12 Mei 2025

, ,

AUTOBIOGRAFI DRAMATIK: SEBUAH MULA DAN KEMUDIAN

M. Helmy Prasetya[1]

Pada awalnya saya mengenal sastra secara tak terduga. Bahkan saya tidak berpikir sedang menyukai sastra atau tidak. Di masa awal (ketika duduk di bangku SMA), saya gemar menulis apa saja dengan maksud sebagai komunikasi bebas. Baik untuk keluarga, guru, untuk teman, ke karib-karib yang lain, termasuk juga ke pacar. Saya lebih memilih memberi tulisan pada secarik kertas atau benda-benda yang bisa ditulis untuk disampaikan kepada orang lain, sebagai maksud tujuan bercakap. Kegiatan menulis di masa itu dan begitu sungguh mengasyikkan. Tidak seperti sekarang yang sudah beralih ke metode “ketik” langsung.

 

ilustrasi dari Designer AI

Tahun 2002 boleh dibilang sudah cukup aktif bersastra. Sejumlah puisi dan naskah drama lumayan banyak saya buat. Tapi pada tahun itu saya mendapatkan penolakan dari keluarga. Puisi-puisi yang saya tulis, naskah drama yang saya buat, suatu hari dirampas dan dihamburkan di hadapan saya yang tertunduk di atas kursi. Dihamburkan dengan nada “mengejek”: (tak perlu saya tulis bagian ini, karena memang menyakitkan). Sastra tak mendapat tempat dalam keluarga saya.

Tapi dari sanalah kemantapan proses menulis saya bermula. Mantap sebagai karya tentunya. Menekuninya, serius. Tak adanya dukungan dari keluarga, karena orang tua memang tak tamat SD bukan jadi penghambat. Justru menjadi poin tersendiri bagi saya, hingga akhirnya berjalan bersama waktu saya makin ketagihan membuat tulisan. Apalagi aktivitas di luar keluarga membuat saya terdukung untuk terus aktif dalam menulis.

Mundur sedikit sebelum tahun 2002. Selepas SMA tahun 1996, saya langsung diposisikan sebagai pelatih Sanggar Teater Mutiara SMAN 3 Bangkalan oleh situasi. Di tempat itu, keberangkatan terkuat berada. Selaku pelatih tentu dituntut kreatif agar aktivitas sanggar jadi berjalan. Untuk pengembangan ke arah sana, tak ada tempat yang bisa dijadikan rujukan pembelajaran. Tak ada, selain segala yang diupayakan langsung dari pengalaman diri sendiri. Maka aktivitas yang berjalan tiada lain hanya materi-materi yang meminta anggota untuk menulis puisi yang kemudian dibacakan dan dikumpulkan. Juga membuat naskah drama lalu dipentaskan, dan lain-lain. Seperti itu terus berlanjut berbulan-bulan lamanya.

Keadaan tersebut di satu sisi makin giat membuat saya suka menulis. Di sisi lain saya berjumpa dengan tokoh dan pokok yang menawarkan beragam sumber. Seperti puisi-puisi Chairil Anwar yang tak bisa dipungkiri ada dalam pelajaran sekolah, seperti Rendra dan bengkel teaternya, seperti Majalah Horison yang berisi karya-karya sastra yang diakui keagungannya, rubrik sastra Jawa Pos, buku puisi Asmaradana karya Goenawan Mohamad, juga Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono, hingga satu novel dari tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Bumi Manusia. Termasuk bertemu langsung dengan seorang penyair dari Padang, Agus Hernawan.

Ajaib sekali saya menemukan referensi-referensi itu. Semua saya dapat bukan dari latar pendidikan. Karena selepas SMA saya tak langsung melanjutkan kuliah, justru aktif sibuk dengan urusan sanggar sebagai pengisi waktu selama menganggur. Saya peroleh semua itu dari gesekan-gesekan yang terjadi di ruang sanggar/komunitas yang saya kelola. Termasuk juga dukungan pembina sanggar yang kala itu dijabat oleh Bapak Sunar Dwigjo Wahono yang gemar meminjami saya buku-buku sastra untuk dibaca. Sangat diingat adalah buku Linus Suryadi AG yang berjudul Pengakuan Pariyem dan sejumlah buku karya Putu Wijaya.

Dari tahun ke tahun saya makin tertarik ke dunia sastra. Saya dirikan kemudian kelompok teater bernama Ndase, sebuah sanggar yang bergerak di bidang teater dan sastra sekaligus. Menghasilkan antologi puisi bersama berupa manuskrip berjudul “Nyanyian Tanah Kering” yang menampung penulis-penulis muda Bangkalan di masa itu. Pertemuan dengan Lingkar Sastra Junok juga adalah spirit lain yang sedikit banyak membawa gairah. Di kelompok sastra yang bermarkas di Junok itu ruang apresiasi terkait sastra kerap saya temui. Dialektika tumbuh dan keseriusan makin berkembang walau pada akhirnya segala isi waktu pecah dan menjadi masing-masing.

Namun hal yang paling menentukan untuk serius menulis, sebenarnya berangkat dari kegelisahan-kegelisan pribadi saya yang datang dari lingkungan yang buruk. Katakanlah pengalaman buruk. Misalnya pada masa 1997 hingga 1998, terdapat situasi yang hingga hari ini membekas di ingatan. Puncaknya tahun 2001.

Pertama adalah perasaan lelah menjadi diri sendiri yang kala itu menjalani masa-masa tak berbobot: bekerja sebagai buruh pabrik kayu di Margomulyo Surabaya, jadi kernet truk kayu jurusan Sampang Banyuwangi, menjadi tukang cuci mobil di Banyuates dengan upah ala kadarnya, menjadi penjaja kue dari toko ke toko dengan berjalan kaki hampir di seluruh kecamatan bagian barat Bangkalan, menjadi kuli bangunan di Rungkut Surabaya, dan semacamnya.

Kedua lebih ke faktor ekternal, yakni matinya aktivitas kesenian di Bangkalan, khususnya teater dan sastra diakibatkan tragedi yang menimpa sebuah sanggar sekolah yang tengah melakukan latihan alam di Pantai Siring Kemuning, Tanjungbumi, Bangkalan. Kala itu 9 siswa anggota teater tewas setelah menceburkan diri ke pantai untuk melakukan latihan alam. Pada peristiwa itu 1 orang hingga kini tak ditemukan jasadnya. Adik saya, adalah salah satu korban yang selamat namun mengalami trauma hingga berbulan-bulan. Tak mau bicara, enggan makan, dan hanya menangis tersedu-sedu. Parahnya lagi, setelah kejadian itu teater dan sastra di Bangkalan menjadi sangat menyedihkan, amat sepi, begitu menakutkan, ditolak dan dijauhi masyarakat.

Ketiga adalah masa saat Madura mati lampu hingga 3 bulan lamanya. Mati lampu dengan segala desas-desus yang meresahkan masyarakat. Momen ini juga dibarengi dengan isu ninja (santet yang mewabah). Tak ada aktivitas yang terjadi, selain pada setiap malam para lelaki menenteng celurit ke sana-sini. Siap menebas siapa saja yang mencurigakan.

Keempat adalah datangnya reformasi yang menegaskan suasana politik negeri yang hancur. Krisis moneter menjadi makin ruwet dan tak menjelaskan. Masa di mana saya dalam beberapa waktu ditolak melamar kerja.

Lalu yang kelima adalah konflik Madura Dayak tahun 2001. Peristiwa yang amat mengerikan tersaji. Betapa tidak, hampir sepanjang malam kala itu, saya berdiam diri sendirian di rumah. Sementara keluarga oleh pemeritah harus diungsikan ke Batuporon Kamal demi keamanan. Keluarga saya mengungsi, karena semua tahu, saya dan keluarga saya adalah orang Kalimantan, pendatang, bukan orang Madura.

Hal-hal di atas itulah yang membawa pengaruh terhadap diri saya untuk serius dalam menulis. Saya akui dari sanalah ide-ide berkarya muncul. Sebenarnya bukan karya barangkali, mungkin refleks emosi diri saja, karena lebih pada gerutu atau makian yang benar-benar ingin saya tumpahkan. Baik berupa puisi atau naskah-naskah drama. Walau pada dasarnya, segala yang saya tulis itu kerap bernada penyayangan semata, yang seolah bertanya “mengapa, mengapa, mengapa semua itu terjadi?”

Maka tak heran, berselang beberapa tahun kemudian sejumlah tulisan dapat saya kumpulkan, antara lain “Goresan Babat Kehidupan”, “Sampah Bicara Sejarah Hari ini”, “Sajak untuk Pacar Gelapku Roro”, “Lelaki Senja”, dan naskah teater berjudul “Insulinde” serta “Jalan ke Langit”. Puncaknya terbit buku puisi yang saya beri judul “Antologi Cinta”.

Tulisan-tulisan awal saya tersebut, sebenarnya adalah bagian yang lebih saya perhitungkan ketimbang karya-karya yang saya tulis akhir-akhir ini. Perannya jelas, karena tanpa tulisan-tulisan saya yang terdahulu, tak mungkin rasanya bakal lahir karya-karya lain yang saya buat, bahkan sampai hari ini. Selain disebabkan juga oleh peristiwa seperti yang saya maksudkan di paragraf kedua. Secara kualitas barangkali patut dipertanyakan, barangkali jelek, namun bagi saya itu tak penting dan tak terlalu saya risaukan.

Kualitas karya sejauh ini memang tak menjadi pengganggu. Saya percaya fenomena objektif pembaca. Ketika ditanya mana karya yang dianggap fenomenal? Tentu saya akan menunjuk tulisan-tulisan yang saya buat pada masa awal. Tak ada yang spesifik. Alasannya jelas. Sudah terpapar. Karena lagi, tujuan saya menulis juga tidak mencari kualitas atau ujung-ujungnya ingin terkenal dan disebut sastrawan. Tidak. Bahkan tidak sama sekali. Ada hal dan ruang yang membuat saya sedikit tahu diri. Walau pada perkembangannya, proses kreatif menulis yang saya lalui akhirnya berpapas dengan sistem yang di dalamnya terdapat perspektif kualitas seperti tergabungnya saya di Antologi Puisi Penyair Mutakhir Jawa Timur edisi Festival Seni Surabaya tahun 2004 yang dikuratori W Haryanto. Atau pada tahun berikutnya, tahun 2005, R. Giryadi yang memuat 5 puisi saya di Surabaya Post.

Saya tidak terlalu gembira dengan hal itu. Entah apa sebabnya. Mungkin karena belum ada di pikiran saya untuk berfokus bagaimana menulis karya sastra yang baik dan benar. Belum ada hal itu, belum saya rasakan yang begitu. Saya menulis, lebih banyak terjadi pada suatu keadaan langsung. Seperti pentas drama 1 babak. Misalnya sebagai contoh puisi berjudul “Di Atas Selat Madura” (2001), yang dimuat di Antologi Puisi Penyair Mutakhir Jawa Timur, yang disebut-sebut oleh pihak kurator seperti sebuah sajak yang ditulis seorang penyair besar, adalah puisi yang langsung jadi ketika itu. Saya buat puisi itu kala sedang duduk di atas kapal penyeberangan Ujung Surabaya menuju Dermaga Kamal, melihat sekitar, memandang keadaan, merasakan yang terjadi, lalu menuangkannya ke dalam kertas. Tak ada editan seperti yang kerap terjadi pada proses kreatif menulis zaman sekarang.

 

Kadang kapal yang berlabuh

kita sebut cerita

Di atasnya kita tandai pula

seindah kita bayangkan

: air berkelok, suara mesin kapal,

gambar orang-orang menangis

telah mengantarkan kita pada sebuah

kenangan masa datang

 

(“Di Atas Selat Madura”, Antologi Cinta, hlm. 21)

 

Itulah puisi yang saya maksud. Puisi yang saya tulis sebelum memutuskan untuk kuliah di tahun itu juga. Tepatnya bulan September 2001, mengambil jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Sebuah jurusan yang mempertemukan saya dengan seabrek teori sastra, aturan kebahasaan, kritik sastra dan semacamnya. Saya bersyukur lebih dahulu dipertemukan dengan proses kreatif menulis langsung, bukan dengan aturan atau tata cara menulis yang baik dan benar seperti yang diajarkan di bangku kuliah.

Lantas, seperti apakah karya-karya yang ditulis setelah mengeyam pendidikan di jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia? Adakah pengaruh yang merubah? Tentu, dan boleh saya tegaskan bahwa pengaruhnya lebih pada pilihan-pilihan suatu kondisi bagaimana memanajemen karya. Bukan pada keberlangsungan penciptaan karya. Misalnya lebih mengerti menempatkan karya berdasarkan aspek tematik, sehingga muncul antologi puisi “Sajak Tuhan”, Ollesia, Sepasang Mata Ayu, Tamasya Celurit Minor, Antropologi Hilang, Mendapat Pelajaran dari Buku, dan lain-lain. Beberapa pengantologian puisi yang arahnya lebih pada strategi agar tercipta lingkungan sastra yang kondusif, hidup, dan makin banyak diminati.

Menyeringkan agenda diskusi sastra juga merupakan pengaruh dari faktor pendidikan yang saya jalani. Muncul beberapa gerakan sastra seperti berdirinya Komunitas Masyarakat Lumpur bersama Rozekki, Bangkalan Membaca bersama Ahmad Faishal (Acong), Festival Puisi Bangkalan bersama Buyung Pambudi, Mancing Sastra bersama Joko Sucipto, Baca Puisi Na’kana’ Bhângkalan bersama Muzammil Frasdia, dan gerakan-gerakan memasukkan sastra ke dalam ruang seni rupa bernama Manifesto Idiot bersama Anwar Sadat, merupakan pengaruh dari aktivitas saya selama mengeyam pendidikan hingga menjadi tenaga pengajar di sebuah perguruan tinggi. Dan semua itu, berdampak positif mengingat perkembangan sastra di Bangkalan dari tahun ke tahun mengalami perkembangan luas dan asyik.

Barangkali, melewati itu semua, di aspek pendidikan, boleh jadi tipikal saya dalam menulis menjadi bergeser. Tapi sekali lagi, bergeser atau tidak, tak pernah saya perhatikan. Sebab, tanpa saya sadari. Kemudian pelan-pelan saya sadari, ada prinsip-prinsip yang tak bisa saya ubah dalam menuliskan karya sejak dari awal. Misalnya, berpikir untuk apa saya menulis, untuk siapa saya menulis, tak pernah saya pertanyakan itu. Saya meyakini saja, bahwa suatu saat, apa saja yang saya tulis, jadi karya sastra atau bukan, kelak pasti akan berguna.

Mungkin karena alasan tersebut, perlu saya akui, saya termasuk orang yang enggan mengirim karya ke media dalam rangka apa pun. Ada perasaan yang tak bebas, ada penghimpitan, ada yang tak dapat digapai, ada kejujuran yang hilang. Jika di suatu waktu saya ketahuan mengirimkan karya, hitunglah itu berangkat dari keterpaksaan yang tak bisa saya jelaskan di ruang ini.

Artinya, proses kreatif menulis yang saya jalani bukan ingin menyergap pengakuan, terkenal, dan dapat hasil dari itu. Tapi lebih sebagai sebuah jalan alternatif agar saya tetap bisa bertahan di ruang hidup yang kian hari makin gelap dan hancur bentuknya. Saya percaya, jalan sastra bisa menyelamatkan ketakberesan hidup saya. Jadi penuntun bagi saya mengarungi panjangnya ketiadaan.

Beruntung, pada suatu waktu saya dapat berjumpa langsung dengan KH. Mustafa Bisri di acara Muktamar Sastra 2018 di Sukorejo, Situbondo. Kesempatan yang indah, karena dari beliau saya mendapatkan pernyataan penting yang hingga kini tetap saya ingat. Yakni, “Sudah saatnya sastra menjadi panglima peradaban,” ujar beliau dari atas mimbar. Meyakinkan. Mengokohkan.

Sekali lagi perlu saya utarakan, bahwa saya menulis—untuk ruang apa pun, karena percaya bahwa seluruh kenyataan yang ada hanyalah fana. Yang bisa jadi abadi, mungkin segala hal yang penah kita upayakan untuk selalu dituang ke dalam tulisan, ke dalam tulisan, ke dalam tulisan. Dan, biarlah waktu yang membacanya.

 

Bangunlah engkau pagi-pagi

setelah itu bukalah jendela kamarmu

dari situ kau dapat menyaksikan betapa berat

hidup yang dipikul oleh orang-orang seperti kita

lalu melihatlah ke arah langit, dari situ kau juga dapat

mengepalkan kedua tanganmu tinggi-tinggi hingga

akhirnya kau mengerti bagaimana cara memaknai hidup

yang hanya terdiri dari tiga lembar peristiwa: kelahiran,

kesedihan, dan kematian. Itu saja.

 

(“Dari Jendela”, Antologi Cinta, hlm. 43)

 



[1] M. Helmy Prasetya, bernama administrasi M. Helmi, M. Pd. Pimpinan Komunitas Masyarakat Lumpur Bangkalan. Tenaga pengajar di STKIP PGRI Bangkalan.

1 komentar: