Hari
Sabtu, 15 November 2025, cuaca cukup cerah untuk sebuah obrolan sastra.
Awalnya, saya dapat undangan lewat WA dari Helmi. Wah, tumben banget pakai
undangan resmi dalam bentuk PDF, jadi penasaran deh. Ternyata undangan untuk
acara Mancing Sastra yang ke-57, dengan tema bahasa Madura
yang keren: Mara Tata Pateppa—yang artinya “mari kita tata dengan
benar”.
Acaranya
sendiri baru mulai sekitar pukul 16.00. Datanglah beberapa wajah yang sudah
nggak asing lagi: dari budayawan senior Bangkalan, Pak Hidrochin Sabarudin,
sampai seniman seperti Pak Syahrul Hanafi dan Joko Sucipto. Rozekki, dosen
STKIP PGRI Bangkalan, jadi moderatornya. Ramai juga dengan kehadiran mahasiswa
dan beberapa guru serta pegiat teater.
Pemateri
pertama, Pak Ahmad Faishal (Acong), dosen STKW Surabaya, membuka dengan
pembacaan Al-Fatihah untuk Syaikhuna Kholil—dalam momen beliau dapat gelar
pahlawan. Lalu, ia mengutip peribahasa Madura: tata, parata, paranta—yang
intinya mengajak kita untuk mengatur, meratakan, dan melengkapi sesuatu dengan
baik. Dia sedikit gelisah sama pergeseran budaya Madura akhir-akhir ini.
Misalnya, orang sekarang lebih kenal Madura dari citra “jamet” atau konten
TikTok yang kadang kurang santun. Menurutnya, pemerintah daerah sepertinya
kurang memberi ruang untuk budaya. Kalau di tingkat kabupaten nggak ada
harapan, ya coba cari peluang dari pusat, misal lewat LPDP. Katanya.
Giliran
pemateri kedua, Mas Muhlis—guru, sastrawan, sekaligus peneliti. Dia buka dengan
pertanyaan provokatif: “Apa Bangkalan sedang tidak baik-baik saja?” Lalu dia
bahas soal gerakan lokal, regional, dan nasional, sambil menyitir
Nagarakrtagama dan fenomena proxy war. Yang menarik, dia juga singgung soal Majapahit
yang direkonstruksi pakai AI. Keren, tapi… ya gitu, butuh lebih dari sekadar
teknologi.
Nah,
pas sesi diskusi, saya pun angkat bicara. Saya agak nggak sepakat kalau seniman
harus selalu bergantung sama perhatian pemerintah. Menurut saya, gerakan lokal
yang fokus justru lebih berdampak. Misalnya, gerakan revitalisasi bahasa Madura
yang saya tekuni, atau penelitian sastra lisan sama Muhlis, atau dramaturgi ala
Faishal. Gerakan-gerapan kecil seperti gini yang justru membuat fondasi
kebudayaan kuat. AI boleh canggih, tapi kalau tidak ada pemahaman detil budaya,
ya cuma jadi cangkang kosong. Contohnya, kalau mau dokumentasi rumah adat
Madura, foto saja tidak cukup. Perlu naskah akademik yang mendalam, catat
filosofi, arsitektur, dan maknanya. Pemerintah? Jangan terlalu berharap. Mereka
saja sepertinya tidak punya peta jalan yang jelas untuk pelestarian budaya.
Lalu,
Pak Hidrochin Sabarudin menyusul cerita. Beliau ingatkan kita tentang sejarah
Bangkalan yang pernah hampir jadi negara bagian zaman Belanda. Beliau juga bercerita
soal rencana salah satu bupati yang mau merobohkan Pendopo Agung—padahal itu
cagar budaya! Syukur tidak jadi. Beliau ingatkan lagi filosofi alun-alun yang
mestinya tanpa pagar. Banyak pelajaran berharga dari beliau.
Acara
selesai menjelang magrib. Tapi suasana keakraban tidak berhenti sampai di
situ—kami lanjut ngobrol santai.
Semoga
Mancing Sastra seperti ini terus berlanjut, bukan hanya sekadar acara, tapi
jadi pemantik gerakan-gerakan kecil yang punya dampak besar.
Muhri
0 comments:
Posting Komentar