03 April 2023

,

PRAKSIS KESADARAN, IRONI KARYA, DAN KETERBATASAN WACANA

 M. Helmi, M. Pd*

 

(1)

 

Sebagai bahan pertimbangan, perlu diketahui bahwa pada awal tahun 2003 hingga 2004 awal, sebentuk kegiatan seni yang mengarah pada konsep pelestarian budaya Madura rajin diselenggarakan para pelaku seni di bawah naungan Komunitas Tera’ Bulân. Beragam tampilan dengan bentuk sajian dipentaskan secara bergantian. Melalui ragam seni pertunjukan tradisi  seperti tu-tuk, tari-tarian, ronjengan, hadrah-jidor, lagu-lagu Madura dan semacamnya. Dan jika hendak jujur, hasilnya tak dapat dipungkiri secara tidak langsung merangsang keinginan masyarakat untuk lebih mengetahui bentuk budaya apa saja yang ada di sekitar mereka. Sehingga dari rutinitas itu, lambat laun iklim seni yang sebenarnya begitu sulit tumbuh di Bangkalan mulai terwujud, dikenal, dan akhirnya punya warna. Gaungnya, apa yang menjadi agenda Komunitas Tera’ Bulân pada masa itu, nuansanya terdengar hingga sampai keluar daerah.



Namun, ada perspektif lain yang pantas untuk dikoreksi atas sepak terjang Komunitas Tera’ Bulân tersebut—yaitu adalah apa yang dilakukan oleh Komunitas Tera’ Bulân hampir setiap bulan (purnama) di atas, boleh jadi kurang memiliki pengaruh besar terhadap situasi budaya yang sifatnya berkepanjangan sebagai pembentuk praksis kesadaran. Alih-alih rutinitas tersebut akhirnya hilang dan tergeser lagi oleh adanya sebentuk peradaban miring, yang tanpa logika pun menjauhkan jati diri dari realitas budaya yang benar. Jati diri yang diakui oleh masyarakat luar sebagai sebuah wilayah yang memiliki kekayaan budaya luar biasa.

Apa sebenarnya yang terjadi? Ada banyak faktor yang mengakibat masalah demikian. Misalnya di satu sisi vitalitas kerja kebudayaan para pelaku seni dalam mengemas acara cenderung inferior dan nihilistik, dan itu disebabkan banyaknya batasan ruang gerak yang amat jauh dari konsep-konsep posmo yang seharusnya sejak kala itu digalakkan. Selain itu minimnya kesadaran kolektif pada hampir setiap bagian pelaksana budaya yang salah kaprah memahami bahwa kerja kebudayaan merupakan sebuah urusan yang tak hanya bisa digerakkan bermodal tenaga dan upaya. Sekalipun ditopang pemikiran atau konsep yang brilian, hal tersebut sungguh tak cukup tanpa adanya suntikan materi (baik pendanaan dan fasilitas-fasilitas terkait kegiatannya). Dan hal semacam itu, tidak bisa dibiarkan begitu saja ada. Perlu adanya pertanggungjawaban sikap pada segala lapisan masyarakat, terutama oleh timbal balik peranan antara para pelaku seni dengan pengatur kebijakan. Dalam hal ini instansi-instansi yang menaungi kebudayaan melangsungkan kerja budaya yang nyaman, khususnya dengan secara langsung memfungsikan peran-peran pelaku seni, baik yang terstruktur, maupun yang postrukturalistik.

 

(2)

Berbicara lokal genius para pelaku seni, khususnya Bangkalan, tidak riskan apabila kita menyebuat bahwa yang telah ada merupakan talenta-talenta yang “masih” pantas dipertanyakan  kualitas karyanya. Wajar adanya, apalagi ditinjau berdasarkan aspek kritis demi kemajuan bersama. Mengingat, keberadaan dan kiprah-kiprahnya didominasi oleh kemasan karya yang tendesinya hanya dalam rangka dan sesaat, meski beberapa kali Bangkalan tercatat dalam berbagai bidang seni mampu mengukir prestasi, baik Jawa Timur, nasional, bahkan internasional. Hal tersebut bukan merupakan jaminan mutlak.  Oleh sebab itu, tak salah kiranya apabila terkait konsep kesenian yang arahnya lebih serius (original art)—di luar latar belakang kosmologinya, terlalu sedikit di Bangkalan (untuk dikatakan) sebagai daerah yang melahirkan karya yang pantas dibilang berkualitas tinggi. Bahkan mungkin bisa dihitung dengan jari jumlahnya.

Memang ada segelintir sanggar atau kelompok seni di Bangkalan yang pelaku seni di dalamnya beberapa kali ambil bagian dalam percaturan seni yang memang murni untuk seni itu sendiri, lepas dari kepentingan apa pun yang disebut dalam rangka, baik sifatnya perorangan maupun komunal.  Misalnya perhelatan teater di Taman Ismail Marzuqi di Jakarta, Festival Seni Surabaya di Surabaya, Cak Durasim, atau bahkan ajang sastra bertaraf nasional. Dan tentu, jika diakui dengan jujur, proses seni seperti itulah yang membentuk kecerdasan pelaku seni dalam mengkonstruksi atau bahkan mendekonstruksi karya-karya yang dibuat semakin diakui sebagai bagian yang layak dan penting untuk dimasukkan ke dalam ranah kekayaan budaya.

Kenyataan yang terpampang di Bangkalan justru jauh dari pemahanan demikian. Baik dari sudut pandang kearifan lokal, maupun universal. Malah sebaliknya, progresifitas tersebut pun disikapi sebagai sesuatu yang tidak layak diapresiasi, tidak dianggap penting, bahkan terang-terangan dikatakan tidak menguntungkan. Diperparah lagi dengan adanya segelintir pengakuan dari para pelaku seni itu sendiri yang menilai bahwa mereka sudah melakukan apa yang disebut dengan kerja kebudayaan. Namun ironis ketika ditanya seperti apa konsep kebudayaannya, jawabnya: “Ya, saya tidak tahu. Pokoknya itu!”

Amat pantas kiranya jika selanjutnya ada pertanyaan apakah pelaku-pelaku seni di Bangkalan paradigma seninya hanya sebatas dalam rangka saja. Sangat tidak berlebihan memang. Bahkan jika ditarik simpulan, justru dari pertanyaan yang boleh jadi dianggap kontroversi inilah para pelaku seni mau membuka diri untuk menjadikannya tantangan menuju pembuktian menempatkan seni ke tatanan yang lebih serius. Sebab di satu sisi paling inti, kreativitas intuitif yang dimiliki, setidaknya oleh pelaku seni diharap tidak mengenyampingkan pentingnya unsur keseriusan dalam menjalani aktivitas seninya. Seperti misal sanggar-sanggar yang ada di Bangkalan lebih berani menyelenggarakan kegiatan-kegiatan ala Komunitas Tera’ Bulân meski dalam ruang lingkup yang lebih kecil dan sederhana. Setidaknya, dari usaha tersebut, akan lahir organisme baru untuk merubah nasib kesenian di Bangkalan menjadi sesuatu yang nantinya layak dikatakan kosmopolit.

 

(3)

Sebagai akhir, perlu diakui memang, secara sadar bahwa Bangkalan bukan Bali, bukan Yogyakarta, bukan Banyuwangi, bukan tanah Sumatra yang telah punya kekuatan budaya. Bahkan daerah-daerah itu tidak hanya pantas disebut sebagai wilayah budaya yang adi luhung saja, tetapi juga sangat pantas disebut wilayah budaya yang adi daya. Tapi sekali lagi, dialektika kita tidak bisa memungkiri adanya satu hal ketika kita semua membicarakan Bangkalan sebagai lanskap budaya Madura. Dengan hati yang jujur, Bangkalan dalam Madura merupakan suatu wilayah yang amat digjaya esensi budayanya. Dan ini menjadi tugas kita melestarikannya, untuk dipertanggungjawabkan.

  

 

* Pimpinan Ketua Komunitas Masyarakat Lumpur Bangkalan, Dosen STKIP PGRI Bangkalan

0 comments:

Posting Komentar