Muhri
Bangkalan,
30 Oktober 2025 – Cahaya pagi menyapa Pendopo Agung Kabupaten Bangkalan, Kamis
(30/10), menyambut para tamu undangan yang hadir dalam acara Sosialisasi
Pelestarian Naskah Kuno. Acara yang digelar oleh Dinas Perpustakaan dan
Kearsipan (Dispusip) setempat ini mengundang sejumlah akademisi, termasuk saya
sendiri, setelah menerima undangan resmi dari Ketua Program Studi Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia.
Pukul
07.00 WIB, saya memulai perjalanan. Dengan perhitungan waktu yang masih longgar
sebelum acara pukul 08.00, saya singgah terlebih dahulu di kampus STKIP PGRI
Bangkalan untuk menitipkan tas. Akhirnya, saya tiba di lokasi acara pukul 07.46
WIB.
Proses
registrasi ternyata masih dilakukan secara manual dengan menulis tangan, meski
sebelumnya para peserta telah mengisi daftar hadir secara daring. Di antara
para hadirin, tampak sejumlah tokoh seperti R.P. Hamid Mustari dan Hidrochin
Sabarudin, serta empat dosen dari STKIP PGRI Bangkalan, termasuk saya sendiri,
Junal, Helmi, Roz, dan Mariam.
Sebuah
insiden kecil sempat terjadi dan cukup mengesankan. Roz mendapat teguran halus
dari seorang sesepuh Bangkalan karena cara mengenakan tongkos (semacam ikat
kepala khas Madura) yang agak mendongak. Menurut sang sesepuh, hal itu dianggap
sebagai pertanda kesombongan.
Acara
baru resmi dibuka oleh Kepala Dispusip pada pukul 09.30 WIB. Terlihat jelas
bahwa meski seluruh panitia telah hadir sebelum pukul 08.00, partisipasi
peserta, terutama dari kalangan mahasiswa, masih sangat kurang. Sebuah
pemandangan yang memprihatinkan.
Setelah
seremonial pembukaan dan doa, acara inti berupa sosialisasi pun dimulai dengan
format Focus Group Discussion (FGD). Dua pemateri, Muhaimin dan seorang pejabat
perpustakaan dari Jawa Timur, memaparkan materinya. Muhaimin banyak menjelaskan
tentang naskah kuno sebagai sumber primer sejarah.
Di
sinilah letak kritiknya. Saya, secara pribadi, tidak sepenuhnya sepaham.
Realitasnya, mayoritas naskah Indonesia tidak ditulis sezaman dengan peristiwa
yang diceritakannya. Sering terjadi miskonsepsi di sini. Yang dimaksud naskah
sezaman adalah naskah arketip (naskah asli pertama), bukan salinannya.
Faktanya, hampir mustahil menemukan naskah arketip yang masih utuh hingga kini.
Kesalahpahaman inilah yang kemudian kerap memicu polemik, seperti yang terjadi
dalam perdebatan nasab belakangan ini.
Lantas,
mengapa naskah Indonesia sulit dikategorikan sebagai sumber primer sejarah?
Jawabannya karena sebagian besar naskah ditulis jauh setelah peristiwa berlalu.
Bandingkan dengan, misalnya, manuskrip perjalanan Ibnu Battuta berjudul Tuhfatun-Nuzzar
fi Gharai'bil-Amsar wa 'Aja'ib-il-Asfar. Naskah tersebut ditulis oleh Ibnu
Juzayy al-Kalbi berdasarkan dikte langsung Ibnu Battuta sendiri, sehingga
nilai keotentikannya sangat tinggi.
Di
Nusantara, kita mengenal Kerajaan Kutai yang bukti sejarahnya berupa prasasti
Yupa. Bukti serupa juga ditemukan pada prasasti-prasasti dari Kerajaan
Tarumanagara yang sezaman, lengkap dengan penyebutan nama raja. Selain itu,
catatan perjalanan musafir China, Fa Hsien, juga menjadi sumber primer yang tak
ternilai. Sayangnya, diskusi mendalam seperti ini sulit dielaborasi dalam forum
formal yang serba terbatas waktu.
Acara
pun berakhir sekitar pukul 12.00 siang, meninggalkan renungan tentang
pentingnya pemahaman kritis terhadap naskah kuno, bukan hanya sekadar
pelestarian fisiknya, tetapi juga keotentikan dan konteks penciptaannya.
0 comments:
Posting Komentar