03 November 2025

, , ,

MANUSKRIP INDONESIA DAN SUMBER PRIMER YANG TIDAK PERNAH BISA?

 Muhri

Bangkalan, 30 Oktober 2025 – Cahaya pagi menyapa Pendopo Agung Kabupaten Bangkalan, Kamis (30/10), menyambut para tamu undangan yang hadir dalam acara Sosialisasi Pelestarian Naskah Kuno. Acara yang digelar oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (Dispusip) setempat ini mengundang sejumlah akademisi, termasuk saya sendiri, setelah menerima undangan resmi dari Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Pukul 07.00 WIB, saya memulai perjalanan. Dengan perhitungan waktu yang masih longgar sebelum acara pukul 08.00, saya singgah terlebih dahulu di kampus STKIP PGRI Bangkalan untuk menitipkan tas. Akhirnya, saya tiba di lokasi acara pukul 07.46 WIB.

Proses registrasi ternyata masih dilakukan secara manual dengan menulis tangan, meski sebelumnya para peserta telah mengisi daftar hadir secara daring. Di antara para hadirin, tampak sejumlah tokoh seperti R.P. Hamid Mustari dan Hidrochin Sabarudin, serta empat dosen dari STKIP PGRI Bangkalan, termasuk saya sendiri, Junal, Helmi, Roz, dan Mariam.

Sebuah insiden kecil sempat terjadi dan cukup mengesankan. Roz mendapat teguran halus dari seorang sesepuh Bangkalan karena cara mengenakan tongkos (semacam ikat kepala khas Madura) yang agak mendongak. Menurut sang sesepuh, hal itu dianggap sebagai pertanda kesombongan.

Acara baru resmi dibuka oleh Kepala Dispusip pada pukul 09.30 WIB. Terlihat jelas bahwa meski seluruh panitia telah hadir sebelum pukul 08.00, partisipasi peserta, terutama dari kalangan mahasiswa, masih sangat kurang. Sebuah pemandangan yang memprihatinkan.

Setelah seremonial pembukaan dan doa, acara inti berupa sosialisasi pun dimulai dengan format Focus Group Discussion (FGD). Dua pemateri, Muhaimin dan seorang pejabat perpustakaan dari Jawa Timur, memaparkan materinya. Muhaimin banyak menjelaskan tentang naskah kuno sebagai sumber primer sejarah.

Di sinilah letak kritiknya. Saya, secara pribadi, tidak sepenuhnya sepaham. Realitasnya, mayoritas naskah Indonesia tidak ditulis sezaman dengan peristiwa yang diceritakannya. Sering terjadi miskonsepsi di sini. Yang dimaksud naskah sezaman adalah naskah arketip (naskah asli pertama), bukan salinannya. Faktanya, hampir mustahil menemukan naskah arketip yang masih utuh hingga kini. Kesalahpahaman inilah yang kemudian kerap memicu polemik, seperti yang terjadi dalam perdebatan nasab belakangan ini.

Lantas, mengapa naskah Indonesia sulit dikategorikan sebagai sumber primer sejarah? Jawabannya karena sebagian besar naskah ditulis jauh setelah peristiwa berlalu. Bandingkan dengan, misalnya, manuskrip perjalanan Ibnu Battuta berjudul Tuhfatun-Nuzzar fi Gharai'bil-Amsar wa 'Aja'ib-il-Asfar. Naskah tersebut ditulis oleh Ibnu Juzayy al-Kalbi berdasarkan dikte langsung Ibnu Battuta sendiri, sehingga nilai keotentikannya sangat tinggi.

Di Nusantara, kita mengenal Kerajaan Kutai yang bukti sejarahnya berupa prasasti Yupa. Bukti serupa juga ditemukan pada prasasti-prasasti dari Kerajaan Tarumanagara yang sezaman, lengkap dengan penyebutan nama raja. Selain itu, catatan perjalanan musafir China, Fa Hsien, juga menjadi sumber primer yang tak ternilai. Sayangnya, diskusi mendalam seperti ini sulit dielaborasi dalam forum formal yang serba terbatas waktu.

Acara pun berakhir sekitar pukul 12.00 siang, meninggalkan renungan tentang pentingnya pemahaman kritis terhadap naskah kuno, bukan hanya sekadar pelestarian fisiknya, tetapi juga keotentikan dan konteks penciptaannya.

0 comments:

Posting Komentar