07 April 2023

HAL BIASA YANG LUAR BIASA DALAM KENANGAN: CERITA MANCING SASTRA KE-38


Bermula dari Mancing Sastra ke-38 bertema 19 tahun perjalanan Sastra Komunitas Masyarakat Lumpur. Acara sederhana yang diadakan untuk memperingati kelahiran komunitas ini 19 tahun silam. Saya dan Roz menjadi pembicara. Seperti acara semi formal lainnya, tak ada yang terlalu menarik. Kajian tentang sastra bukan sesuatu yang urgen. Sastra memang tidak berkaitan dengan kebutuhan dasar manusia. Yah, mungkin saya hanya terjebak oleh bidang ilmu yang saya geluti. Mungkin. Mungkin juga tidak. Entahlah.


Sepeti biasa peserta yang hadir terutama komunitas seni di Bangkalan. Selain itu, beberapa orang mahasiswa yang hadir dan itu-itu saja. Singkatnya tidak ada yang menarik dari itu. Mungkin tidak semua menjemukan. Tapi persentasenya kecil. Salah satunya saat Roz membaca puisi Pak Helmi berjudul “Halbia”. Mungkin bukan puisi yang terbaik dari Antologi Cinta[1] yang ditulis Pak M. Helmy Prasetya. Namun puisi ini berkaitan dengan sebagian cerita dalam hidup saya. Berikut puisi tersebut.

 

Halbia

 

1/    Itu hal biasa

dan semua orang menyebutnya dosa.

ada laki-laki, bulu burung rowo, hitam semut

dan kipas angin yang sudah lama pangsiun[2]

membersihkan al-qur’an. Barangkali listriknya

mati dan hanya ada satu di tasmu

2/    aku tidak boleh pulang malam,

lantaran aku kebanyakan minum dering hand phone.

tetapi soremu terlalu lama untuk ditunggu, jadi

lebih baik aku berdosa

3/    ceritanya begini: teman kita ada yang jual genting

tapi harganya sangat murah, hanya sebuah

senyuman. yang beli katanya adalah rasa lapar dan

pegawai sipil yang nyasar

4/    lalu kenapa kamu tidak sembahyang ?

jangan bilang apes!

dan lihat disana, ada toilet bukan ! jadi buang

saja dosa-dosamu ke sana. selesaikan !

5/    musolla-kampus stkip pgri bangkalan

30 oktober 2003. di bawah langit yang sedih

kita jadi terlentang.

6/    (helmy, mohry, makky, ruzakky, dan zainy) merekapun

tampak semakin tua

 

Terus terang saya sudah lupa maksud puisi itu. Kecuali beberapa perca dari fragmen tersebut. Selain itu, karena bukan penulis puisi, tentu saja posisi saya sebagai penafsir. Fragmen 1/ sepertinya berbicara tentang ruang. Ruang tersebut adalah musala STKIP PGRI Bangkalan. Tapi bukan musala yang sekarang. Entah kapan musala itu dibongkar. Yang jelas saat awal mengajar 2010-an musala tersebut masih ada. Ruang itu terisi “laki-laki” yaitu kami berlima, “bulu burung rowo”, dan “hitam semut”. “Bulu burung rowo” adalah gurauan tentang kemucing yang bulunya hampir habis. Kebetulan saat itu sedang trend lagu “Cucak Rowo” dari Didi Kempot. Sedangkan “hitam semut” adalah kondisi musala yang kotor karena jarang dibersihkan dan banyak semut hitam. Di dinding ada sebuah “kipas angin yang sudah lama pangsiun” atau sudah rusak. Kipas angin mati tersebut seolah-olah “membersihkan al-qur’an.” yang berada di rak di bawah kipas tersebut. Yah, sebuah kitab suci yang berdebu sebab jarang dibaca.

Fragmen 2/ ada “aku tidak boleh pulang malam, lantaran aku kebanyakan minum dering hand phone.” Yang tidak boleh pulang malam tentu Helmy penulis puisi ini. Dia satu-satunya di antara kami berlima yang sudah menikah pada waktu itu. Tentu punya tanggung jawab keluarga. Sedangkan empat yang lain biasa pulang sampai pukul sembilan malam. Kami mahasiswa yang aktif sebagai pengurus BEM.

Fragmen 3/ berisi suasana. “Rasa lapar” pada fragmen tersebut mewakili waktu puasa. Dan kami mengisinya dengan ngobrol untuk mengalihkan pikiran dari rasa lapar tersebut. Saat itu ada “pegawai sipil yang nyasar”. Perempuan berpakaian PNS mondar-mandir seperti mencari seseorang di kantor BAAK yang tutup. Kantor ini buka sore. Dia asik dengan kebingungannya. Tidak mencoba untuk bertanya meskipun ia melihat ada kami di sana.

Fragmen 4/ saya lupa tentang apa.

Framen 5/ menegaskan tempat dan waktu. “30 oktober 2003” bertepatan dengan tanggal 4 Ramadhan 1424. Seingat saya itu menjelang acara BEM. Buka puasa bersama. Mungkin juga bukan.

Fragmen 6/ menyebutkan orang-orang yang terlibat dalam fragmen tersebut. Mereka adalah “helmy, mohry, makky, ruzakky, dan zainy”. Huruf y pada akhir nama merupakan gurauan waktu itu. Zainy, adik Helmy, sebenarnya dipanggil Husai. Lengkapnya Huzaini. Diganti zainy demi melekatkan huruf y. Gurauan ini merupakan hal biasa bagi kami waktu itu. Helmy menyingkatnya menjadi halbia seperti pada judul dengan membuang sa.

Yang terpenting dari semuanya, fragmen-fragmen ini seperti menjadi salah satu catatan sejarah hidup kami. Tanpa puisi ini, mungkin kami sudah lupa. Memori ini mungkin akan tenggelam ke ceruk terdalam lautan ingatan. Ada 19 tahun jeda antara peristiwa tersebut dengan saat ini. Yah, peristiwa biasa yang mudah terlupa tetapi menjadi luar biasa karena menjadi ingatan menambah waskita ketika merefleksi diri. Jadi, puisi yang tidak bisa kita uangkan ini, ternyata menjadi berharga, seperti uang kertas 100 rupiah dulu emisi 1992 yang kini berharga puluhan ribu sampai jutaan karena telah menjadi barang antik.

 



[1] M. Helmy Pasetya, Antologi Cinta (Bangkalan: Komunitas Tera’ Bulan, 2003)

[2] Kata lama bahasa Madura yang sinonim dengan pensiun 

1 komentar: