Muhri
Di tengah gempuran modernisasi yang kian mengglobal,
banyak tradisi lokal terancam kehilangan makna aslinya. Masyarakat perkotaan
yang individualis dan serba cepat seringkali menganggap praktik-praktik budaya
warisan leluhur sebagai sesuatu yang ketinggalan zaman dan tidak efisien. Salah
satunya adalah ter-ater, sebuah kebiasaan masyarakat Madura yang sering
dianggap sekadar aktivitas bertukar makanan. Padahal, jika ditelisik lebih
dalam, ter-ater menyimpan nilai-nilai luhur yang justru relevan dengan
kehidupan masa kini—terutama dalam menjaga ikatan kemanusiaan di tengah arus
individualisme yang kian menggerus rasa kebersamaan.
Secara fisik, ter-ater tampak sederhana: sebungkus
nasi atau ketupat dengan lauk, biasanya ayam, yang dikirimkan kepada kerabat
atau tetangga pada momen-momen penting seperti Ramadan, Idulfitri, atau hari
besar lainnya. Di masa lalu, hidangan semacam itu adalah kemewahan. Sebungkus
nasi dengan lauk ayam merupakan simbol kemurahan hati dan kepedulian, karena
tidak setiap keluarga mampu menyajikannya setiap hari. Kini, ketika ayam dan
nasi mudah didapat, muncul anggapan bahwa ter-ater sudah tidak lagi
bermakna—hanya sekadar rutinitas yang merepotkan. "Saya punya, dia punya.
Buat apa saling antar?" begitulah kira-kira celoteh manusia modern
terhadap tradisi ini. Mereka melihatnya sebagai pertukaran barang yang redundant,
tidak menciptakan nilai tambah secara ekonomi.
Namun, anggapan itu mengabaikan esensi ter-ater
yang sesungguhnya, yang justru terletak pada dimensi sosial dan spiritualnya,
bukan pada nilai materialnya. Pertama, ter-ater adalah bentuk
nyata dari sedekah. Meski terlihat seperti pertukaran, ia dilatari oleh
keikhlasan memberi. Dalam perspektif agama, niat memberi dan mempererat tali
silaturahmi inilah yang menjadi landasan utama. Menghilangkan tradisi ini sama
saja dengan mengikis kebiasaan berbagi yang diajarkan agama dan budaya.
Meskipun terlihat seperti pekerjaan sia-sia di mata yang hanya menghitung
untung-rugi material, nyatanya tindakan ini tetap dinilai sebagai sedekah yang
berpahala. Ia melatih jiwa untuk terbiasa memberi, bukan hanya ketika berlebih,
tetapi sebagai bagian dari identitas kultural.
Kedua, ter-ater berfungsi
sebagai jembatan silaturahmi yang efektif. Ia menjadi sarana untuk memperbarui
hubungan yang mungkin renggang karena jarak atau kesibukan. Saat seorang anak
perempuan mengantarkan ter-ater kepada kakek-nenek atau pamannya yang
tinggal berjauhan, momen itu menjadi kesempatan emas untuk bertukar cerita,
menyampaikan kabar, mengenal kerabat sesama muda, dan menguatkan kembali ikatan
yang hampir pudar. Dalam masyarakat modern yang serba sibuk, kesempatan untuk
bertemu dan berbincang secara langsung seringkali terlewatkan. Ter-ater
memaksa untuk meluangkan waktu, menjembatani kesenjangan generasi, dan
mengingatkan bahwa ada jaringan kekerabatan yang perlu terus dipupuk. Ia adalah
mekanisme sosial yang menjaga kohesi komunitas dari waktu ke waktu.
Ketiga, ter-ater adalah media
pendidikan moral bagi generasi muda. Melalui tradisi ini, anak-anak dan remaja
diajarkan untuk menghormati orang yang lebih tua, mengenal silsilah keluarga,
dan memahami pentingnya jaringan kekerabatan. Proses mengantarkan ter-ater
tidak hanya tentang memberi makanan, tetapi juga tentang membangun relasi dan
identitas budaya. Mereka belajar tata krama, cara berbicara dengan orang yang
lebih tua, dan rasa tanggung jawab terhadap keluarga besar. Dalam masyarakat
yang kian terfragmentasi, peran ter-ater sebagai "sekolah
moral" non-formal ini menjadi semakin krusial.
Filosofi Madura pun mengingatkan kita betapa berharganya
tradisi ini melalui ungkapan "èlang nasè' sapeṭṭok"—hilang seonggok
nasi. Yang hilang hakikatnya bukan nasinya, tetapi keakraban dan ikatan
kekeluargaan. Hilangnya satu bungkusan ter-ater bisa berarti hilangnya
satu kesempatan untuk merajut kembali hubungan yang hampir putus.
"Sebenarnya Ahmad itu masih saudara dengan kami. Kakeknya dan kakek kami
saudara kandung. Sayangnya, kita tidak akrab karena jarang bertemu."
Ungkapan tersebut menjelaskan peribahasa dengan lebih kontekstual: yang pudar
bukan hanya tradisi, tetapi ingatan kolektif dan rasa saling memiliki.
Oleh karena itu, ter-ater harus dipandang lebih
dari sekadar bungkusan nasi dan lauk. Ia adalah simbol kepedulian, perekat
persaudaraan, dan penjaga identitas budaya Madura yang menjunjung tinggi nilai
kebersamaan. Di setiap bungkusnya, tersimpan bukan hanya makanan yang mengenyangkan
perut, tetapi juga "makanan jiwa" yang dipenuhi silaturahmi dan kasih
sayang. Ia adalah representasi dari cara masyarakat Madura memaknai hidup:
bahwa kebahagiaan tidak terletak pada apa yang kita simpan, tetapi pada apa
yang kita berikan.
Di era yang kian individualistis, justru tradisi seperti ter-ater-lah
yang dibutuhkan—untuk mengingatkan bahwa kemanusiaan tak pernah bisa digantikan
oleh kemajuan materi. Melestarikannya berarti menjaga salah satu warisan
terindah dari leluhur: bahwa berbagi bukanlah sekadar ritual, melainkan napas
dari kehidupan bermasyarakat. Dalam setiap bungkusan ter-ater,
terkandung pesan abadi bahwa kita adalah bagian dari jaringan hubungan yang
lebih besar, dan bahwa kepedulianlah yang membuat kita tetap manusiawi.