Jiwa muda dan kecintaan buta pada agama membuat selalu ada yang
perlu diperjuangkan. Membela yang tertindas. Melindungi yang lemah. Nilai
universar yang perlu diperjuangkan. Kadang-kadang saya berpikir mengapa orang
yang katanya pintar mengabaikan sesuatu yang mungkar di depannya. Apa mereka
apatis? Tidak peduli padahal mereka tahu itu salah? Pikiran buruk mengaduk
otakku. Lalu mengapa mereka bicara berapi-api tentang kebenaran? Kemudian
mereka terlihat seperti orang-orang picik yang pengecut. Mereka hanya tukang
omong dalam pandanganku.
Sikap itu didukung latar belakang saya sebagai aktivis di beberapa
organisasi mahasiswa. Mulanya, Himaba STKIP PGRI Bangkalan, lalu BEM, sebelumnya
PMII. Terakhir paling banyak menyumbang sikap kritis itu.
Sikap kritis itu ditambah embel-embel lulusan UGM Yogyakarta. Saya
lulus dari UGM akhir tahun 2009. Jadi dosen 2010. Januari tepatnya. Itu
menjadikan saya satu-satunya yang berani mengkritik seorang dosen luar yang
melakukan pelecehan verbal terhadap mahasiswi. Langsung kepada kaprodi dengan
sms. Ternyata pelecehan ini juga dilakukan sebelumnya. Ada beberapa kesaksian
termasuk dari salah seorang kerabat yang kuliah ditempat yang sama.
Lalu kebijakan-kebijakan ketua STKIP PGRI Bangkalan. Semua salah di
mata saya waktu itu. Seolah hanya saya yang benar. Itu saya lakukan tanpa tahu
tempat. Keburukan itu saya unggah di Facebook media sosial terbesar pada waktu
itu. Di Facebook saya selalu mengunggah hal-hal yang berkaitan dengan politik.
Semua orang bodoh di mata saya. Saya dengan bacaan yang banyak menghadapi
mereka dengan banyak dalil. Mungkin mereka kalah. Tapi yang lebih mungkin
mereka marah. Sesalah apa pun, tak banyak orang yang menerima salah. Saya
menjadi pribadi yang menjengkelkan. Dikuatkan dengan pernyataan beberapa dosen
yang dulu sentimen. Mereka bicara langsung beberapa waktu lalu.
Saya bahkan pernah diancam untuk diberhentikan. Itu kata sejawat
saya. Ia mengatakan untuk menghadap ketua untuk minta maaf. Gila. Saya tidak
sepengecut itu. Tak seperti dirimu. Dalam hati tentunya. Jika mereka
mau pasti saya sudah dipanggil.
Puncaknya Bapak mendengar dan menasehati. Tak usah membela orang
lain. Jika kau jatuh, orang hanya akan bisa iba. Paling hanya ucapan bela. Lalu
bapak menyitir sebuah ungkapan, “kennengnga kennengngè, lakona lakonè”. Tempati
tempatmu, kerjakan kerjaanmu. Begitu secara harfiah. Agak tidak nyambung dan terlalu
sederhana. Tak bisa diterima oleh pikiran saya yang maju. Atau hanya ego? Yang
jelas saya tetap pada pendirian. Bagi saya mencegah kemungkaran wajib. Dengan
tangan, lisan, dan diam. Diam? Itu lemah.
Seperti FPI yang sweeping warung yang buka siang di bulan
puasa. Itu contoh yang baik yang sesuai dengan pikiran saya. Saya membenarkan
FPI dalam hal ini, tetapi tidak simpati. Ya mereka menyerang idola saya, Gus
Dur.
Lalu takdir mengombang-ambing hidup saya. Satu kesalahan fatal
membuat semua berubah. Saya belajar dari rasa sakit itu. Mulai memikirkan apa
yang telah saya lakukan
Rupanya kennenggan dalam ungkapan itu mewakili posisi. Siapa
saya. Seorang suami. Maka nahi mungkar saya adalah pada tanggung jawab saya.
Istri dan anak. Tetangga? Mencegah dan mengubah kemunkaran tetangga urusan Pak RT.
Warung buka di bulan puasa? Urusan bupati dan wali kota. Ada perdanya atau
tidak? Jika tidak, maka tak ada yang berhak melarang sebab tak ada hukum yang
dilanggar. Bagian ini yang banyak salah kaprah. Sibuk urusi politik nasional
sedangkan di depan mata, politik lokal tingkat bupati saja tak bisa apa-apa. Bahkan
mengatasi masalah keluarga terdekat tidak mampu.
0 comments:
Posting Komentar