Kecil dulu,
siapa yang akan tahu? Dikenal kritis dan suka mendebat, saya diolok dengan julukan
tokang kritik atau tukang kritik. Julukan yang muncul karena merasa
terganggu dengan tingkah saya yang selalu mendebat pendapat orang meski orang
itu lebih tua. tentu, olok-olok itu menjengkelkan bagi saya.
Dalam pikiran
anak SD yang lugu, saya pikir saya harus bicara sesuai yang ada di kepala. Benar
adalah benar dan harus dibela mati-matian. Tentu dalam pandangan seorang anak
kecil yang berpikir kebenaran hanya dalam kepalanya. Egosentrisme yang masih
kuat.
Baiklah, itu
watak saya. Wajar saya diberi julukan sesuai dengan tingkah laku. Namun, tidak
dengan di pesantren. Tubuh tinggi saya yang tidak jamak pada waktu itu memberi
satu lagi olok-olok. Kompenni. Dengan dua en. Olok-olok itu sebenarnya
disematkan untuk paman saya yang telah ngaji di pesantren sebelumnya. Kami memang
memiliki tinggi lebih dari rata-rata untuk zaman itu. MTs waktu itu. Menyakitkan.
Ingin rasanya mengerutkan badan, mengecil menjadi rata-rata. Tinggi badan saya
waktu itu terasa seperti sebuah kekurangan. Kadang sampai saat ini perasaan itu
masih muncul.
Soal kompenni sebenarnya dalam bahasa lugu orang desa adalah kata lain untuk orang Belanda yang perawakanya lebih tinggi dari ras-ras di Asia. Tentu bukan baca dari bahasa belanda kepanjangan VOC yaitu Vereenigde Oostindische Compagnie yang berarti Serikat Perusahaan Hindia Timur. Akan tetapi, dari film-film pendekar yang bersetting masa kolonial. Barry Prima, George Rudy, dan Advent Bangun adalah aktor-aktor laga ternama pada waktu itu. Dan dalam film-film itu pihak Belanda disebut dengan Kompeni.
Masa gelap itu
sedikit terang ketika saya mulai kursus bahasa Inggris di EQC (English Quick
Course). Habitat saya berpindah dari pesantren ke Masjid Langkap Barat. Kita singkat
MLB. MLB merupakan tempat transit dari Pesantren Timur Duur (PTD) dan EQC. Hal ini
tidak perlu saya ceritakan. Waktu itu menjelang usia SMU.
Sikap kritis
dan suka mendebat rupanya tidak berkurang. Bahkan, makin menjadi karena makin
banyak referensi. Dan julukan teman di MLB untuk saya adalah “dosen”. Tentu dalam
tanda petik.
Masa di masjid
berakhir ketika kuliah di Kampus Jingga. Nama yang diperoleh dari cat gedung
perguruan tinggi di pinggiran kota Bangkalan. Tokang Kritik hilang; Kompenni
hilang; dan Dosèn pun hilang. Senior-senior di kampung telah menyebar
dengan kerja yang sebagian rantau sebagai tukang potong rambut. Sebagian lagi
jadi buruh tani. Masa SD saya telah berlalu lebih 10 tahun. Cukup untuk
menggerus dua kata tersebut dari ingatan mereka.
Kompenni pun hilang sebab saya telah jadi guru di pesantren. Guru bahasa Inggris.
Senior sudah boyong sedang yang sebaya dan yunior segan memanggil dengan
sebutan itu. Berganti selanjutnya dengan “Pak”. Senior pun mulai menyebut nama
bukan lagi julukan.
Dosen? Teman se
masjid telah menyebar mengikuti takdir hidup masing-masing. Ke arab, ke Jakarta,
sebagian di Surabaya. Seorang lagi di kediri ikut kakak perempuannya. Saya yakin
mereka juga sudah lupa dengan julukan itu. Saya akan ceritakan mereka di lain
waktu. Tapi, biarlah saya buka satu rahasia. Kami disebut Grup Klompen.
Waktu terus
belalu. Tuhan selalu memiliki garis lucu yang baru disadari setelah terjadi. Pasca
mendalami sastra di Kampus Bulak Sumur, dengan perantara seorang dosen, saya
mengajar di Kampus Jingga. Olok-olok “dosen” berbuah nyata. Manis. Meski sebentar.
Profesi baru ini memberi peluang membaca karya-karya sastra. Mula-mula Bangkalan
saya ulas. Tokang kritik berbuah nyata. Beberapa penelitian sejarah
sastra Bangkalan dan satu buku Sejarah Ringkas Kesusastraan Bangkalan menegaskan
profesi sebagai tukang kritik. Meski pun amatir tentunya.
Selain ketertarikan
pada sejarah sastra, setelah menerbitkan Kamus Madura Indonesia Kontemporer,
saya sadar kamus ini lemah ketika Mas Adrian Pawitra menerbitkan kamus Madura.
ketertarikan itu saya manifestasi dengan merombak kamus yang saya terbitkan. Dalam
perjalanan pengembangan dunia leksikografis ini, saya berjumpa dengan sebuah
kamus yang ditulis oleh H.N. Kiliaan berjudul Madoereesch-Nederlandsch Woordenboek. Jilid
pertama terbit 1904 dan jilid kedua 1905. Tentu berbahasa Belanda dan terbit
pada masa kolonial. Anda pasti bisa menghubungkan. Kata kompenni mewujud
ketika terpaksa saya harus belajar bahasa Belanda. Dan... Takdir itu lucu
bukan?
0 comments:
Posting Komentar