Muhri
Ini tentang buku sejarah sastra. Yang telah
terbit Sejarah Ringkas Kesusastraan Indonesia (2014). Sebuah buku ajar Jumlah
halaman 80-an. Sesuai judul. Yang jadi pertanyaan, dari 50-an mata kuliah dari
kurang lebih 8 mata kuliah yang saya ampu, mengapa sejarah sastra? Mengapa
bukan teori sastra, sosiologi sastra, atau yang lain? Dulu mata kuliah ini
salah satu mata kuliah yang “gagal” saya kuasai. Buku saya beli. Sedikit saya
baca. Tetap saja C. Antara 60-69. Tak sampai 70. Ada yang salah?
Jelas tak ada. Tak ada yang salah. Tapi kok
seperti balas dendam kesannya? Dulu gagal sekarang malah nulis buku itu. Ironis,
bukan?
Sejarah sastra terjadwal semester satu dulu.
Anda tahu siapa saya pada semester itu? Kuper, canggung, minder, pasif, dan
segala jenis karakter introvert yang tertutup. Ditambah kenyataan bahwa
saya alumni pesantren yang cenderung mengecilkan pelajaran “umum”. Jelas
kombinasi yang padu untuk menghasilkan nilai tersebut. Namun, tidak semua
benar. Meskipun alumni pesantren dan terobsesi dengan ilmu “agama”, saya tetap
berpikir sebagai manusia dunia yang harus memuat pandangan universal.
Tak hanya itu. Move on. Saya mudah menerima
kenyataan. Kecewa sudah jadi jalan wajib alur pendidikan saya. Dari TK inginnya
ke SDN Langkap 2. Eh malah diplot ke SDN Langkap 4. Selesai SMA maunya mondok. Atau
IAIN? Gagal dua-duanya. Bahkan ke Unibang (sekarang UTM). STKIP PGRI Bangkalan
alternatif terakhir. Tak ada pilihan lain ketika orang tua tak “mengizinkan”.
Biaya. UGM? Juga. Saya lebih suka linguistik. Ternyata, beasiswa S2 guru bahasa
Indonesia diarah-wajibkan masuk ilmu sastra.
Sejak masuk kuliah, saya terinspirasi untuk
selalu membaca. Itu hal lain. Dulu saya rajin beli buku di pasar Minggu. Kami
menyebutnya ahadhân. Lapak-lapak lesehan. Buku umum seperti kamus, rumus
matematika, novel populer karya Fredy S. dan buku lain yang sebenarnya tidak
dibutuhkan. Tak masuk mata pelajaran atau suplemen kecuali kamus dan rumus.
Pada masa kuliah ini saya menemukan tempat untuk mengeksplorasi ilmu. Saya lebih
giat lagi. Tiga buku seminggu. Seingat saya. Ternyata, bisa. Mau apa lagi. Sebagian
besar waktu kosong. Kecuali, tentunya, saat mengajar pagi hari.
Tentu tidak semua dibaca dimengerti. Teori
jejak. Itu yang saya pegang. Memori yang tersembunyi sekalipun akan muncul
kepermukaan jika ada pemantiknya. Seperti menimbun kata-kata,
pernyataan-pernyataan, dan pemahaman yang tertunda. Selain fakta bahwa satu
buku mendukung dan berkait-kelindan dengan buku yang lain. Asal, tentu saja
masih dalam satu frame. Satu bingkai.
Oh ya. Ada lagi. Sosok Pak Suro. Dosen saya
yang masih S1. Hampir semua. Dulu tak masalah. Pada prinsipnya saya berbeda
dengan beliau. Tetap saja ada sesuatu dari beliau yang menginspirasi. Soal keburukan
saya kembalikan pada Tuhan untuk menilai dan menanggapi. Atau menghukum? Yang jelas
kedekatan. Seperti tak ada jarak. Mengobrol santai seperti teman. Tertawa lepas
dalam gurauan. Bagusnya saya santri. Tak ada langka. Meskipun kata ini
problematis. Saat di Barat mendebat guru dengan konsep yang bagus dianggap
keunggulan, di sini itu tak sopan. Absurd bukan?
Satu lagi. Mokong. Dalam konteks
positif. Dilakukannya semua yang dia suka. Bukan dari tekanan, bebas. Jika ingin
mengkaji Madura dikumpulkannya semua buku yang mendukung. Jika ingin sesuatu
dikejarnya. Tak peduli kata siapa. Ini yang saya suka. Orang lain selalu
menjadi racun bahkan pemberat jalan hidup. Yang benar tapi tak jamak dibatalkan
atas nama kata “Apa kata orang?”. Sopan santun yang picik, senyum yang
menyimpan kebencian, ikut atas nama persahabatan terkesan mewakili satu kata.
Munafik.
Narsis. Itu juga salah satunya. Ini bertolak
belakang dengan saya. Paling tidak saya mencoba sedikit menirunya.
Jelas bukan? Move on, inspirasi, dan suka. Itu
sebabnya. Bukan dendam. Selain tiga motif itu? Hanya Tuhan yang lebih tahu.
(Draf)
0 comments:
Posting Komentar