25 November 2025

,

Laporan Santai Mancing Sastra 57: “Mara Tata Pateppa”

Hari Sabtu, 15 November 2025, cuaca cukup cerah untuk sebuah obrolan sastra. Awalnya, saya dapat undangan lewat WA dari Helmi. Wah, tumben banget pakai undangan resmi dalam bentuk PDF, jadi penasaran deh. Ternyata undangan untuk acara Mancing Sastra yang ke-57, dengan tema bahasa Madura yang keren: Mara Tata Pateppa—yang artinya “mari kita tata dengan benar”.

Acaranya sendiri baru mulai sekitar pukul 16.00. Datanglah beberapa wajah yang sudah nggak asing lagi: dari budayawan senior Bangkalan, Pak Hidrochin Sabarudin, sampai seniman seperti Pak Syahrul Hanafi dan Joko Sucipto. Rozekki, dosen STKIP PGRI Bangkalan, jadi moderatornya. Ramai juga dengan kehadiran mahasiswa dan beberapa guru serta pegiat teater.

Pemateri pertama, Pak Ahmad Faishal (Acong), dosen STKW Surabaya, membuka dengan pembacaan Al-Fatihah untuk Syaikhuna Kholil—dalam momen beliau dapat gelar pahlawan. Lalu, ia mengutip peribahasa Madura: tata, parata, paranta—yang intinya mengajak kita untuk mengatur, meratakan, dan melengkapi sesuatu dengan baik. Dia sedikit gelisah sama pergeseran budaya Madura akhir-akhir ini. Misalnya, orang sekarang lebih kenal Madura dari citra “jamet” atau konten TikTok yang kadang kurang santun. Menurutnya, pemerintah daerah sepertinya kurang memberi ruang untuk budaya. Kalau di tingkat kabupaten nggak ada harapan, ya coba cari peluang dari pusat, misal lewat LPDP. Katanya.

Giliran pemateri kedua, Mas Muhlis—guru, sastrawan, sekaligus peneliti. Dia buka dengan pertanyaan provokatif: “Apa Bangkalan sedang tidak baik-baik saja?” Lalu dia bahas soal gerakan lokal, regional, dan nasional, sambil menyitir Nagarakrtagama dan fenomena proxy war. Yang menarik, dia juga singgung soal Majapahit yang direkonstruksi pakai AI. Keren, tapi… ya gitu, butuh lebih dari sekadar teknologi.

Nah, pas sesi diskusi, saya pun angkat bicara. Saya agak nggak sepakat kalau seniman harus selalu bergantung sama perhatian pemerintah. Menurut saya, gerakan lokal yang fokus justru lebih berdampak. Misalnya, gerakan revitalisasi bahasa Madura yang saya tekuni, atau penelitian sastra lisan sama Muhlis, atau dramaturgi ala Faishal. Gerakan-gerapan kecil seperti gini yang justru membuat fondasi kebudayaan kuat. AI boleh canggih, tapi kalau tidak ada pemahaman detil budaya, ya cuma jadi cangkang kosong. Contohnya, kalau mau dokumentasi rumah adat Madura, foto saja tidak cukup. Perlu naskah akademik yang mendalam, catat filosofi, arsitektur, dan maknanya. Pemerintah? Jangan terlalu berharap. Mereka saja sepertinya tidak punya peta jalan yang jelas untuk pelestarian budaya.

Lalu, Pak Hidrochin Sabarudin menyusul cerita. Beliau ingatkan kita tentang sejarah Bangkalan yang pernah hampir jadi negara bagian zaman Belanda. Beliau juga bercerita soal rencana salah satu bupati yang mau merobohkan Pendopo Agung—padahal itu cagar budaya! Syukur tidak jadi. Beliau ingatkan lagi filosofi alun-alun yang mestinya tanpa pagar. Banyak pelajaran berharga dari beliau.

Acara selesai menjelang magrib. Tapi suasana keakraban tidak berhenti sampai di situ—kami lanjut ngobrol santai.

Semoga Mancing Sastra seperti ini terus berlanjut, bukan hanya sekadar acara, tapi jadi pemantik gerakan-gerakan kecil yang punya dampak besar.

Muhri

0 comments:

Posting Komentar