28 Juli 2025

,

ANCAMAN AI DALAM MANCING SASTRA 55

Saat itu pulang dari Sreseh. Seperti sabtu sebelumnya, mengajar. Di jalan pulang, “Kalau tidak cap, saya hadir.” Saya sampaikan saat duduk di jok belakang.

“Tak usah dipaksakan.” Roz sesuai template.

Sampai di rumah (saya) maloros tengnga. Harfiahnya ‘meluruskan punggung’. Maksudnya mengistirahatkan punggung dengan merebahkan diri setelah duduk atau berdiri dalam waktu lama.

Sepulang Roz, salat dan kembali rebahan. Badan terasa panas. Mungkin sebaikanya tidak hadir. Sambil mendengar konten youtube di latar belakang, saya tertidur. Tak lama. Terbangun saat azan, bukan karena azan. Hmmm. Terasa segar. Mungkin ini yang disebut power nap. Saya pastikan ada perubahan pikiran.

Segera mandi, ritual asar, berangkat santai. Acara di rumah Helmi. Tak banyak yang hadir. Ada Pak Sahrul. Saya, Roz, Helmi dan Halim generasi di bawahnya. Joko konseptor acara tentu hadir. Alumni STKIP PGRI Bangkalan ada Alfa Rozi AF dan Ali Wafa. Selebihnya mahasiswa.







Acara dimulai pada 16.00 tak pas. 12 Juli 2025. Sekedar memastikan. Topik “Otomatisasi Berbasis AI dalam Kekaryaan: Apakah AI Caca Kèpa’?” Dengan tanda tanya dan ungkapan berbahasa Madura caca kèpa’. Sebelum lanjut saya jelaskan ungkapan untuk yang belum mengerti. Caca kèpa’. Ungkapan ini searti dengan ‘omong kosong’. Caca berarti omongan atau ucapan dan kèpa’ artinya gabuk atau hampa. Kèpa’ berlaku untuk padi atau biji dan buah yang tidak ada isinya atau tidak bernas.

Halim menyampaikan gagasan. Sayangnya tanpa teks. Maklum hanya digagas dalam waktu singkat. Salah satu pertanyaan dalam pemaparannya adalah apakah AI itu ancaman.

Acara selanjutnya sesi diskusi. Alhamdulillah, mahasiswa yang hadir aktif berpendapat dan bertanya juga.

Samsul, mahasiswa semester akhri, misalnya menanyakan bagaimana membedakan karya yang dibuat AI atau bukan. Sebelumnya saya menanggapi tentang AI sebagai ancaman. Saya berpendapat semua yang baru itu pasti mengancam yang lama. Alat berburu yang semakin canggih mengancam kepunahan hewan. AI juga mengancam pekerjaan manual oleh manusia. AI sudah ada, ancaman itu nyata. Tapi, bukan untuk dihindari, tetapi untuk diatasi.

Joko seperti biasa. Dengan semangat meluap-luap ia ingin memahami AI. Bahkan membuatnya. Saya suka semangatnya. Namun, yang mungkin terlupa dengan tanpa latar belakang kemampuan pemrograman komputer berapa lama ia harus belajar? Selain itu perlu fokus, tim solid, dan biaya. Abaikan kebutuhan rumah tangga, misalnya. Mungkin dengan proses yang lebih panjang, “proyek” itu berhasil. Akan tetapi, yang mungkin luput adalah saat proses itu berlangsung, bukankah AI terus lahir dan berkembang? Apakah proses lambat ini berhasil di waktu yang tepat atau malah sebaliknya menjadi tidak relevan?


Acara ditutup menjelang magrib. Sebagian pulang. Sebagian besar tinggal dan salat satu-satu. Maklum tempat terbata. Yang lebih lama plot selanjutnya. Bincang santai dalam suasana informal. Saya pulang pukul 20.30.


(Muhri)

0 comments:

Posting Komentar