13 Oktober 2025

, ,

TER-ATER BUKAN SEKEDAR BERTUKAR MAKANAN

Muhri

 

Di tengah gempuran modernisasi yang kian mengglobal, banyak tradisi lokal terancam kehilangan makna aslinya. Masyarakat perkotaan yang individualis dan serba cepat seringkali menganggap praktik-praktik budaya warisan leluhur sebagai sesuatu yang ketinggalan zaman dan tidak efisien. Salah satunya adalah ter-ater, sebuah kebiasaan masyarakat Madura yang sering dianggap sekadar aktivitas bertukar makanan. Padahal, jika ditelisik lebih dalam, ter-ater menyimpan nilai-nilai luhur yang justru relevan dengan kehidupan masa kini—terutama dalam menjaga ikatan kemanusiaan di tengah arus individualisme yang kian menggerus rasa kebersamaan.

Secara fisik, ter-ater tampak sederhana: sebungkus nasi atau ketupat dengan lauk, biasanya ayam, yang dikirimkan kepada kerabat atau tetangga pada momen-momen penting seperti Ramadan, Idulfitri, atau hari besar lainnya. Di masa lalu, hidangan semacam itu adalah kemewahan. Sebungkus nasi dengan lauk ayam merupakan simbol kemurahan hati dan kepedulian, karena tidak setiap keluarga mampu menyajikannya setiap hari. Kini, ketika ayam dan nasi mudah didapat, muncul anggapan bahwa ter-ater sudah tidak lagi bermakna—hanya sekadar rutinitas yang merepotkan. "Saya punya, dia punya. Buat apa saling antar?" begitulah kira-kira celoteh manusia modern terhadap tradisi ini. Mereka melihatnya sebagai pertukaran barang yang redundant, tidak menciptakan nilai tambah secara ekonomi.

Namun, anggapan itu mengabaikan esensi ter-ater yang sesungguhnya, yang justru terletak pada dimensi sosial dan spiritualnya, bukan pada nilai materialnya. Pertama, ter-ater adalah bentuk nyata dari sedekah. Meski terlihat seperti pertukaran, ia dilatari oleh keikhlasan memberi. Dalam perspektif agama, niat memberi dan mempererat tali silaturahmi inilah yang menjadi landasan utama. Menghilangkan tradisi ini sama saja dengan mengikis kebiasaan berbagi yang diajarkan agama dan budaya. Meskipun terlihat seperti pekerjaan sia-sia di mata yang hanya menghitung untung-rugi material, nyatanya tindakan ini tetap dinilai sebagai sedekah yang berpahala. Ia melatih jiwa untuk terbiasa memberi, bukan hanya ketika berlebih, tetapi sebagai bagian dari identitas kultural.

Kedua, ter-ater berfungsi sebagai jembatan silaturahmi yang efektif. Ia menjadi sarana untuk memperbarui hubungan yang mungkin renggang karena jarak atau kesibukan. Saat seorang anak perempuan mengantarkan ter-ater kepada kakek-nenek atau pamannya yang tinggal berjauhan, momen itu menjadi kesempatan emas untuk bertukar cerita, menyampaikan kabar, mengenal kerabat sesama muda, dan menguatkan kembali ikatan yang hampir pudar. Dalam masyarakat modern yang serba sibuk, kesempatan untuk bertemu dan berbincang secara langsung seringkali terlewatkan. Ter-ater memaksa untuk meluangkan waktu, menjembatani kesenjangan generasi, dan mengingatkan bahwa ada jaringan kekerabatan yang perlu terus dipupuk. Ia adalah mekanisme sosial yang menjaga kohesi komunitas dari waktu ke waktu.

Ketiga, ter-ater adalah media pendidikan moral bagi generasi muda. Melalui tradisi ini, anak-anak dan remaja diajarkan untuk menghormati orang yang lebih tua, mengenal silsilah keluarga, dan memahami pentingnya jaringan kekerabatan. Proses mengantarkan ter-ater tidak hanya tentang memberi makanan, tetapi juga tentang membangun relasi dan identitas budaya. Mereka belajar tata krama, cara berbicara dengan orang yang lebih tua, dan rasa tanggung jawab terhadap keluarga besar. Dalam masyarakat yang kian terfragmentasi, peran ter-ater sebagai "sekolah moral" non-formal ini menjadi semakin krusial.

Filosofi Madura pun mengingatkan kita betapa berharganya tradisi ini melalui ungkapan "èlang nasè' sapeṭṭok"—hilang seonggok nasi. Yang hilang hakikatnya bukan nasinya, tetapi keakraban dan ikatan kekeluargaan. Hilangnya satu bungkusan ter-ater bisa berarti hilangnya satu kesempatan untuk merajut kembali hubungan yang hampir putus. "Sebenarnya Ahmad itu masih saudara dengan kami. Kakeknya dan kakek kami saudara kandung. Sayangnya, kita tidak akrab karena jarang bertemu." Ungkapan tersebut menjelaskan peribahasa dengan lebih kontekstual: yang pudar bukan hanya tradisi, tetapi ingatan kolektif dan rasa saling memiliki.

Oleh karena itu, ter-ater harus dipandang lebih dari sekadar bungkusan nasi dan lauk. Ia adalah simbol kepedulian, perekat persaudaraan, dan penjaga identitas budaya Madura yang menjunjung tinggi nilai kebersamaan. Di setiap bungkusnya, tersimpan bukan hanya makanan yang mengenyangkan perut, tetapi juga "makanan jiwa" yang dipenuhi silaturahmi dan kasih sayang. Ia adalah representasi dari cara masyarakat Madura memaknai hidup: bahwa kebahagiaan tidak terletak pada apa yang kita simpan, tetapi pada apa yang kita berikan.

Di era yang kian individualistis, justru tradisi seperti ter-ater-lah yang dibutuhkan—untuk mengingatkan bahwa kemanusiaan tak pernah bisa digantikan oleh kemajuan materi. Melestarikannya berarti menjaga salah satu warisan terindah dari leluhur: bahwa berbagi bukanlah sekadar ritual, melainkan napas dari kehidupan bermasyarakat. Dalam setiap bungkusan ter-ater, terkandung pesan abadi bahwa kita adalah bagian dari jaringan hubungan yang lebih besar, dan bahwa kepedulianlah yang membuat kita tetap manusiawi.

Continue reading TER-ATER BUKAN SEKEDAR BERTUKAR MAKANAN