21 Juli 2025

SURO DAN BULAN MULIA

Muhri

 

Kedekatan saya dengannya dimulai dari sebuah pelatihan di PSBB MAN Bangkalan, ruangan aula, bengkel, dan asrama di selatan MAN Bangkalan. Salaman seperti biasa. Mengobrol. Saya sangat canggung seperti katak baru keluar dari tempurung.

Belum satu jam setelah acara dimulai ia mengajak saya ikut. Dengan Shogun 2001 hitam, saya berangkat ke Unibang, sebelum menjadi UTM. Sebuah seminar. Pak Suro diundang. Saya hanya menjadi “tukang ojek”. Pembicara saat itu Prof. Dr. Abdul Latief Wiyata, S.U. dan D. Zawawi Imron. Temanya Trunojoyo yang akan dijadikan nama kampus negeri di sebelah selatan Bangkalan tersebut. Pak Suro dengan pemahamannya mengomentari pembicara saat sesi tranya-jawab. Dan, ini yang saya suka. Tak peduli kata orang, dengan percaya diri penuh disampaikan semua yang ada di kepala. Sebuah sikap yang tidak bisa saya lakukan, terhalang rikuh dan perasaan selalut takut salah.



Selanjutnya melompat ketika saya menjadi ketua BEM STKIP PGRI Bangkalan. Dalam memperingati tahun baru Hijriyah. Saya sudah lupa BEM memformat acara seperti apa? Sudah lama sekali. Tapi tidak terlalu ramai. Mahasiswa terpecah dua kegiatan. Yah, Pak Suro mengadakan kegiatan di pantai daerah Maneron. Ia beralasan sudah menjadi kewajiban baginya untuk ritual Suro, nama lain dari bulan Muharram. Orang Madura menyebutnya Sora atau Jhinpeḍḍhis. Saking terobsesi dengan Muharram ia ingin nama panjangnya disingkat Suro. Nama ini juga dilekatkan pada karya-karyanya termasuk karya prosa lirisnya berjudul Sumairah.

Selanjutnya, ketika saya lulus. Ini percakapan dengan beberapa teman. Saya mengkritik sistem kritik sastra yang dilakukan olehnya. Mewajibkan mahasiswa membeli buku puisinya kemudian dijelaskan tafsirnya. Saya tentu menanyakan, ia sebagai penulis atau kritikus? Ini juga yang disalahpahami Muhlis. Seorang kritikus bisa menjadi penulis. Tapi, kritikus tidak mengkritik karyanya sendiri. Itu pendapat saya. Dulu. Kini pun demikian. Saya tidak menyadari kekeliruan itu membantu saya mendapatkan karya puisi yang ditulisnya. Adik sepupu saya diwajibkan membeli. Buku itu menjadi salah satu buku yang menolong saya dalam penelitian sejarah sastra.

Akhirnya, saya menjadi rekan kerja sebagai dosen mulai Januari 2010. Beliau tidak berupah banyak. Tetap egaliter dan “berani”. Kini, ia telah meninggalkan sastra, hanya mengurusi silat. Jadi senior.

 

(draf)


0 comments:

Posting Komentar