10 Maret 2023

, ,

BLATÈR DAN PROFESOR AISYIYAH: PERJALANAN KATA DAN PEMAHAMAN

Muhri

 

Waktu itu saya masih di UGM belajar ilmu sastra. Seingat saya, itu saat bimbingan sekitar 2008 akhir. Kebetulan saya mengangkat sisi budaya kekerasan dalam sebuah novel tulisan penulis Madura. Dalam bimbingan ada satu simbol kultural yang disebut blatèr. Pembimbing saya seorang Profesor yang pada waktu itu merupakan petinggi Aisyiyah pusat. Organ Muhammadiyah yang mirip Muslimat di NU. Beliau juga terkenal sebagai tokoh feminisme di UGM pada waktu itu. Salah satu tokoh yang saya kagumi dan menginspirasi saya.

Dalam hal klasifikasi, beliau menanyakan golongan-golongan yang berpengaruh di Madura. Saya, dengan yakin, menyebutkan ulama dan blatèr. Kemudian beliau bertanya arti kata blatèr. Saya, waktu itu, menjawab golongan jagoan yang akrab dengan kekerasan. Salah satunya carok.

“Ini menarik. Dalam bahasa Jawa, blatèr itu artinya supel, pandai bergaul.” Kata beliau. Waktu itu, saya belum punya akses pada kamus bahasa Jawa.

Akses terhadap kamus bahasa Jawa pertama kali saya dapat setelah saya menulis kamus bahasa Madura. Kamus online aplikasi dalam situs resmi UGM. Waktu itu sekitar tahun 2015 dengan niat mengembangkan kamus Madura saya yang terbit 2014. Dengan membaca buku ajar Bahasa Madura tingkat SD sampai SMA proyek Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur, saya berusaha mencari padanan kata bahasa Madura yang tidak saya mengerti dalam bahasa Jawa. Waktu itu saya tidak memiliki satu pun kamus bahasa Madura. Ada beberapa kata yang tidak bisa ditelusuri. Meski demikian, saya tetap beruntung. Saya terinspirasi untuk menelusuri bahasa Madura secara diakronis dengan melacak asal kata dalam bahasa lain, baik bahasa serumpun maupun bahasa asing. Mencari etimologi kata dalam bahasa Madura.

Hasil pencarian saya saya konfirmasi lagi setelah saya memiliki kamus Bausastra Jawa dari Balai Bahasa Yogyakarta yang diterbitkan Kanisius. Pada kamus itu blatèr[1] didefinisikan ‘bisa srawungan karo sapa baé’. Mungkin artinya bisa bergaul dengan siapa saja. Definisi ini sesuai dengan kaum blatèr yang memiliki pergaulan luas berkat lembaga yang disebut rèmo yang secara sederhana bisa disebut hajatan atau pesta.

Pada 2020 dan 2021 saya menemukan salinan buku kamus digital berformat PDF. Kamus tersebut ditulis oleh H.N. Kiliaan berjudul Madoereesch-Nederlandsch Woordenboek. Dalam bahasa Indonesia berarti Kamus Madura-Belanda. Saya pun berharap mendapat pengertian kata-kata penting pada masa itu, yaitu tahun terbit kamus 1904 jilid 1 dan 1905 jilid 2. Salah satu kata yang penting itu adalah kata blatèr. Dengan scroll tetikus[2] komputer akhirnya saya sampai pada bagian B. B terdapat pada jilid dua buku tersebut. Sebab, kamus tersebut mengikuti urutan abjad Caraka.

Saya pun mencari dengan hati-hati. Lema demi lema. Dan setelah naik turun berkali-kali, kata blatèr tidak ada pada kamus tersebut. Saya pun menerawang pada kemungkinan-kemungkinan. Kemungkinan pertama menurrut saya waktu itu kealpaan penulis. Yah, mungkin kata ini terlewat. Tapi mengingat detil kamus yang luar biasa, segera saya abaikan kemungkinan ini. Apalagi jika mengingat kata ini begitu penting dalam istilah kultural Madura. Tidak mungkin kata sepenting ini bisa terlupakan. Saya pun mengembara pada kemungkinan-kemungkinan lain. Sampai pada suatu pemikiran. Blatèr tidak dikenal pada waktu itu.

Saya pun mencoba mencari padanan kata ini di Madura bagian timur, yaitu bâjing atau bâjingan.[3] Setelah mencari beberapa detik saya temukan katan bàjing dengan ejaan à bertanda diakritik grave, yaitu tanda coret di atas mengarah ke belakang. Dalam ejaan hari ini sama dengan a tanpa tanda diakritik circumflex (â) yaitu tanda mirip caping di atas. Bentuk turunannya adalah bàjingan. Penemuan kata ini menguatkan asumsi saya yang terakhir bahwa kata blatèr tidak dikenal sebelum abad 20. Entah kapan pastinya.

Yang paling mengherankan dari kata bajingan di atas adalah definisi yang diberikan oleh Kiliaan. Kiliaan tidak mendefinisikan dalam bahasa Belanda. Sebaliknya, ia menuliskan definisi dalam bahasa Madura. Dengan menyesuaikan pada ejaan terbaru saat ini, bajingan didefinisikan sebagai orèng palancongan. Dalam bahasa Belanda orèng palancongan disinonimkan dengan landlooper atau dalam ejaan Belanda saat ini ditulis landloper. Dan definisi ini mengejutkan. Landloper berarti orang yang tidak memiliki tempat tinggal tetap. Bahasa kasarnya gelandangan. Kembali pikiranku menerawang dan berhenti pada Soto Madhurâ[4] dalam orkes Melayu.

Drama ini dimulai dengan lagu “Sanjungan Jiwa” yang dinyanyikan duet oleh tokoh laki-laki dan perempuan. Adegan dimulai dengan saling sapa dan saling hina dengan sengit. Kemudian menjelang akhir keduanya saling tanya nama dan alamat. Belakangan diketahui, berdasarkan cerita, perempuan tersebut adalah istri dari tokoh laki-laki yang telah ditinggal lama merantau. Laki-laki blatèr sampai lupa wajah istrinya karena selalu melancong kemana-mana menjalani hidup sebagai blatèr. Hidup menjadi blatèr disebut ablatèr.

Akhirnya, saya tidak ingin menghadirkan definisi kata blatèr tersebut. Saya hanya ingin bercerita tentang perjalanan kata blatèr dalam perjalanan pemikiran dan keilmuan. Selebihnya, waktu akan berbicara. Waktu juga yang akan menentukan apakah kata blatèr akan tetap hidup, mati, atau tergantikan. Tetap atau berubah.



[1] Tim Balai Bahasa Yogyakarta, Kamus Basa Jawa: Edisi Kedua, (Yogyakarta: Kanisius, 2011) h. 66

[2] Piranti komputer yang dalam bahasa Inggris disebut mouse.

[3] H.N. Kiliaan, Madoereesch-Nederlandsch Woordenboek: Tweede Deel, (Leiden: E.J. Brill, 1905), h. 351

[4] Satu segmen dalam Orkes Melayu Madura yang muncul setelah semua biduan tampil dan sebelum segmen drama

0 comments:

Posting Komentar