04 Agustus 2025

MENCEGAH KEMUNGKARAN ITU TAK WAJIB BAGIMU

Jiwa muda dan kecintaan buta pada agama membuat selalu ada yang perlu diperjuangkan. Membela yang tertindas. Melindungi yang lemah. Nilai universar yang perlu diperjuangkan. Kadang-kadang saya berpikir mengapa orang yang katanya pintar mengabaikan sesuatu yang mungkar di depannya. Apa mereka apatis? Tidak peduli padahal mereka tahu itu salah? Pikiran buruk mengaduk otakku. Lalu mengapa mereka bicara berapi-api tentang kebenaran? Kemudian mereka terlihat seperti orang-orang picik yang pengecut. Mereka hanya tukang omong dalam pandanganku.

Sikap itu didukung latar belakang saya sebagai aktivis di beberapa organisasi mahasiswa. Mulanya, Himaba STKIP PGRI Bangkalan, lalu BEM, sebelumnya PMII. Terakhir paling banyak menyumbang sikap kritis itu.

Sikap kritis itu ditambah embel-embel lulusan UGM Yogyakarta. Saya lulus dari UGM akhir tahun 2009. Jadi dosen 2010. Januari tepatnya. Itu menjadikan saya satu-satunya yang berani mengkritik seorang dosen luar yang melakukan pelecehan verbal terhadap mahasiswi. Langsung kepada kaprodi dengan sms. Ternyata pelecehan ini juga dilakukan sebelumnya. Ada beberapa kesaksian termasuk dari salah seorang kerabat yang kuliah ditempat yang sama.

Lalu kebijakan-kebijakan ketua STKIP PGRI Bangkalan. Semua salah di mata saya waktu itu. Seolah hanya saya yang benar. Itu saya lakukan tanpa tahu tempat. Keburukan itu saya unggah di Facebook media sosial terbesar pada waktu itu. Di Facebook saya selalu mengunggah hal-hal yang berkaitan dengan politik. Semua orang bodoh di mata saya. Saya dengan bacaan yang banyak menghadapi mereka dengan banyak dalil. Mungkin mereka kalah. Tapi yang lebih mungkin mereka marah. Sesalah apa pun, tak banyak orang yang menerima salah. Saya menjadi pribadi yang menjengkelkan. Dikuatkan dengan pernyataan beberapa dosen yang dulu sentimen. Mereka bicara langsung beberapa waktu lalu.

Saya bahkan pernah diancam untuk diberhentikan. Itu kata sejawat saya. Ia mengatakan untuk menghadap ketua untuk minta maaf. Gila. Saya tidak sepengecut itu. Tak seperti dirimu. Dalam hati tentunya. Jika mereka mau pasti saya sudah dipanggil.

Puncaknya Bapak mendengar dan menasehati. Tak usah membela orang lain. Jika kau jatuh, orang hanya akan bisa iba. Paling hanya ucapan bela. Lalu bapak menyitir sebuah ungkapan, “kennengnga kennengngè, lakona lakonè”. Tempati tempatmu, kerjakan kerjaanmu. Begitu secara harfiah. Agak tidak nyambung dan terlalu sederhana. Tak bisa diterima oleh pikiran saya yang maju. Atau hanya ego? Yang jelas saya tetap pada pendirian. Bagi saya mencegah kemungkaran wajib. Dengan tangan, lisan, dan diam. Diam? Itu lemah.

Seperti FPI yang sweeping warung yang buka siang di bulan puasa. Itu contoh yang baik yang sesuai dengan pikiran saya. Saya membenarkan FPI dalam hal ini, tetapi tidak simpati. Ya mereka menyerang idola saya, Gus Dur.



Lalu takdir mengombang-ambing hidup saya. Satu kesalahan fatal membuat semua berubah. Saya belajar dari rasa sakit itu. Mulai memikirkan apa yang telah saya lakukan

Rupanya kennenggan dalam ungkapan itu mewakili posisi. Siapa saya. Seorang suami. Maka nahi mungkar saya adalah pada tanggung jawab saya. Istri dan anak. Tetangga? Mencegah dan mengubah kemunkaran tetangga urusan Pak RT. Warung buka di bulan puasa? Urusan bupati dan wali kota. Ada perdanya atau tidak? Jika tidak, maka tak ada yang berhak melarang sebab tak ada hukum yang dilanggar. Bagian ini yang banyak salah kaprah. Sibuk urusi politik nasional sedangkan di depan mata, politik lokal tingkat bupati saja tak bisa apa-apa. Bahkan mengatasi masalah keluarga terdekat tidak mampu.

0 comments:

Posting Komentar