25 November 2025

,

Laporan Santai Mancing Sastra 57: “Mara Tata Pateppa”

Hari Sabtu, 15 November 2025, cuaca cukup cerah untuk sebuah obrolan sastra. Awalnya, saya dapat undangan lewat WA dari Helmi. Wah, tumben banget pakai undangan resmi dalam bentuk PDF, jadi penasaran deh. Ternyata undangan untuk acara Mancing Sastra yang ke-57, dengan tema bahasa Madura yang keren: Mara Tata Pateppa—yang artinya “mari kita tata dengan benar”.

Acaranya sendiri baru mulai sekitar pukul 16.00. Datanglah beberapa wajah yang sudah nggak asing lagi: dari budayawan senior Bangkalan, Pak Hidrochin Sabarudin, sampai seniman seperti Pak Syahrul Hanafi dan Joko Sucipto. Rozekki, dosen STKIP PGRI Bangkalan, jadi moderatornya. Ramai juga dengan kehadiran mahasiswa dan beberapa guru serta pegiat teater.



Pemateri pertama, Pak Ahmad Faishal (Acong), dosen STKW Surabaya, membuka dengan pembacaan Al-Fatihah untuk Syaikhuna Kholil—dalam momen beliau dapat gelar pahlawan. Lalu, ia mengutip peribahasa Madura: tata, parata, paranta—yang intinya mengajak kita untuk mengatur, meratakan, dan melengkapi sesuatu dengan baik. Dia sedikit gelisah sama pergeseran budaya Madura akhir-akhir ini. Misalnya, orang sekarang lebih kenal Madura dari citra “jamet” atau konten TikTok yang kadang kurang santun. Menurutnya, pemerintah daerah sepertinya kurang memberi ruang untuk budaya. Kalau di tingkat kabupaten nggak ada harapan, ya coba cari peluang dari pusat, misal lewat LPDP. Katanya.

Giliran pemateri kedua, Mas Muhlis—guru, sastrawan, sekaligus peneliti. Dia buka dengan pertanyaan provokatif: “Apa Bangkalan sedang tidak baik-baik saja?” Lalu dia bahas soal gerakan lokal, regional, dan nasional, sambil menyitir Nagarakrtagama dan fenomena proxy war. Yang menarik, dia juga singgung soal Majapahit yang direkonstruksi pakai AI. Keren, tapi… ya gitu, butuh lebih dari sekadar teknologi.

Nah, pas sesi diskusi, saya pun angkat bicara. Saya agak nggak sepakat kalau seniman harus selalu bergantung sama perhatian pemerintah. Menurut saya, gerakan lokal yang fokus justru lebih berdampak. Misalnya, gerakan revitalisasi bahasa Madura yang saya tekuni, atau penelitian sastra lisan sama Muhlis, atau dramaturgi ala Faishal. Gerakan-gerapan kecil seperti gini yang justru membuat fondasi kebudayaan kuat. AI boleh canggih, tapi kalau tidak ada pemahaman detil budaya, ya cuma jadi cangkang kosong. Contohnya, kalau mau dokumentasi rumah adat Madura, foto saja tidak cukup. Perlu naskah akademik yang mendalam, catat filosofi, arsitektur, dan maknanya. Pemerintah? Jangan terlalu berharap. Mereka saja sepertinya tidak punya peta jalan yang jelas untuk pelestarian budaya.

Lalu, Pak Hidrochin Sabarudin menyusul cerita. Beliau ingatkan kita tentang sejarah Bangkalan yang pernah hampir jadi negara bagian zaman Belanda. Beliau juga bercerita soal rencana salah satu bupati yang mau merobohkan Pendopo Agung—padahal itu cagar budaya! Syukur tidak jadi. Beliau ingatkan lagi filosofi alun-alun yang mestinya tanpa pagar. Banyak pelajaran berharga dari beliau.

Acara selesai menjelang magrib. Tapi suasana keakraban tidak berhenti sampai di situ—kami lanjut ngobrol santai.

Semoga Mancing Sastra seperti ini terus berlanjut, bukan hanya sekadar acara, tapi jadi pemantik gerakan-gerakan kecil yang punya dampak besar.

Muhri

Continue reading Laporan Santai Mancing Sastra 57: “Mara Tata Pateppa”

18 November 2025

,

Menyebar Nilai, Bukan Hanya Seragam: Pentingnya Publikasi dalam Memperkuat Gerakan Pramuka di Era Digital

 Oleh: Suhartini, S.Pd.

Jika kita mendengar kata "Pramuka", apa yang terbayang? Barisan rapi dengan seragam coklat, tenda perkemahan, api unggun, atau simpul-simpul tali? Gambaran itu tak salah, namun seringkali hanya berhenti di situ. Padahal, di balik aktivitas yang tampak tradisional tersebut, tersimpan nilai-nilai universal yang sangat relevan bagi pembentukan karakter generasi muda abad 21: kepemimpinan, kerja sama, kecakapan hidup, kepedulian lingkungan, dan jiwa kewirausahaan (Kwartir Nasional, 2021).



Sayangnya, narasi tentang Pramuka seringkali terjebak dalam lingkup internal atau sekadar menjadi memoar kenangan manis alumni. Di sinilah Publikasi Kepramukaan berperan penting, bukan sebagai kegiatan sekunder, tetapi sebagai strategi komunikasi vital untuk memperkuat eksistensi, relevansi, dan dampak Gerakan Pramuka di mata masyarakat luas.

Buku Panduan Itu Penting, Tapi Tidak Cukup

Sebagai seorang praktisi pendidikan dan pembina pramuka, saya sering bersinggungan dengan buku-buku panduan resmi kepramukaan. Buku-buku tersebut adalah ruh dan pedoman teknis yang menjaga keseragaman metode dan nilai dasar. Namun, dalam konteks komunikasi publik, berpaku hanya pada buku panduan sama dengan membangun benteng yang kokoh tapi tak memiliki jendela untuk berinteraksi dengan dunia luar. Berikut argumentasi mengapa buku saja tidak cukup:

1.       Buku Bersifat Statis, Publikasi Dinamis: Buku panduan adalah dokumen baku yang berubah dalam siklus panjang. Sementara, dinamika kegiatan, kisah sukses, respon terhadap isu aktual (seperti pandemi atau bencana alam), serta inovasi lokal terjadi setiap hari. Publikasi digital (artikel, blog, media sosial) lah yang dapat menangkap dan menyebarkan energi dinamis ini secara real-time, menunjukkan bahwa Pramuka adalah organisasi yang hidup dan kontekstual (Anderson & Rainie, 2018).

2.       Buku Berbicara "Apa", Publikasi Menunjukkan "Bagaimana" dan "Mengapa": Buku mengajarkan teori membuat bivak atau prinsip Dasa Darma. Publikasi yang baik akan menampilkan video singkat Pramuka menyelesaikan masalah tenda saat hujan deras, atau feature story tentang bagaimana nilai satya dan darma diterapkan seorang Pramuka Penggalang dalam mengatasi perundungan di sekolahnya. Publikasi menghidupkan teori menjadi cerita yang relatable dan inspiratif (Pratiwi & Setyawan, 2020).

3.       Jangkauan Buku Terbatas, Publikasi Digital Tanpa Batas: Buku panduan terutama dibaca oleh anggota aktif dan pembina. Sasaran kita justru lebih luas: orang tua calon anggota, masyarakat umum, pemangku kebijakan, dan dunia industri. Sebuah postingan Instagram yang viral tentang aksi bakti sosial Pramuka membersihkan pantai dapat menanamkan citra positif dan menarik minat pihak-pihak di luar "lingkaran setia" Pramuka, sesuatu yang mustahil dilakukan buku panduan (Kurniawan & Saputra, 2022).

4.       Buku adalah Monolog, Publikasi yang Baik Membuka Dialog: Buku memberikan instruksi. Publikasi di platform digital memungkinkan adanya komentar, sharing, dan diskusi. Ini membuka ruang untuk umpan balik, keterlibatan publik, dan bahkan rekrutmen. Sebuah webinar tentang kepramukaan yang dipublikasikan secara luas dapat menjadi ajang diskusi interaktif yang memperkaya wawasan semua pihak (Tapscott, 2009).

Potensi Strategis Publikasi Multiplatform

Publikasi kepramukaan yang dijalankan secara multiplatform bukan sekadar menyebar informasi, melainkan membuka peluang strategis yang selama ini belum tergarap optimal:

1.       Penguatan Jejaring dan Sinergi Global: Platform seperti LinkedIn dan website resmi dapat menghubungkan Kwartir Daerah/Nasional dengan organisasi kepramukaan dunia (WOSM/WAGGGS), LSM internasional, dan dunia usaha. Publikasi program unggulan dalam bahasa Inggris dapat menarik mitra global, pendanaan, dan pertukaran pelajar (WOSM, 2023).

2.       Pengembangan Ekonomi Kreatif Anggota: YouTube dan TikTok menjadi ruang ekspresi kreatif sekaligus potensi ekonomi. Keterampilan pionering, memasak lapangan, atau seni panggung dalam perkemahan dapat dikemas sebagai konten edukatif yang dimonetisasi, memberikan contoh nyata kewirausahaan kepada anggota (Rahman, 2021).

3.       Arsip Digital dan Pengakuan Prestasi: Platform seperti Instagram Highlights, blog, atau website menjadi portofolio digital yang mendokumentasikan perjalanan dan pencapaian setiap Gugus Depan. Hal ini tidak hanya membangun kebanggaan kolektif tetapi juga menjadi alat validasi prestasi untuk beasiswa atau jenjang karier anggota (Febrianti, 2022).

4.       Advokasi Kebijakan Berbasis Data: Twitter dan blog dapat menjadi alat ampuh untuk menyampaikan position statement atau hasil riset sederhana tentang peran Pramuka dalam isu sosial (lingkungan, kesehatan, toleransi). Data kegiatan yang terpublikasi rapi menjadi bukti konkret untuk mendorong dukungan kebijakan dari pemerintah daerah (Nugroho, 2019).

5.       Regenerasi Kelembagaan yang Transparan: Live streaming di Facebook atau Instagram untuk musyawarah atau pelantikan pengurus membangun citra transparansi dan akuntabilitas. Proses regenerasi yang terekam dan terpublikasi dengan baik dapat menarik minat kaum muda yang kritis untuk terlibat dalam struktur kepemimpinan organisasi (Sari, 2020).

Tantangan dan Peluang di Dunia Digital

Tantangan terbesar adalah pergeseran dari publikasi konvensional (majalah dinding, buletin cetak) ke publikasi digital yang dinamis dan interaktif. Banyak organisasi kepramukaan di akar rumput yang masih gagap teknologi atau terkendala sumber daya (Hidayat, 2021). Selain itu, konten yang dihasilkan seringkali bersifat seremonial dan kaku, kurang menyentuh cerita manusia (human interest) dan dampak nyata.

Namun, di balik tantangan itu, peluangnya justru sangat besar. Platform seperti Instagram, TikTok, dan YouTube adalah "lapangan baru" untuk kepramukaan. Konten kreatif tentang tutorial survival skill, dokumentasi perkemahan virtual/hybrid, podcast membahas nilai Dasa Darma, atau campaign sosial berbasis data dapat menjangkau audiens yang sangat luas. Prinsip "From Scout for Scout" bisa berkembang menjadi "From Scout for All" (Anderson & Rainie, 2018).

Strategi Publikasi yang Efektif

1.       Kenali Audiens dan Platform: Konten untuk orang tua berbeda dengan konten untuk pelajar SMP. Gunakan bahasa yang sesuai dan pilih platform yang tepat (Pratiwi & Setyawan, 2020).

2.       Utamakan Cerita dan Data: Alih-alih "Kami melaksanakan perkemahan", lebih baik ceritakan "Bagaimana Sarah, Pramuka Penegak, Memimpin Timnya Mengatasi Kekurangan Logistik Saat Kemah Integrasi". Sisipkan data sederhana tentang jumlah peserta atau capaian program (Nugroho, 2019).

3.       Visual yang Kuat: Foto dan video berkualitas tinggi yang menangkap momen autentik (kegigihan, kerja tim, sukacita) lebih bernilai daripada ribuan kata (Kurniawan & Saputra, 2022).

4.       Konsistensi dan Kolaborasi: Publikasi harus berkelanjutan, bukan musiman. Kolaborasi dengan komunitas jurnalis muda, blogger, atau influencer lokal dapat memperkaya perspektif dan jangkauan (Sari, 2020).

5.       Integrasikan dengan Kurikulum: Keterampilan publikasi (menulis, fotografi, desain grafis, public speaking) dapat menjadi bagian dari Syarat Kecakapan Khusus (SKK) dan sistem tanda kecakapan, sehingga melahirkan kader yang tidak hanya terampil di lapangan tapi juga cakap dalam berkomunikasi (Kwartir Nasional, 2021).

Kesimpulan

Publikasi kepramukaan bukanlah tugas tambahan untuk yang halaman belakang. Ia adalah ujung tombak komunikasi strategis Gerakan Pramuka. Di tengah banjir informasi dan kompetisi perhatian, Pramuka harus aktif bercerita, menunjukkan bukti karya, dan mendialogkan nilai-nilai luhurnya dengan bahasa kekinian. Buku panduan adalah fondasi yang kokoh, tetapi tanpa publikasi yang masif dan multiplatform, kita seperti memiliki mutiara yang tersembunyi di dalam cangkangnya. Dengan memanfaatkan potensi strategis setiap platform, publikasi tidak hanya memperkuat citra, tetapi dapat menghidupkan ekosistem Pramuka yang lebih dinamis, terkoneksi, dan berdampak nyata. Pramuka tidak lagi dianggap sebagai kegiatan "zaman dulu", melainkan sebagai gerakan pemuda progresif yang aktif membentuk masa depan. Mari gembar-gemborkan nilai-nilai itu, karena dunia perlu mendengarnya.

 

Daftar Pustaka

Anderson, J., & Rainie, L. (2018). The Future of Well-Being in a Tech-Saturated World. Pew Research Center.

Febrianti, D. (2022). Portofolio Digital sebagai Alat Dokumentasi dan Pengembangan Diri bagi Generasi Z. Jurnal Ilmu Komunikasi, 15(1), 45-60.

Hidayat, A. (2021). Analisis Kesiapterapan Teknologi Informasi pada Organisasi Kepemudaan di Daerah Pedesaan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Masyarakat.

Kurniawan, B., & Saputra, H. (2022). Strategi Komunikasi Pemasaran Digital Gerakan Pramuka melalui Media Instagram. Jurnal Komunikasi Global, 11(2), 112-130.

Kwartir Nasional Gerakan Pramuka. (2021). Rencana Strategis (Renstra) Gerakan Pramuka 2021-2025. Jakarta: Kwartir Nasional.

Nugroho, R. (2019). Advokasi Kebijakan Publik di Era Media Digital. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Pratiwi, A., & Setyawan, D. (2020). Storytelling sebagai Metode Komunikasi Efektif untuk Pendidikan Karakter. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 5(2), 89-104.

Rahman, F. (2021). Kewirausahaan Kreatif di Platform Digital: Peluang dan Tantangan bagi Generasi Muda. Bandung: Penerbit Alfabeta.

Sari, M. (2020). Transparansi Organisasi dan Partisipasi Anggota Muda: Studi pada Organisasi Kepemudaan. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 24(3), 201-218.

Tapscott, D. (2009). Grown Up Digital: How the Net Generation is Changing Your World. New York: McGraw-Hill.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka.

WOSM. (2023). Scouting and the Sustainable Development Goals. World Organization of the Scout Movement. Diakses dari https://www.scout.org
Continue reading Menyebar Nilai, Bukan Hanya Seragam: Pentingnya Publikasi dalam Memperkuat Gerakan Pramuka di Era Digital

10 November 2025

,

SASTRA ABSURD

Muhri 

Istilah ini diterapkan pada sejumlah karya dalam drama dan fiksi prosa yang memiliki kesamaan pandangan bahwa kondisi manusia pada dasarnya adalah absurd, dan bahwa kondisi ini hanya dapat diwakili dengan baik dalam karya sastra yang sendiri juga absurd. Dalam konteks ini, "absurd" dapat dipahami sebagai sesuatu yang sangat konyol; tidak logis dan tidak masuk akal (Oxford Learner's Dictionaries). Sebuah situasi absurd adalah situasi yang tidak selaras, tidak serasi, dan tidak logis (Mikics, 2010). Perasaan bahwa eksistensi manusia pada dasarnya tetap absurd, sangat menantang dalam ketiadaan maknanya yang nyata, adalah signifikan bagi penulis dan filsuf abad kedua puluh tertentu.

Baik suasana maupun dramaturgi absurditas telah diantisipasi sejak tahun 1896 dalam drama Prancis Alfred Jarry, Ubu roi (Ubu Sang Raja). Sastra ini juga berakar dalam gerakan ekspresionisme dan surealisme, serta dalam fiksi yang ditulis pada tahun 1920-an oleh Franz Kafka. Aktor dan penulis Antonin Artaud memberikan peran sentral pada yang absurd dalam teater. Dalam The Theatre and Its Double (1938), Artaud memperjuangkan bentuk teater yang seperti mimpi, atau seperti mimpi buruk, yang akan menerpa penonton seperti wabah atau demam. Namun, gerakan yang ada sekarang ini muncul di Prancis setelah kengerian Perang Dunia II (1939--45) sebagai pemberontakan terhadap keyakinan dan nilai-nilai dasar dalam budaya dan sastra tradisional. Dramawan Samuel Beckett dan Eugene Ionesco adalah dua penulis kemudian dari apa yang kadang disebut teater absurd. Ionesco, menggambarkan alam semesta Kafka, mendefinisikan absurd sebagai "sesuatu yang tanpa tujuan," dan menambahkan, "Terputus dari akar metafisik, religius, dan transendentalnya, manusia tersesat: semua tindakannya menjadi tidak berarti, absurd, tidak berguna." (Mikics, 2010).

Definisi Ionesco menyarankan bahwa keyakinan akan absurditas kehidupan mengikuti apa yang Nietzsche sebut "kematian Tuhan," dengan hasil bahwa manusia menghuni alam semesta yang telah dihilangkan kesuciannya, tanpa rencana atau tujuan ilahi. Namun, kerinduan religius sering menjadi ciri suasana absurdis. Dalam Waiting for Godot (1953) karya Beckett, dua gelandangan menunggu sosok seperti Tuhan yang misterius, Godot, yang mungkin atau mungkin tidak datang; mereka menghabiskan waktu dengan rutinitas komik yang inventif, putus asa, dan grotesk melankolis.



Setelah tahun 1940-an, bagaimanapun, muncul kecenderungan luas, terutama yang menonjol dalam filsafat eksistensial dari para sastrawan seperti Jean-Paul Sartre dan Albert Camus, untuk memandang manusia sebagai eksisten yang terisolasi yang terlempar ke alam semesta yang asing; untuk menganggap dunia manusia tidak memiliki kebenaran, nilai, atau makna yang melekat; dan untuk merepresentasikan kehidupan manusia---dalam pencariannya yang sia-sia akan tujuan dan makna saat ia bergerak dari ketiadaan dari mana ia berasal menuju ketiadaan di mana ia harus berakhir---sebagai sebuah eksistensi yang penuh dengan kegelisahan dan absurditas. Seperti yang dikatakan Camus dalam The Myth of Sisyphus (1942):

Dalam alam semesta yang tiba-tiba kehilangan ilusi dan cahaya, manusia merasa sebagai orang asing. Hidupnya adalah pengasingan yang tak tersembuhkan.... Perceraian antara manusia dan hidupnya, antara aktor dan latarnya, sungguh merupakan perasaan absurditas.

Atau seperti yang dikatakan oleh Eugène Ionesco: "Terputus dari akar religius, metafisik, dan transendentalnya, manusia tersesat; semua tindakannya menjadi tidak berarti, absurd, tidak berguna." Ionesco juga berkata, dalam mengomentari campuran suasana hati dalam sastra absurd: "Orang-orang yang tenggelam dalam ketiadaan makna hanya bisa menjadi grotesk, penderitaan mereka hanya bisa tampak tragis melalui cemoohan."

Samuel Beckett (1906--89), penulis paling terkemuka dan berpengaruh dalam mode ini, baik dalam drama maupun fiksi prosa, adalah seorang Irlandia yang tinggal di Paris yang sering menulis dalam bahasa Prancis dan kemudian menerjemahkan karyanya ke dalam bahasa Inggris. Drama-dramanya, seperti Waiting for Godot (1954) dan Endgame (1958), memproyeksikan irasionalisme, ketidakberdayaan, dan absurditas kehidupan dalam bentuk-bentuk dramatik yang menolak latar realistik, penalaran logis, atau alur yang berkembang secara koheren. Waiting for Godot menampilkan dua gelandangan di tempat yang tandus, menunggu dengan sia-sia dan hampir tanpa harapan untuk seorang tokoh yang tidak dikenal, Godot, yang mungkin ada atau tidak; seperti yang salah satu dari mereka katakan, "Tidak ada yang terjadi, tidak ada yang datang, tidak ada yang pergi, ini mengerikan." Seperti kebanyakan karya dalam mode ini, drama ini absurd dalam arti ganda: secara grotesque adalah komik dan sekaligus irasional serta tidak konsekuen; drama ini adalah parodi tidak hanya dari asumsi-asumsi tradisional budaya Barat tetapi juga dari konvensi dan bentuk-bentuk generik drama tradisional. Dialog yang jelas tetapi berputar-putar dan tanpa tujuan seringkali lucu, dan jatuh terjungkal serta mode slapstick lainnya digunakan untuk memberikan corak komik pada alienasi dan kegelisahan eksistensi manusia. Fiksi prosa Beckett, seperti Malone Dies (1958) dan The Unnamable (1960), menampilkan seorang anti-pahlawan yang memainkan langkah-langkah absurd dari permainan akhir peradaban dalam sebuah "bukan-karya" yang cenderung merusak koherensi mediumnya, yaitu bahasa itu sendiri. Tetapi biasanya karakter-karakter Beckett terus bertahan, bahkan dalam kehidupan tanpa tujuan, berusaha memahami yang tidak masuk akal dan mengkomunikasikan yang tidak dapat dikomunikasikan.

Dramawan Prancis lain dari aliran absurd adalah Jean Genet (yang menggabungkan absurdisme dan diabolisme); beberapa karya drama awal orang Inggris Harold Pinter dan orang Amerika Edward Albee ditulis dalam mode yang serupa. Drama-drama awal Tom Stoppard, seperti Rosencrantz and Guildenstern Are Dead (1966) dan Travesties (1974), mengeksploitasi perangkat teater absurdis lebih untuk tujuan komik daripada filosofis. Ada juga kesamaan dengan gerakan ini dalam banyak karya yang mengeksploitasi komedi hitam atau humor hitam: karakter-karakter yang sial, naif, atau tidak cakap dalam dunia modern yang fantastis atau seperti mimpi buruk memainkan peran mereka dalam apa yang Ionesco sebut "farce tragis", di mana peristiwa-peristiwa seringkali secara bersamaan bersifat komik, mengerikan, dan absurd. Contohnya adalah Catch-22 (1961) karya Joseph Heller, V (1963) karya Thomas Pynchon, The World According to Garp (1978) karya John Irving, dan beberapa novel karya orang Jerman Günter Grass dan orang Amerika Kurt Vonnegut, Jr., dan John Barth. Dr. Strangelove (1964) karya Stanley Kubrick adalah contoh komedi hitam dalam film. Beberapa dramawan yang hidup dalam rezim totaliter menggunakan teknik absurdis untuk menyuarakan protes sosial dan politik. Lihat, misalnya, Largo Desolato (1987) karya orang Ceko Václav Havel dan The Island (1973), sebuah kolaborasi oleh penulis Afrika Selatan Athol Fugard, John Kani, dan Winston Nishona.

Jerome Rothenberg berkomentar bahwa yang absurd menyerupai mimpi dalam Surealisme: ia "berfungsi sebagai gambar penyederhanaan besar, yang memungkinkan untuk presentasi langsung dari impuls-impuls yang bertentangan." Keterusterangan seperti itu bersekutu dengan kecenderungan modern menuju kehadiran langsung dan keintiman yang mengganggu dalam seni (Rothenberg, 1975, seperti dikutip dalam Mikics, 2010).

Daftar Pustaka

Abrams, M. H., & Harpham, G. G. (2014). A Glossary of Literary Terms (11th ed.). Cengage Learning.

Mikics, D. (2010). A New Handbook of Literary Terms. Yale University Press.

Oxford Learner's Dictionaries. (n.d.). absurd. Oxford University Press. Diambil dari https://www.oxfordlearnersdictionaries.com/definition/english/absud  

Rothenberg, J. (1975). A Dialogue on Oral Poetry with William Spanos. Boundary 2, 3(3), 509–548.

Continue reading SASTRA ABSURD

03 November 2025

, , ,

MANUSKRIP INDONESIA DAN SUMBER PRIMER YANG TIDAK PERNAH BISA?

 Muhri

Bangkalan, 30 Oktober 2025 – Cahaya pagi menyapa Pendopo Agung Kabupaten Bangkalan, Kamis (30/10), menyambut para tamu undangan yang hadir dalam acara Sosialisasi Pelestarian Naskah Kuno. Acara yang digelar oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (Dispusip) setempat ini mengundang sejumlah akademisi, termasuk saya sendiri, setelah menerima undangan resmi dari Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Pukul 07.00 WIB, saya memulai perjalanan. Dengan perhitungan waktu yang masih longgar sebelum acara pukul 08.00, saya singgah terlebih dahulu di kampus STKIP PGRI Bangkalan untuk menitipkan tas. Akhirnya, saya tiba di lokasi acara pukul 07.46 WIB.

Proses registrasi ternyata masih dilakukan secara manual dengan menulis tangan, meski sebelumnya para peserta telah mengisi daftar hadir secara daring. Di antara para hadirin, tampak sejumlah tokoh seperti R.P. Hamid Mustari dan Hidrochin Sabarudin, serta empat dosen dari STKIP PGRI Bangkalan, termasuk saya sendiri, Junal, Helmi, Roz, dan Mariam.

Sebuah insiden kecil sempat terjadi dan cukup mengesankan. Roz mendapat teguran halus dari seorang sesepuh Bangkalan karena cara mengenakan tongkos (semacam ikat kepala khas Madura) yang agak mendongak. Menurut sang sesepuh, hal itu dianggap sebagai pertanda kesombongan.

Acara baru resmi dibuka oleh Kepala Dispusip pada pukul 09.30 WIB. Terlihat jelas bahwa meski seluruh panitia telah hadir sebelum pukul 08.00, partisipasi peserta, terutama dari kalangan mahasiswa, masih sangat kurang. Sebuah pemandangan yang memprihatinkan.

Setelah seremonial pembukaan dan doa, acara inti berupa sosialisasi pun dimulai dengan format Focus Group Discussion (FGD). Dua pemateri, Muhaimin dan seorang pejabat perpustakaan dari Jawa Timur, memaparkan materinya. Muhaimin banyak menjelaskan tentang naskah kuno sebagai sumber primer sejarah.

Di sinilah letak kritiknya. Saya, secara pribadi, tidak sepenuhnya sepaham. Realitasnya, mayoritas naskah Indonesia tidak ditulis sezaman dengan peristiwa yang diceritakannya. Sering terjadi miskonsepsi di sini. Yang dimaksud naskah sezaman adalah naskah arketip (naskah asli pertama), bukan salinannya. Faktanya, hampir mustahil menemukan naskah arketip yang masih utuh hingga kini. Kesalahpahaman inilah yang kemudian kerap memicu polemik, seperti yang terjadi dalam perdebatan nasab belakangan ini.

Lantas, mengapa naskah Indonesia sulit dikategorikan sebagai sumber primer sejarah? Jawabannya karena sebagian besar naskah ditulis jauh setelah peristiwa berlalu. Bandingkan dengan, misalnya, manuskrip perjalanan Ibnu Battuta berjudul Tuhfatun-Nuzzar fi Gharai'bil-Amsar wa 'Aja'ib-il-Asfar. Naskah tersebut ditulis oleh Ibnu Juzayy al-Kalbi berdasarkan dikte langsung Ibnu Battuta sendiri, sehingga nilai keotentikannya sangat tinggi.

Di Nusantara, kita mengenal Kerajaan Kutai yang bukti sejarahnya berupa prasasti Yupa. Bukti serupa juga ditemukan pada prasasti-prasasti dari Kerajaan Tarumanagara yang sezaman, lengkap dengan penyebutan nama raja. Selain itu, catatan perjalanan musafir China, Fa Hsien, juga menjadi sumber primer yang tak ternilai. Sayangnya, diskusi mendalam seperti ini sulit dielaborasi dalam forum formal yang serba terbatas waktu.

Acara pun berakhir sekitar pukul 12.00 siang, meninggalkan renungan tentang pentingnya pemahaman kritis terhadap naskah kuno, bukan hanya sekadar pelestarian fisiknya, tetapi juga keotentikan dan konteks penciptaannya.

Continue reading MANUSKRIP INDONESIA DAN SUMBER PRIMER YANG TIDAK PERNAH BISA?