14 Juli 2025

FGD NGEMIS: SEBUAH REPORTASE

Hari Minggu, 13 Juli 2025. Berangkat dengan Roz ke Resto Dhin Aju Suramadu. Naik sepeda motor. Saya bonceng di belakang. Sambil ngobrol berat sesuai dengan bunyi shockbreaker yang sepertinya kelelahan menahan beban. Tentu dengan gojlokan. Ya sepeda Blade itu tampak tidak kuat menahan beban kami yang di atas 70 dan 80 kg.

Setiba di sana saya sadari belum banyak yang hadir. Salaman dengan Lukman, pemateri dari Jawa Pos Radar Madura. Kami duduk di luar. Cukup lama sebelum saling mengajak untuk masuk. Acara baru mulai pukul 09.50.

Setelah menyanyikan lagu indonesia raya, acara dilanjutkan dengan sambutan dari Disbudpar Bangkalan yang diwakili Hendra Gemma. Sambutan selanjutnya oleh Muhlis sebagai penerima hibah dan pengundang.



Acara FGD dimulai setelah sambutan. Materi pertama Muhlis dengan menyajikan beberapa slide dengan tulisan, gambar, dan rekaman film. Isinya tentang “ritual” ngemis[1] yang ternyata berisi syair. Dalam slide itu juga tertulis mamaca sebagai sastra lisan. Untuk mamaca sudah pasti bukan sastra lisan sebab pasti ada teks. Sedangkan syair secara umum berasal dari tradisi tulis, baik syair arab maupun syair melayu. Muhlis mengargumenkan kata anonim sebagai patokan. Padahal dalam tradisi tulis pun juga terdapat ciri anonim juga. Selain itu, ada sifat dinamis yang menunjukkan bahwa tradisi lisan sebagian besar bukan hafalan. Yang diwariskan hanya pakem, misalnya seperti wayang, mendongeng, dsb. Jadi dalam konteks penelitian tersebut, syair yang dibawakan adalah tradisi lisan yang diwariskan tanpa teks dan bersifat anonim.

Selanjutnya Pak Hidrochin Sabarudin. Syair Reng Emmès sebagai pembahasan. Terjadi kerancuan istilah sebenarnya. Ngemmès pada dasarnya berasal dari kemmès. Dalam bahasa Indonesia pengemis dan mengemis memiliki akar kata yang sama kemis, dari bahasa Arab yang menamai hari kelima dalam bahasa tersebut yaitu khamis. Dengan penelitian ini menjadi makin jelas bahwa ngemmès itu merupakan verba turunan dari kemmès, misalnya meminta-minta di kuburan pada kamis malam jumat atau dalam konteks FGD ritual malam kamis. Dalam bentuk nomina kemmèsân. Sebentuk dengan ahadhân, sennènan, rebbhuwân, jhum’adhân, dsb yang berarti diadakan rutin pada hari tersebut.

Ahmad Faishal (Acong) menyampaikan dari sudut pandang dramaturgi. Saya tidak setuju bahwa ngemmès pada hibah ini merupakan dramaturgi dalam arti khusus. Namun, menjadi masuk dan klik mengingat konteks acaya yang berbentuk FGD. Mendalami fokus kajian dari berbagai sudut pandang. Apalagi ketika Acong menyajikan data pembanding dalam slide-nya. Sayangnya, tidak ditampilkan data teks ritual. Tidak disampaikan bentuk data apakah syair, berbahasa Madura atau bukan?

Lukman menyajikan presentasi yang lebih umum. Tentang banyak hal yang berkaitan dengan budaya Madura secara umum. Termasuk pernyataan bahwa anak sekarang sudah berbeda. Tentu tentang budaya Madura timur yaitu Sumenep.

Sesi selanjutnya adalah diskusi. Respon pertama sebuah pertanyaan. Padahal FGD merupakan diskusi dalam fokus tertentu. FGD merupakan forum dikusi kelompok terpumpun yang merupakan salah satu cara untuk memperoleh data atau memvalidasi data kualitatif. Peserta FGD seharusnya dari latar belakang majemuk yang berkaitan dengan fokus pembicaraan. Jumlah peserta seharusnya tidak terlalu besar.

Saya mendapat giliran kedua. saya menanggapi ngemmès dari sudut pandang etimologi. Ngemmès sebenarnya terkait dengan ritual tertentu, misalnya peminta-minta di makam keramat, dsb. Kemudian istilah ini diberlakukan pada semua peminta-minta. Padahal kata ngemmès sendiri berasal dari bahasa Arab. Artinya, masuk sebagai bagian dari penyebaran Islam. Lalu tidak adakah peminta-minta sebelum itu. Ada. Tapi tradisi ngemmès ini diperkirakan terjadi setelah kemerdekaan. Sebab pada masa kolonial, Belanda sangat sensitif dengan orang berkumpul. Selain itu, dalam kamus Madura-Belanda kata kemmès hanya berarti hari yaitu donderdag ‘Kamis’.[2] Definisinya pun singkat. Tidak ada bentuk turunan dalam lema tersebut. Saya sempat mencari di lema lain. Kata ngemmès sebagai lema juga tidak saya temukan. Ternyata ada di mès atau emmès dengan lema tersendiri.[3]

Lalu untuk peminta-minta yang datang ke rumah-rumah? Bukan hari atau malam kamis? Bhurmaèn. Dalam kamus tertulis bhurumaen atau bhuru’maèn. Dalam bahasa Sunda bermaen.[4]

 



[1] Tulisan yang benar ngemmès

[2] H.N. Kiliaan, Madoereesch-Nederlandsch Woordenboek Eerste Deel, (Leiden: E.J. Brill, 1904), p.269

[3] H.N. Kiliaan, Madoereesch-Nederlandsch Woordenboek Tweede Deel, (Leiden: E.J. Brill, 1905), p.200

[4] S. Coolsma, Soendaneesch-Hollandsch Woordenboek, (Leiden: Sijthoff, 1884), p. 42

Location: Jl. Raya Suramadu, Nyantren, Masaran, Kec. Tragah, Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur 69165, Indonesia

0 comments:

Posting Komentar