Muhri
Sound horeg haram. Begitu yang saya dengar di siaran TV yang saya
tonton di YouTube. Saya tidak heran dengan hukum haram itu. Sudah pasti haram. Saya
juga tidak akan mengulas tanggapan dari pelaku usaha sound system dengan
predikat “horeg”.
Pernyataan haram itu muncul dari bahtsul masail se-Jawa dan Madura
yang diadakan di Pasuruan. Kemudian diamplifikasi fatwa MUI Jatim yang sebenarnya
suara dari tenggorokan yang sama. NU juga.
Di Pasuruan dinyatakan oleh KH. Muhibbul Aman Aly, musahhih
pada bahtsul masail tersebut, bahwa sound horeg adalah sound system
yang disetel dengan suara keras dan juga ada joget-jogetan di sekitarnya (Annajah Center Sidogiri, 2025:9:20).
Sekilas tidak ada yang salah. Baru diketahui setelah viral dan menarik banyak
komentar. Dalam siaran Catatan Demokrasi dari TvOne definisi itu ternyata
salah.
Devid Steven Laksamana Perwira Yudha menjelaskan bahwa joget-jogentan
bukan bagian dari sound horeg (TvOneNews, 2025:10:23). Penyedia jasa hanya menyediakan sound
system. Bukan penarinya. Jadi istilah yang mungkin lebih baik adalah pawai
sound horeg. Sepertinya sepele, tapi selisih pemahaman ini luas dipahami
secara salah. Mereka menyaksikan sound itu ada dipengajian, ada di tablig
akbar, panggung shalawat. Lalu duarr. Haram. Mereka bertanya-tanya awalnya.
Awam yang tidak terlalu terikat dengan agama tentu tidak sama
dengan santri ketika menyikapi hal tersebut. Cara awam lebih impulsif dan
emosional. Ulama yang seumur hidup mengkaji agama dan menekuni dalam sikap dan
perbuatan, dicaci-maki di media sosial. Mereka tidak bisa membedakan antara
sound horeg dan pawai sound horeg, sebab fatwa tersebut tidak menyebut kata
pawai. Beda kata dan maksud.
Sound system dengan predikat horeg ini sebernarnya sound system
biasa dengan kapasitas yang lebih besar. Kata horeg sendiri sebernarnya
berasal dari bahasa Jawa yang diberi definisi 1. ubah gèsèr tmr bumi dan
2. ramé banget; gègèr (Tim Balai
Bahasa Yogyakarta, 2011:263) . Jelas bukan? Horeg mengacu pada suara nyaring
dan getaran pada tanah. Memang, secara hukum tidak mengubah apa-apa. Tapi masyarakat
awam bukan mereka yang membaca isi. Mereka hanya baca judul. Lalu menyimpulkan
dan bereaksi. Apalagi kesalahpahaman ini dimanfaatkan media dengan mengolah
kontroversi menjadi atensi. Ujung-ujungnya divaluasi menjadi penghasilan
mereka. Siapa yang babak belur? Pesantren, MUI, dan tentu saja NU. Padahal, NU
tidak mengeluarkan fatwa apa pun.
Referensi
Annajah Center Sidogiri. (2025). Di Balik Fatwa Haram Sound
Horeg | KH. Muhibbul Aman Aly - Youtube.
https://www.youtube.com/watch?v=RdizxSfizgE
Tim Balai Bahasa Yogyakarta. (2011). Kamus Basa Jawa (Bausastra
Jawa) (2nd ed.). Kanisius.
TvOneNews. (2025). [FULL] Dikecam, Sound Horeg Difatwa Haram |
Catatan Demokrasi tvOne - YouTube.
https://www.youtube.com/watch?v=ccGz4dd13Jg
0 comments:
Posting Komentar