besar, mis sekarung padi
dsb., agar tidak goyah saat diikat. Anḍang juga berarti alat yang
digunakan tumpuan untuk tukang menjangkau bagian yang lebih tinggi saat
mengerjakan bangunan. Ternyata kata ini berasal dari bahasa Jawa andhang.[3]
Dalam bahasa Indonesia disebut perancah. Dalam bahasa Inggris disebut scaffolding.
Dalam ketidakyakinan saya mencari pada kamus yang ditulis oleh Kiliaan. Dalam
kamus itu tidak ada anḍang. Yang ada anḍâng yang dalam bahasa indonesia
berarti ‘pelangi’ atau ‘benang raja’. Tetap saja hanya beda <a> dan <â>
tapi artinya berbeda. Apakah sudah selesai?
Tiga kata dengan pasangan minimal ini hanya temuan yang diperoleh sambil
lalu. Tidak benar-benar dicari secara serius. Akan tetapi, temuan ini
menunjukkan bahwa tidak dapat dinafikan bahwa <a> dan <â> merupakan
bunyi fonem yang berbeda, bukan sekedar variasi bunyi seperti yang selama ini
dinyatakan.
0 comments:
Posting Komentar