Males dan mâles, dua kata dengan bunyi yang
hampir sama. Bedanya bunyi yang ditandai grafem<a> dan grafem<â>. Sekilas dari penampakan tulisan tidak ada yang beda
kecuali tanda diakritik sirkumfleks (ˆ) pada mâles dan tanpa tanda diakritik pada males. Meski beda
tanda diakritik, dua kata ini berbeda arti. Males berarti ‘malas’
sedangkan mâles berarti ‘membalas’. Dengan demikian <a> dan <â>
bukan variasi bunyi atau alofon melainkan bunyi yang membedakan arti atau
fonem.
Sebuah pemikiran yang diawali pencarian saya terhadap Pedoman Umum Ejaan Bahasa Madura yang Disempurnakan.
Saya menemukan file digital pedoman ejaan tersebut. Saya membaca pada penggunaan
huruf. Pada halaman dua tertulis bahwa [a] memiliki dua variasi yaitu <a> dan <â>. “Apa iya?” Begitu respon saya di kepala. Sebagai orang Madura yang lahir
dan menetap di Madura, saya merasa ini tidak benar. Namun, pada waktu itu saya
belum mempunyai bukti sebagai pendukung argumentasi. Males dan mâles
di atas adalah bagian dari alur cerita ini.[1]
Sebuah jawaban yang selama ini saya cari. Muncul dan dipicu oleh entah apa.
Selanjutnya seperti biasa, ide-ide yang “unik” dalam pengembaraan ilmu ini,
saya share ke FB. Mancing respon dari teman-teman FB yang sebagian orang
yang berlatar belakang pendidikan bahasa. Sebuah respon ilmiah dari Pak Adam,
seorang dosen universitas negeri di Surabaya asal Bangkalan. Saya menambahkan paḍang
dan paḍâng. Paḍang berarti ‘ketapel’ sedangkan paḍâng
berarti ‘tahi, kotoran manusia’. Seperti sebelumnya, dua kata ini berbeda hanya
pada bunyi <a> dan <â> tetapi artinya berbeda.
Satu minggu berikutnya, dalam perjalanan ke STAIRUA Sreseh, Sampang, Roz
menanggapi ide yang saya sebutkan terkait fenomena tersebut. Lalu seperti biasa
obrolan di atas sepeda motor ini mengarah ke mana-mana. Sampai suatu saat. “Kalau
ini tak akan salah.”
“Apa?” Saya gagal menemukan konteks dari berbagai arah obrolan.
“Terkait <a> dan <â>. Anḍang bi’ anḍâng.” Oh… Dalam
hati. Ternyata soal itu.
“Anḍang itu apa?” saya sudah punya jawaban untuk ini. Sebagai konfirmasi saja.
Dalam pikiran saya, anḍang juga rangka kayu yang dilekatkan pada
boncengan sepeda sebagai tumpuan untuk membawa bawaan besar, mis sekarung padi
dsb., agar tidak goyah saat diikat. Anḍang juga berarti alat yang
digunakan tumpuan untuk tukang menjangkau bagian yang lebih tinggi saat
mengerjakan bangunan. Ternyata kata ini berasal dari bahasa Jawa andhang.[3]
Dalam bahasa Indonesia disebut perancah. Dalam bahasa Inggris disebut scaffolding.
Dalam ketidakyakinan saya mencari pada kamus yang ditulis oleh Kiliaan. Dalam
kamus itu tidak ada anḍang. Yang ada anḍâng yang dalam bahasa indonesia
berarti ‘pelangi’ atau ‘benang raja’. Tetap saja hanya beda <a> dan <â>
tapi artinya berbeda. Apakah sudah selesai?
Tiga kata dengan pasangan minimal ini hanya temuan yang diperoleh sambil
lalu. Tidak benar-benar dicari secara serius. Akan tetapi, temuan ini
menunjukkan bahwa tidak dapat dinafikan bahwa <a> dan <â> merupakan
bunyi fonem yang berbeda, bukan sekedar variasi bunyi seperti yang selama ini
dinyatakan.
[1]Tim Balai Bahasa Jawa Timur, Pedoman Umum Ejaan Bahasa Madura yang
Disempurnakan, edisi revisi (Surabaya: Balai Bahasa Jawa Timur, 2012) p. 2
Acara ini bertajuk "Ghun-Tèngghun: Konser Musikalisasi Puisi Multigenre 7 Penyair Nasional". Ghun-Tèngghun merupakan kata ulang dari bahasa Madura tèngghu yangberarti 'lihat' atau 'tonton'. Ghun-tèngghun bentuk ulang nomina yang berarti 'tontonan'.
Acara puncak ini dilaksanakan pada Sabtu, 23 September 2023 pukul 19.00 WIB. Puisi yang dimusikalisasi "Senja di Pelabuhan Kecil" karya Chairil Anwar, "Aku..." karya Taufiq Ismail, "Kupanggil Namamu" karya W.S. Rendra, "Aku Ingin" karya Sapardi Djoko Damono, "Jembatan" karya Sutardji Calzoum Bachri, "Pertemuan" karya Goenawan Mohamad, dan "Ibu" karya D. Zawawi Imron.
Acara dibuka dengan sambutan ketua KML yang disampaikan oleh M. Helmy Prasetya. Dilanjutkan pembacaan puisi oleh Helmy. Selanjutnya, pemberian cendera mata kepada pihak-pihak yang bekerja sama dengan KML.
Seperti semua cerita saya, kali ini sisi luar acara. Agus Alan Kusuma. Bersongkok nasional berbaju putih berkerah. Tubuhnya masih gemuk. Bahkan lebih dari sebelumnya. Sebuah kegelisahan tentang musikalisasi puisi yang menurutnya merusak makna. Lirik yang tidak jelas tertutup nyaring musiknya. Saya menjawab diplomatis bahwa semua musikalisasi pasti "merusak" makna. Sebab, puisi harus mengikuti musik. Lalu kita bercerita banyak hal.
Menjelang pulang saya bertemu Muhlis. "Dâ'râmma karebbhâ Mas Helmi riya, Ka' Muhri?" Katanya sambil tersenyum. Maksudnya "Mas Helmi mau apa?" Ia menanyakan konsep acara. Diplomatis pula kujawab, "..... " Off the record. 😁😁😁
Seseorang lewat di depan saya. Eko. Eko Sabtu Utomo. Seorang penulis novel berbakat. Alumni STKIP PGRI Bangkalan. Ia terburu-buru pulang. Mungkin juga tidak ada alasan untuk tinggal. Buktinya ia asyik ngobrol berlama-lama dengan kami. Setengah sepuluh kami pulang.
Minggu malam tanggal 27 Agustus 2023 di Taman Paseban depan Masjid Agung Bangkalan diadakan kegiatan seni Demonstrasi Kèjhung Madhurâ. Acara ini diselenggarakan dengan pendanaan Bantuan Pemerintah Fasilitasi Pemajuan Kebudayaan Tahun 2023. Kegiatan ini diajukan secara pribadi oleh Nisful Qomar, salah seorang pegiat seni alumni Komunitas Masyarakat Lumpur.
Kèjhung yang dimaksud dalam konteks ini adalah kidung dalam sandur. Hal ini perlu dijelaskan mengingat kèjhung tidak hanya ada pada sandur. Kèjhung secara umum adalah semua bait yang dinyanyikan secara tradisional. Ngèjhung dilakukan oleh siapa saja jaman dulu di rumah-rumah dengan lagu yang tentu berbeda dengan sandur.
Secara penamaan, kelompok seni yang ada kèjhung-nya ini disebut sandur jika mengarah pada orkesnya. Juga disebut salabâdhân ditinjau dari sisi acara yaitu bhubu[1] dan napel[2]. Penyerahan uang ini disebut salabât. Kata salabâdhân berasal dari selawat yang di dalamnya ada sedekah yang yang disebut salabât. Kami, di Langkap, menyebutnya nongding. Kata nongding berasal dari tiruan bunyi alat musik pengiring sandur.
Pengiring sandur dibawakan oleh Sanggar Tarara yang dipimpin oleh Pak Sudarsono. Kèjhung dibawakan oleh seorang seniman kèjhung Pak M. Sadun. Hadir secara resmi undangan dari berbagai kelompok seni seperti Sanggar Kopi Lembah, Komunitas Masyarakat Lumpur, dsb. Dari pelukis ada Pak Edi, Pak Syahrul, Pak Khoirul dan tokoh-tokoh lain. Pak Doing, budayawan Bangkalan, juga hadir. Saya, yang hanya menonton, diundang sebagai Dosen STKIP PGRI Bangkalan. Dari STKIP juga ada M. Helmi dan Rozekki. Keduanya petinggi Komunitas Masyarakat Lumpur. Hadir pula Dosen STKW Ahmad Faisal (Acong).
Acara dibuka oleh Jaya. Selanjutnya, pemaparan dari Qomar. Lalu, demonstrasi kèjhung. Dilanjutkan dengan diskusi. Pada acara diskusi inilah keunikan terjadi. Pembicara dipanggil. Nama saya masuk. Sebenarnya saya datang hanya untuk menonton dan sebelumnya tidak diberi tahu. Dalam peribahasa bahasa Madura diungkapkan Èpèghâ' kaoghân ‘ditangkap berkaok’. Ungkapan untuk ayam yang ditangkap paksa sehingga ayam itu berkaok-kaok karena terkejut.
Sebagai bagian dari masyarakat Madura, tentu saya ingin sandur tetap ada. Sandur adalah salah satu identitas masyarakat Madura. Namun saya harus jujur bahwa saya tidak suka sandur. Bukan karena buruk, kurang menarik, dsb. Sebaliknya, sandur adalah seni bernilai tinggi khas masyarakat Madura. Saya tidak suka keramaian. Orkes dangdut, band pop atau rok pun saya tidak bisa menikmati di keramaian.
Sebelum saya tutup cerita, saya ingin menceritakan satu hal. Di desa saya,
ada satu orkes sandur. Orkes sering disebut panjhâk. Pimpinannya tentu
dari golongan blatèr. Beliau punya anak yang semuanya di masukkan
pendidikan pesantren. Salah seorang putra beliau nyantri di Jawa. Pulang
nyantri ia mengajar di madrasah. Tentu tidak ada yang menghalalkan orkes
dangdut yang ada penyanyi perempuannya. Apalagi dengan pakaian yang sedikit
memberi stimulan pada yang berpikiran agak
ke sisi di balik pakaian. Bahkan ada suatu peristiwa ketika ia membatalkan pernikahan
karena calon mertua hendak menanggap orkes dangdut. Sepeninggal sesepuh sandur
tersebut, sandur tinggal hanya dalam memori. Sebab nilai yang dianut
penerusnya sama sekali berbeda.
Di tempat lain ada pesantren. Sebagian keluarga dhâlem-nya juga atangdhâng[3].
Tidak hanya itu, bahkan ada yang jadi pimpinan orkes dangdut. Ini dikutip oleh
Pak Doing untuk membatalkan premis "pesantren mengharamkan sandur". Bahwa
sastri anti-sandur. Menilik kasus ini, pernyataan beliau mungkin ada benarnya.
Namun, yang mungkin terlupakan bahwa keluarga pesantren yang suka sandur hanya sangat
sedikit orang tertentu dari golongan trah kiyai. Golongan ini adalah bhindhârâ[4]
yang bergaul dengan kaum blatèr[5]
bahkan mengikuti tradisi blatèr. Sebutan untuk golongan ini ablatèr[6].
Kutipan ini saya paham dengan jelas. Bahkan saya tahu nama beliau-beliau satu
persatu. Sebab beliau-beliau tersebut keturunan dari ulama besar di daerah
saya. guru dari orang-orang tua saya. Saya dapat cerita ini dari orang tua saya
dan cerita seorang sesepuh desa di sela antara salat magrib dan isya. Karena ablatèr
golongan yang sangat-sangat kecil ini sebenarnya hanya keturunan ulama. Akan tetapi
golongan ini bukan pengelola pesantren dan tidak dihormati karena kemampuan
ilmu agamanya. Golongan ini lebih dihormati sebab keturunan ulama besar dan
ketokohannya ada dalam konteks sosial (dan terutama) politik.
Dari cerita tersebut, salah satu sebab makin hilangnya sandur adalah nilai
pesantren yang cenderung kontra budaya sandur. Selain tentu saja tidak ada
generasi seusia saya dan yang lebih muda menjadi penikmat seni ini. Dan
alih-alih memilih dangdut yang modern, masyarakat di desa-desa Madura hari ini makin
banyak menanggap grup selawat yang tentu muncul dari pesantren. Sedangkan kelompok
sandur sedikit demi sedikit menghilang. Bukan karena dihilangkan secara paksa,
namun secara alamiah tanpa regenerasi.
[5]Blatèr merupakan golongan orang yang karena keberanian dan keteguhan menjaga sikap disegani bahkan ditakuti di Madura. Kata ini berasal dari bahasa Jawa yang berarti ‘supel atau mudah bergaul’. Karena akrab dengan sisi-sisi maksiat seperti minum minuman keras, kasar, dan sering identik dengan kekerasan dan carok, blatèr kemudian bergeser dan sering dilekatkan dengan predikat penjahat.
Ada yang bertanya,
hendak dihargai berapa sebuah karya lukis (lokal) yang akan dilibatkan pada
acara Pasar Seni Lukis Bangkalan (PSLB), 7-8 Desember 2019 nanti? Ini
pertanyaan menarik dan positif jika ditinjau dari perspektif bagaimana sebuah
wilayah seni dituntut lebih "profesional" dalam proses kerjanya.
"Dihargai berapa?" Terdengar seperti ragu memang. Artinya, pertanyaan
yang 'idealistik' itu, sedikit banyak mengajak tahu penyelenggara untuk paham
peran (kepanitiaan) bahwa, karya lukis yang masuk pilihan panitia nanti tentu
tidak main-main adanya. Karena karya lukis yang dilibatkan itu dibuat,
dilahirkan, atau diciptakan, dan kemudian disuguhkan ke hadapan
publik—sebelumnya tentu mengalami proses yang tak mudah dan butuh kerja keras.
Itulah orientasinya, sehingga titik jelas dari pertanyaan tersebut adalah
menyoal "harga" bukan karya sebagai produk seni yang dijual (ke
kolektor atau pembeli umum), melainkan "harga" ditariknya karya lukis
yang terseleksi masuk ke lingkaran pasar seni berdasarkan tahap awal. Begitulah
maksudnya.
Selaku bagian dari
panitia saya setuju dengan pandangan itu. Sebab harusnya demikian. Panitia,
menuju PSLB, sebenarnya sudah memahami rentetan ini. Meski secara umum, semua
cara, terkait proses awal PSLB kembali pada konteks keberadaan panitia itu
sendiri. Misal ada penyeleksian atau tahap kurasi atau tidak, atau yang paling
sensitif ada transaksi awal sejenis kontrak keterlibatan lukisan/pelukis dengan
sistem honorarium (karena sudah terpilih). Ada atau tidak tergantung kesepakatan
awal. Jika ada aturan main, tentu tinggal disepakati mekanismenya seperti apa
dan bagaimana.
Sah-sah saja
kesepakatan seperti apa pun yang dihasilkan. Asal kedua pihak mengerti seperti
apakah prinsip kerja pelaksanaan Pasar Seni Lukis diadakan. Dan khusus untuk
PSLB ini, keadaan apa pun, pihak mana pun yang mengenal betul gesekan seni rupa
Bangkalan akan paham apa sebenarnya yang menjadi tujuan PSLB ini
diselenggarakan. Tinggal bagaimana rencana tersebut tidak melulu diseret ke
dalam perbandingan yang tak fair. Apalagi membandingkan PSLB dengan sebuah
konsep yang katakanlah sudah semapan Pasar Seni Lukis Indonesia (PSLI) yang
tahun kemarin dilaksanakan di Surabaya. Tentu tak mungkin, dan tidak adil
membandingkan PSLB dengan PSLI. Apanya juga yang dibandingkan. Toh seni lukis
Bangkalan secara khusus dalam target rencana PSLB, masih dalam perintisan
bagaimana membangun iklim seni lukis yang keren dan jadi maju. Terlepas di luar
itu tercatat ada nama yang sudah tak diragukan lagi kiprah dan prestasinya,
seperti yang sudah diraih Pak Maji, Mas Farid, atau Suvi Wahyudianto.
Lalu terkait besaran
"harga" nominal yang didapat oleh lukisan/pelukis yang lolos seleksi
harus sebesar apa? Di sinilah sebenarnya yang menjadi titik tak bertemu. Karena
sisi subjektif sulit dibuang dari masing-masing pribadi. Harga, yang menjadi
maksud dipatok ideal, tapi situasi tak diperkuat dengan kesadaran diri
"seperti apakah keberadaannya". Secara teknis, menyangkut karya lukis
yang nantinya dinyatakan lolos, dan layak berada di ruang publik, lebih-lebih
secara langsung seperti gelar pameran atau model pasar seni lukis, karya lukis
tersebut sudah pasti mendapat harga layak. Katakanlah bahwa panitia tak akan
meragukan kelayakan itu. Layak sebagai kiprah pengakuan ruang kerja (batin),
maupun harga kerja sebagai pencapain usaha fisik/materi sebuah produk ekspresi.
Panitia sadar bahwa tak ada penyisihan nilai yang bersifat eksploitasi. Yang
ada tetap menjunjung tinggi sebuah karya yang hendak disuguhkan. Sejauh mana
kepantasan harga yang melabelinya, saya pikir, sistem besaran harga yang
dipatok panitia adalah jalan ideal segala sisi. Karena panitia mengerti bahwa
PSLB ini hanya sebuah awal sebagai upaya membangun iklim seni lukis di
Bangkalan jadi makin serius dibicarakan. PSLB ini mengajak mencari, apakah ada
nanti generasi lukis Bangkalan yang bisa mencapai titik ideal seperti
pelukis-pelukis yang telah punya nama besar. Meski sasaran itu berangkat dari
tak adanya niatan para pelukis Bangkalan diakui punya nama besar.
2. Mental
Bagaimana sebenarnya
situasi seni lukis Bangkalan hari ini? Jika pertanyaan tersebut ditujukan pada
panitia PSLB, maka jawabannya adalah seni lukis Bangkalan telah mulai maju.
Kata maju di sini, asumsikan bukan Bangkalan tak pernah mengalami masa emas
dalam dunia perlukisan. Ada atau tidak masa emas itu, tolak ukur bahwa seni
lukis Bangkalan punya masa emas, seperti apa juga takarannya? Tapi jika
dikatakan seni lukis, atau secara umum seni rupa Bangkalan dikatakan pernah
aktif, tentu itu lebih tepat. Terutama era sebelum tahun 90-an dan beberapa
waktu sedikit setelahnya. Hal lain yang menandakan bahwa seni lukis Bangkalan
mulai maju tentu adanya PSLB itu sendiri. PSLB, sisi lain dari segala yang
sudah disampaikan pada bagian 1, bermaksud juga memberikan ruang lebih terbuka
kepada para pelukis Bangkalan untuk lebih total, (karena iklim seni rupa
[lukis] mulai bergerak maju).
Pendeknya, PSLB ini
kegiatan yang khusus memberikan ruang kepada pelaku seni lukis. Untuk pelaku
(pelukis murni). Bukan bersembunyi di balik pengalaman masing-masing yang
selalu bilang pernah ini dan pernah itu. Namun hari ini sangat sulit
menunjukkan karya yang pernah dibuatnya. Sehingga terjadi pengakuan yang
sepotong-sepotong dan tak mengenakkan. Bukan pula menjadikan PSLB sebagai ajang
pembibitan awal seperti rame-rame melukis yang tidak membatasi antara pelukis
dan bukan, sehingga konsepnya menjadi tak jelas dan selesai begitu saja.
Salah seorang pelukis
senior Bangkalan, yang tak perlu disebutkan namanya, mengakui bahwa, adanya
PSLB ini adalah pembuktian, sinyal khusus untuk para pelukis. Pembuktian kepada
para pelukis Bangkalan bahwa berkarya itu harus tidak berhenti. Jangan merasa
selesai, dan harus terus mencari sampai benar-benar tak bisa melukis lagi. Ayo
keluarkan semua karya-karya kita. Pelukis Bangkalan itu ada, dan banyak karya.
Agar menjadi inspirasi yang nyata. Ayo tradisikan itu. Begitulah.
Mendengar pengakuan
dari perupa senior Bangkalan ini, dapat diambil simpulan bahwa, situasi seni
lukis Bangkalan harus dibiasakan punya tradisi berkarya yang tak putus. Jika
perlu sampai pada tahap apresiasi yang menyentuh ruang pengetahuan. Setidaknya
mampu melewati 9 faktor yang menurut Mikke Susanto, seorang kurator seni
independen dapat menjadikan sebuah lukisan terjual dengan harga yang mahal:
(riwayat seniman, tema dan ide, kondisi karya, medium bahan, teknis/alat,
riwayat karya, ukuran, akuisisi dari kolektor sebelumnya, dan publikasi).
Sehingga dengan mudah masuk dalam agenda pameran tunggal atau ke ruang yang
lebih fleksibel seperti pasar seni. Baik di dalam kota maupun di luar kota.
Urusan diboyong kolektor biarlah perjalanan yang bicara.
Demikian pandangan
dari seorang senior perupa Bangkalan yang telah banyak mempelajari eksistensi
para perupa Bangkalan di masa perjalanannya. Bisa juga diiyakan, meski hanya
seorang. Dapat diambil sisi penting komentarnya. Sebab jika diamati,
akhir-akhir ini, di balik langkah seni lukis Bangkalan hari ini yang hendak
maju, jika mau jujur, betapa masih tertinggal beberapa sudut pandang perupa
Bangkalan kebanyakan. Status diri yang kadang menjebak pengetahuan seni terlalu
diperhitungkan berdasarkan senioritas tidak menutup sebagai penyebab. Sementara
pengetahuan seni yang terus bergerak dengan cepat tak mampu dijangkau. Terlalu
demikian yang dikalkulasi, sehingga mengurung generasi selanjutnya untuk berani
keluar, karena merasa sulit diakui secara fair oleh mereka yang merasa lebih
dahulu mengenal seni. Seperti merasa sudah setara dengan Edvard Munch, dan
melampaui apa yang sudah tercapai dalam "The Scream"nya. Di satu sisi tak tahu ikon penderitaan seperti
apa yang sudah dialami oleh pelukis asal Norewgia itu, sampai akhirnya
lukisannya terjual dengan harga $119 juta atau 1,5 triliun, dan bersemayam
dengan nyaman di Galeri Nasional Oslo. Atau dengan gampang mencemooh siapa itu
Mark Rothko yang ekspresionis abstrak, yang karyanya cuma gambar warna merah,
pink, dan biru. Dengan bentuk persegi dan diberi judul "Royal Red and Blue", yang ternyata
berhasil laku Rp339 miliar.
Kondisi di atas memang
tak menyamankan jika terus dibiarkan menggelembung. Sangat diharapkan muncul
kesadaran bahwa berkembangnya sebuah wilayah seni terletak pada keterbukaan
diri yang tak berbatas. Seiring perkembangan seni lukis yang makin liar dan
sublim, mentradisikan diskusi tentu adalah satu bentuk mental yang memperluas
cakrawala. Bukan menjadi pelaku yang antikritik dan menilai yang lain sebagai
yang buruk-buruk. Apalagi sampai ada anggapan kepada yang muda dengan sebutan
"anak kemarin sore". Sementara justru yang muda-mudalah yang mengerti
kenapa lukisan S. Sudjojono yang penuh peristiwa dan lukisan Hendra Gunawan
yang penuh perasaan sakau pernah menjadi lukisan termahal di Indonesia.
3. Sudah Seperti Apa
Kita dalam Berkarya?
"Kita besar,
karena merasa seolah di dunia ini hanya kita yang hebat. Kita kecil, setelah
menyadari betapa tak terjumlah kejadian hebat di dunia ini. Baik yang dibuat
manusia, maupun yang diciptakan Semesta."
Kalimat di atas sempat
menjadi bahan diskusi salah satu kelompok seni rupa di Bangkalan yang
pergerakannya pada tahun-tahun terakhir cukup mewarnai iklim seni rupa
Bangkalan. Hal tersebut dilakukan untuk membuang pikiran-pikiran tak bersih
yang masih melekat pada diri. Pikiran tak bersih yang dimaksud adalah menyadari
tingkat pencapain yang sulit menerima bahwa sebenarnya kita tertinggal. Kita
sebenarnya sudah jauh ditinggalkan oleh perkembangan-perkembangan seni yang tak
berkutat pada sindrom pengakuan, mindset yang tak ubahnya kita anak kecil, dan
tentu yang sangat tampak adalah "fair
feeling". Bukan ironis memang, tapi lebih pada bagaimana seni secara
umum di Bangkalan bisa dikatakan "harus" selamat dari keterbelakangan
yang melanda. Tak masalah meski kita tak mengerti mengapa sampai akhirnya
seorang Arshile Gorky memutuskan untuk melukis kematiannya dengan cara nyata,
setelah dalam perjalanan melukisnya, ia berkali-kali tertimbun duka: studionya
yang terbakar, diagnosa kanker, istrinya yang pergi, dan sebuah kecelakaan yang
membuat tangannya hilang dan tak bisa digunakan melukis lagi. Tak masalah, kita
tak mengambil hikmah dari itu, lantaran setiap individu punya cara untuk
berbuat, punya cara untuk bertekad. Bagian terpenting, mungkin yang paling
mampu terjalin, di Bangkalan, saat ini, hari ini, adalah kesadaran "Jiwa
di dunia yang hilang jiwa... Aku cemas dengan kecemasanku, aku cemas takut
kehilangan kau.. " seperti yang ditulis oleh John Canrford dalam sebuah
sajak berjudul "Huesca". Sajak yang tak ingin kehilangan orang yang
dicintainya lantaran ingin terus ada. Seperti kita, yang tak ingin kehilangan seni
yang kita cintai. Dan ingin seni selalu ada, dalam seluruh perjalanan hidup
kita.
Video terkait dari channel resmi Komunitas Masyarakat Lumpur
[1]M. Helmi, M. Pd. dosen Bahasa
dan Sastra STKIP PGRI Bangkalan, Ketua Komunitas Masyarakat Lumpur Bangkalan.
Apresiasi
terhadap puisi dapat dilakukan dalam berbagai bentuk kegiatan. Satu di antara
bentuk apresiasi yang paling sering dilakukan adalah pembacaan puisi.
Sayangnya, kegiatan pembacaan itu sejauh ini terbatas pada kegiatan lomba.
Karena lomba, kadang yang lebih dikedepankan justru ke-aku-an pembaca, bukan isi
dari puisi. Puisi seolah hanya menjadi alat untuk mempertontonkan kehebatan
pembaca. Padahal, pembacalah yang seharusnya menjadi alat untuk menyampaikan muatan
puisi.
Gejala
pembacaan semacam itu menyebabkan puisi kehilangan makna. Kata-kata yang
diucapkan, meminjam bahasa Rendra, hanya menjadi suara gemalau yang kacau.
Puisi terlalu dilagu-lagukan. Ekspresi dan gestur cenderung dibuat-buat. Jika
ada kata bulan dalam puisi tangan diacungkan ke langit. Jika ada kata hati
dalam puisi tangan dirapatkan ke dada. Setiap kata seolah harus diikuti
gerakan. Dengan pembacaan seperti itu iklan obat penumbuh kumis pun bisa saja
dipuisi-puisikan. Demikian kata Rendra.
Bentuk
lain dari apresiasi terhadap puisi yang dewasa ini marak diselenggarakan adalah
musikalisasi puisi. Namun sayang, penyelenggaraannya pun masih terbatas pada
lomba dan acara “dalam rangka”. Hal itu diakui oleh M. Helmi, pelopor
musikalisasi puisi di Bangkalan, pada sela-sela pementasan musikalisasi puisi Komunitas
Masyarakat Lumpur, Minggu, 9 Februari 2014 silam.
Helmi menyampaikan kepada penonton
bahwa pementasan musikalisasi puisi yang benar-benar dikemas dalam bentuk
pertunjukan merupakan acara langka. Dalam artian, tidak setiap bulan atau
setiap minggu bisa diadakan. Oleh karena itu, ia meminta penonton benar-benar
mencermati bentuk musikalisasi yang disajikan. Sebab, bentuk musikalisasi yang
diajarkan oleh guru di sekolah (melalui mata pelajaran Bahasa Indonesia atau
Seni Budaya) sering kali masih mengalami kesalahan konsepsi.
Menurut pendapat Helmi, kesalahan konsepsi
terjadi karena ada anggapan yang terlalu menyederhanakan istilah musikal: yang
penting ada musiknya. Sehingga pembacaan puisi yang diiringi petikan gitar atau
alunan musik instrumental pun akhirnya dianggap sebagai musikalisasi puisi. Padahal
konsep musikalisasi puisi yang sesungguhnya ialah puisi harus digubah menjadi
komposisi musik atau lagu yang mencerminkan muatan puisi. Mengenai apakah
keseluruhan atau sebagian teks puisi yang dilagukan hal itu tergantung pada
kreativitas penggubah. Intinya puisi harus benar-benar menjadi komposisi musik
atau lagu. Puisi menjadi nyanyi.
Dalam pementasan yang dihelat di Aula
MAN Bangkalan itu, Komunitas Masyarakat Lumpur menampilkan beberapa komposisi musikalisasi
puisi karya dari penyair-penyair kenamaan seperti Sutardji Calzoum Bachri,
Hartoyo Andang Djaya, Sitor Situmorang, dan D. Zawawi Imron. Karya-karya yang
ditampilkan merupakan komposisi yang pernah diikutsertakan dan menjadi juara
dalam lomba musikalisasi puisi jenjang SMA tingkat Jawa Timur dan Nasional.
Pertunjujukan dibuka dengan
komposisi “Perempuan-Perempuan Perkasa” karya Hartoyo Andang Djaya yang
diaransemen oleh Muzammil Frasdia. Komposisi ini merupakan lima karya terbaik
tingkat nasional dalam lomba musikalisasi puisi pada akhir 2013 di Solomewakili Provinsi Jawa Timur. Komposisi ini
sangat pas dijadikan sebagai tampilan pembuka. Iramanya yang rancak dengan
hentakan dram dan bongo yang cukup dominan menjadikan komposisi ini memiliki
nilai beda dengan komposisi-komposisi musikalisasi puisi pada ummumnya yang
bernada sendu dan melankolis.
Secara keseluruhan pertunjukan yang
disajikan Komunitas Masyarakat Lumpur mampu menyuguhkan tatanan dan tuntunan
dalam memusikalisasi puisi sekaligus memberikan tontonan yang menarik dan
menghibur. Namun untuk ukuran keberhasilan ada dua indikator yang perlu
diperhatikan. Jika yang dijadikan indikator hanya ruang pertunjukan, maka
secara kualitas maupun kuantitas bisa dikatakan berhasil, sangat apresiatif.
Akan tetapi, jika yang dijadikan indikator adalah ruang di luar ruang
pertunjukan, maka keberhasilan yang diperoleh baru sebatas berhasil memberi
harapan bagi pertumbuhan dan perkembangan musikalisasi puisi di tingkat
regional maupun nasional.
Ungkapan “acara langka” yang
disampaikan Helmi mengindikasikan musikalisasi puisi belum dikenal masyarakat.
Musikalisasi puisi belum bisa benar-benar menjadi nyanyi, seperti
nyanyian-nyanyian populer yang bisa didendangkan kapan saja. Padahal kalau
menilik sejarah, ada beberapa musikalisasi puisi yang sebenarnya benar-benar
sudah menjadi nyanyi. Salah satunya, “Sajadah Panjang” karya Taufik Ismail yang
dinyanyikan oleh Bimbo.
Ungkapan “acara langka” itu memang
demikian faktanya, meski bagi Helmi akan terasa sebagai kutukan. Sudah hampir
sepuluh tahun pertunjukan musikalisasi di Aula MAN Bangkalan itu berlalu. Baru
pada tahun 2023 ini Komunitas Masyarakat Lumpur akan menyelenggarakan kembali.
Sebenarnya setiap tahun, pada setiap Festival Puisi Bangkalan, musikalisasi
puisi selalu dihadirkan, tapi bukan sebagai pertunjukan tunggal.
Kata Helmi, pertunjukan musikalisasi
puisi kali ini akan dikemas lebih menantang. Dengan tajuk “Ghun-Tèngghun:
Konser Musikalisasi Puisi Multi Genre” pertunjukan musikalisasi puisi ini jelas
menjanjikan sesuatu yang berbeda. Seperti apakah puisi jika dinyanyikan dalam
genre musik rock atau dangdut? Dengan dukungan teknologi dan media yang lebih
canggih dibandingkan sepuluh tahun yang lalu, bisakah puisi dalam
“Ghun-Tèngghun” menjadi nyanyi bukan sekadar di atas panggung, tapi juga di
luar panggung? Temukan jawabannya September nanti, dan hari-hari setelah itu.
*Rozekki, lahir di
Bangkalan, 22 Desember 1983. Mengajar di STKIP PGRI Bangkalan, pada Program
Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Kecil dulu,
siapa yang akan tahu? Dikenal kritis dan suka mendebat, saya diolok dengan julukan
tokang kritik atau tukang kritik. Julukan yang muncul karena merasa
terganggu dengan tingkah saya yang selalu mendebat pendapat orang meski orang
itu lebih tua. tentu, olok-olok itu menjengkelkan bagi saya.
Dalam pikiran
anak SD yang lugu, saya pikir saya harus bicara sesuai yang ada di kepala. Benar
adalah benar dan harus dibela mati-matian. Tentu dalam pandangan seorang anak
kecil yang berpikir kebenaran hanya dalam kepalanya. Egosentrisme yang masih
kuat.
Baiklah, itu
watak saya. Wajar saya diberi julukan sesuai dengan tingkah laku. Namun, tidak
dengan di pesantren. Tubuh tinggi saya yang tidak jamak pada waktu itu memberi
satu lagi olok-olok. Kompenni. Dengan dua en. Olok-olok itu sebenarnya
disematkan untuk paman saya yang telah ngaji di pesantren sebelumnya. Kami memang
memiliki tinggi lebih dari rata-rata untuk zaman itu. MTs waktu itu. Menyakitkan.
Ingin rasanya mengerutkan badan, mengecil menjadi rata-rata. Tinggi badan saya
waktu itu terasa seperti sebuah kekurangan. Kadang sampai saat ini perasaan itu
masih muncul.
Soal kompenni
sebenarnya dalam bahasa lugu orang desa adalah kata lain untuk orang Belanda
yang perawakanya lebih tinggi dari ras-ras di Asia. Tentu bukan baca dari
bahasa belanda kepanjangan VOC yaitu Vereenigde Oostindische Compagnie
yang berarti Serikat Perusahaan Hindia Timur. Akan tetapi, dari film-film
pendekar yang bersetting masa kolonial. Barry Prima, George Rudy, dan Advent
Bangun adalah aktor-aktor laga ternama pada waktu itu. Dan dalam film-film itu pihak
Belanda disebut dengan Kompeni.
Masa gelap itu
sedikit terang ketika saya mulai kursus bahasa Inggris di EQC (English Quick
Course). Habitat saya berpindah dari pesantren ke Masjid Langkap Barat. Kita singkat
MLB. MLB merupakan tempat transit dari Pesantren Timur Duur (PTD) dan EQC. Hal ini
tidak perlu saya ceritakan. Waktu itu menjelang usia SMU.
Sikap kritis
dan suka mendebat rupanya tidak berkurang. Bahkan, makin menjadi karena makin
banyak referensi. Dan julukan teman di MLB untuk saya adalah “dosen”. Tentu dalam
tanda petik.
Masa di masjid
berakhir ketika kuliah di Kampus Jingga. Nama yang diperoleh dari cat gedung
perguruan tinggi di pinggiran kota Bangkalan. Tokang Kritik hilang; Kompenni
hilang; dan Dosèn pun hilang. Senior-senior di kampung telah menyebar
dengan kerja yang sebagian rantau sebagai tukang potong rambut. Sebagian lagi
jadi buruh tani. Masa SD saya telah berlalu lebih 10 tahun. Cukup untuk
menggerus dua kata tersebut dari ingatan mereka.
Kompenni pun hilang sebab saya telah jadi guru di pesantren. Guru bahasa Inggris.
Senior sudah boyong sedang yang sebaya dan yunior segan memanggil dengan
sebutan itu. Berganti selanjutnya dengan “Pak”. Senior pun mulai menyebut nama
bukan lagi julukan.
Dosen? Teman se
masjid telah menyebar mengikuti takdir hidup masing-masing. Ke arab, ke Jakarta,
sebagian di Surabaya. Seorang lagi di kediri ikut kakak perempuannya. Saya yakin
mereka juga sudah lupa dengan julukan itu. Saya akan ceritakan mereka di lain
waktu. Tapi, biarlah saya buka satu rahasia. Kami disebut Grup Klompen.
Waktu terus
belalu. Tuhan selalu memiliki garis lucu yang baru disadari setelah terjadi. Pasca
mendalami sastra di Kampus Bulak Sumur, dengan perantara seorang dosen, saya
mengajar di Kampus Jingga. Olok-olok “dosen” berbuah nyata. Manis. Meski sebentar.
Profesi baru ini memberi peluang membaca karya-karya sastra. Mula-mula Bangkalan
saya ulas. Tokang kritik berbuah nyata. Beberapa penelitian sejarah
sastra Bangkalan dan satu buku Sejarah Ringkas Kesusastraan Bangkalan menegaskan
profesi sebagai tukang kritik. Meski pun amatir tentunya.
Selain ketertarikan
pada sejarah sastra, setelah menerbitkan Kamus Madura Indonesia Kontemporer,
saya sadar kamus ini lemah ketika Mas Adrian Pawitra menerbitkan kamus Madura.
ketertarikan itu saya manifestasi dengan merombak kamus yang saya terbitkan. Dalam
perjalanan pengembangan dunia leksikografis ini, saya berjumpa dengan sebuah
kamus yang ditulis oleh H.N. Kiliaan berjudul Madoereesch-Nederlandsch Woordenboek. Jilid
pertama terbit 1904 dan jilid kedua 1905. Tentu berbahasa Belanda dan terbit
pada masa kolonial. Anda pasti bisa menghubungkan. Kata kompenni mewujud
ketika terpaksa saya harus belajar bahasa Belanda. Dan... Takdir itu lucu
bukan?
Masa
remaja saya sebagian besar bersetting Masjid Kholilurrahman[1]
Langkap Barat. Mengenang masa itu saya teringat satu bagian yang sebenarnya
memalukan tapi lucu. Yah. Makan gratis di hajatan tetangga.
Cerita
ini dimulai dengan keikutsertaan saya pada kursus bahasa Inggris di English
Quick Course (EQC). EQC adalah pondok pesantren yang khusus mengajarkan bahasa
Inggris. Inilah awal mula kedekatan saya dengan anak masjid. Masjid kemudian
menjadi “basecamp” masa pendidikan saya dari Darul Hikmah (DH) dan EQC.
Di masjid ini sebagian buku bahasa Inggris dan kitab kuning saya, pada waktu
itu, “mendekam”. Saya masih ingat beberapa buku dan kitab. Sullam at-Taufiq,
Bulūgh al-Marām, English 900, A Practical English Grammar,
dan Kamus Inggris-Indonesia adalah beberapa yang saya ingat saya bawa ke
masjid. Saya pulang hanya untuk makan. Demikian, teman saya yang lain. Tapi,
dalam tulisan ini saya tidak akan bercerita tentang ini. Cerita tentang ini
saya ceritakan pada bagian tersendiri.
Sebuah
peristiwa memalukan namun lucu. Seperti pada judul. Itulah yang ingin saya ceritakan
kali ini.
Remaja
Masjid Kholilurrahman mengelola dua buah toa. Saya lupa toa ini dibeli dari
siapa. Toa ini dipakai untuk yasinan mingguan, juga hajatan warga. Mereka cukup
bayar kas yang sangat murah dan rokok untuk operatornya. Operator toa biasanya Jauhari. Dengan alasan membantu
membereskan toa, sebagian kami datang
bertandang. Pertanyaan, “Ke mana?”
“Nganḍâng”. Itulah jawabannya.
Tentu sambil tersenyum dan saling mengerti.
Untuk yasinan biasanya toa dipasang
setelah asar. Beruntung jika tuan rumah menyediakan bambu. Jika tidak, toa
dipasang di dahan pohon. Tentu ada yang naik terlebih dahulu. Lalu toa ditarik
ke atas dengan tali. Setelah diikat, kabel toa dihubungkan dengan amplifier.
Anda tahu sisanya. Toa diturunkan segera setelah acara. Malam itu juga. Saat inilah
acara nganḍâng terjadi. Sebab, dibutuhkan tenaga untuk menurunkan toa
dan membawa pulang kembali semua perangkat soundsystem ini. Hitungan jumlah
tenaga yang dibutuhkan jelas. Namun yang datang sering lebih dari yang
dibutuhkan.
Ingatan
saya dipantik oleh sebuah lema dari kamus bahasa yang sedang saya pelajari. Nganḍâng.
Kata yang secara sederhana berarti mendatangi
orang-(orang) yang sedang makan dengan harapan mendapat bagian.
Yang
perlu diperhatikan di sini, respon tuan rumah. Mereka senang sekali. Sebab, anak-anak
masjid ini rajin membantu, teman anak-anak mereka, anak-anak baik yang merawat
masjid, akrab dengan masyarakat sekitar. Selain itu, setiap ada hajatan porsi
selalu lebih untuk diantar ke tetangga. Jadi memang bagian kami dari jatah
lebih ini. Sayangnya, saya bukan sebagian dari pelaku nganḍâng ini. Entah
mengapa perilaku “nakal” dan “lucu” ini tidak pernah muncul di benak saya. Beberapa
teman juga seperti enggan dan tidak pernah melakukan. Mungkin malu.
Untuk
melengkapi cerita, saya ulas kata nganḍâng. Kata ini sebenarnya bentuk
turunan dari kata anḍâng yang berarti ‘pelangi’. Nganḍâng berarti
‘bertindak seperti pelangi’. Dalam mitos yang saya dengar saat saya kecil,pelangi
itu dipersonifikasi seperti makhluk hidup. Katanya, salah satu ujung
lengkungnya pasti mengarah ke air. Minum katanya. Terus apa hubungannya dengan nganḍâng
yang figuratif ini?
Seperti
pelangi, satu bagian tubuh berpijak di satu ujung sedang bagian kepala di ujung
yang lain. Melompati jeda lebar untuk minum. Demikian juga perilaku nganḍâng.
Orang yang tidak ada relasi dengan acara namun makan dan minum dalam acara
tersebut. Sebuah analogi rumit yang muncul dari mitos.
Bermula dari Mancing Sastra ke-38 bertema 19 tahun perjalanan
Sastra Komunitas Masyarakat Lumpur. Acara sederhana yang diadakan untuk
memperingati kelahiran komunitas ini 19 tahun silam. Saya dan Roz menjadi
pembicara. Seperti acara semi formal lainnya, tak ada yang terlalu menarik.
Kajian tentang sastra bukan sesuatu yang urgen. Sastra memang tidak berkaitan
dengan kebutuhan dasar manusia. Yah, mungkin saya hanya terjebak oleh bidang ilmu
yang saya geluti. Mungkin. Mungkin juga tidak. Entahlah.
Sepeti biasa peserta yang hadir terutama komunitas seni di
Bangkalan. Selain itu, beberapa orang mahasiswa yang hadir dan itu-itu saja.
Singkatnya tidak ada yang menarik dari itu. Mungkin tidak semua menjemukan.
Tapi persentasenya kecil. Salah satunya saat Roz membaca puisi Pak Helmi
berjudul “Halbia”. Mungkin bukan puisi yang terbaik dari Antologi Cinta[1]
yang ditulis Pak M. Helmy Prasetya. Namun puisi ini berkaitan dengan sebagian
cerita dalam hidup saya. Berikut puisi tersebut.
3/ ceritanya begini: teman kita ada yang jual
genting
tapi harganya sangat murah, hanya sebuah
senyuman. yang beli katanya adalah rasa lapar dan
pegawai sipil yang nyasar
4/ lalu kenapa kamu tidak sembahyang ?
jangan bilang apes!
dan lihat disana, ada toilet bukan ! jadi buang
saja dosa-dosamu ke sana. selesaikan !
5/ musolla-kampus stkip pgri bangkalan
30 oktober 2003. di bawah langit yang sedih
kita jadi terlentang.
6/ (helmy, mohry, makky, ruzakky, dan zainy)
merekapun
tampak semakin tua
Terus terang saya sudah lupa maksud puisi itu. Kecuali beberapa
perca dari fragmen tersebut. Selain itu, karena bukan penulis puisi, tentu saja
posisi saya sebagai penafsir. Fragmen 1/ sepertinya berbicara tentang ruang. Ruang
tersebut adalah musala STKIP PGRI Bangkalan. Tapi bukan musala yang sekarang. Entah
kapan musala itu dibongkar. Yang jelas saat awal mengajar 2010-an musala
tersebut masih ada. Ruang itu terisi “laki-laki” yaitu kami berlima, “bulu
burung rowo”, dan “hitam semut”. “Bulu burung rowo” adalah gurauan tentang
kemucing yang bulunya hampir habis. Kebetulan saat itu sedang trend lagu “Cucak
Rowo” dari Didi Kempot. Sedangkan “hitam semut” adalah kondisi musala yang
kotor karena jarang dibersihkan dan banyak semut hitam. Di dinding ada sebuah “kipas
angin yang sudah lama pangsiun” atau sudah rusak. Kipas angin mati
tersebut seolah-olah “membersihkan al-qur’an.” yang berada di rak di bawah
kipas tersebut. Yah, sebuah kitab suci yang berdebu sebab jarang dibaca.
Fragmen 2/ ada “aku tidak boleh pulang malam, lantaran aku
kebanyakan minum dering hand phone.” Yang tidak boleh pulang malam tentu Helmy
penulis puisi ini. Dia satu-satunya di antara kami berlima yang sudah menikah
pada waktu itu. Tentu punya tanggung jawab keluarga. Sedangkan empat yang lain
biasa pulang sampai pukul sembilan malam. Kami mahasiswa yang aktif sebagai
pengurus BEM.
Fragmen 3/ berisi suasana. “Rasa lapar” pada fragmen tersebut mewakili
waktu puasa. Dan kami mengisinya dengan ngobrol untuk mengalihkan pikiran dari
rasa lapar tersebut. Saat itu ada “pegawai sipil yang nyasar”. Perempuan berpakaian
PNS mondar-mandir seperti mencari seseorang di kantor BAAK yang tutup. Kantor ini
buka sore. Dia asik dengan kebingungannya. Tidak mencoba untuk bertanya
meskipun ia melihat ada kami di sana.
Fragmen 4/ saya lupa tentang apa.
Framen 5/ menegaskan tempat dan waktu. “30 oktober 2003” bertepatan
dengan tanggal 4 Ramadhan 1424. Seingat saya itu menjelang acara BEM. Buka puasa
bersama. Mungkin juga bukan.
Fragmen 6/ menyebutkan orang-orang yang terlibat dalam fragmen
tersebut. Mereka adalah “helmy, mohry, makky, ruzakky, dan zainy”. Huruf y pada
akhir nama merupakan gurauan waktu itu. Zainy, adik Helmy, sebenarnya dipanggil
Husai. Lengkapnya Huzaini. Diganti zainy demi melekatkan huruf y. Gurauan ini
merupakan hal biasa bagi kami waktu itu. Helmy menyingkatnya menjadi halbia
seperti pada judul dengan membuang sa.
Yang terpenting dari semuanya, fragmen-fragmen ini seperti menjadi salah
satu catatan sejarah hidup kami. Tanpa puisi ini, mungkin kami sudah lupa. Memori
ini mungkin akan tenggelam ke ceruk terdalam lautan ingatan. Ada 19 tahun jeda
antara peristiwa tersebut dengan saat ini. Yah, peristiwa biasa yang mudah
terlupa tetapi menjadi luar biasa karena menjadi ingatan menambah waskita
ketika merefleksi diri. Jadi, puisi yang tidak bisa kita uangkan ini, ternyata
menjadi berharga, seperti uang kertas 100 rupiah dulu emisi 1992 yang kini
berharga puluhan ribu sampai jutaan karena telah menjadi barang antik.