23 Juni 2025

, ,

LEKSIKOGRAFI DAN KAMUS YANG TAK PERNAH SELESAI

 Muhri


Kamus Madura-Indonesia Kontemporer terbit pertama kali tahun 2014. Itu berdasarkan ISBN. Saya perbaiki pada 2016 dengan tambahan lema. Hanya sekitar 2500 lema atau entry. Tak banyak. Lalu saya lanjut untuk membuat edisi berikutnya. Sayangnya, bukan edisi baru yang saya susun tapi buku baru. Melanjutkan kamus 2014 tapi dengan bentuk format yang berbeda jauh. Rencananya saya terbirkan 2025 dengan judul Kamus Progresif Madura-Indonesia. Sudah saya cek similaritas (similarity check) dengan hasil 16% kesamaan dengan kamus 2014 yang saya unggah online di laman STKIP PGRI Bangkalan.

Kamus-kamus itu saya tulis mulai tahun 2010. Beberapa bulan setelah saya lulus S2 Ilmu Sastra FIB UGM Yogyakarta. Mengapa kamus? Mengapa bukan sastra? Mungkin itu pertanyaan yang muncul.

gambar dibuat dengan Ms Designer

Sebenarnya pada tahun yang sama saya juga menerbitkan Sejarah Ringkas Kesusastraan Indonesia. Sebuah buku ajar yang tebalnya kurang dari 80 halaman. Mengapa bisa dua dalam satu tahun? Sebenarnya itu ditulis selama lima tahun dengan cara iseng. Yah, jika sedang mood saja.

Oh ya… Maaf terdistraksi. Saya tidak akan menceritakan kamus itu. Saya ingin mengingat kembali sebuah babak dalam hidup saya terkait kamus. Antara 2003-2004 masa kuliah semester atas. Ada mata kuliah leksikografi. Pak Diding yang mengampu. Relasi kami tidak istimewa. Mungkin beliau telah lupa dengan saya. Saya juga tidak akan menceritakan apa pun yang buruk tentang beliau dalam pandangan saya. Inspirator yang mengenalkan pada kamus, seperti Pak Suro Wahono yang mengenalkan pada sejarah sastra. Dengan cara ekstrem dan tentu tidak komprehensif. Tentang sejarah sastra dan Pak Suro akan saya tulis dalam cerita yang berbeda.

Beliau, Pak Diding, tidak memberikan kuliah dalam bentuk teks atau konsep. Hanya menugaskan untuk menyiapkan teks bahasa Indonesia. Lalu meminta untuk menerjemahkan ke dalam bahasa Madura. Setelah itu beliau meminta mahasiswa menyiapkan kertas berukuran 15x10 cm, lebar 15 & tinggi 10. Sebagai kartu data tentunya.

Kartu tersebut bagian kiri atas ditulis kata bahasa Madura pada teks sebagai lema. Di bawahnya agak ke tengah arti dalam bahasa Indonesia. Di bawah arti kalimat yang memuat lema tersebut. Jika ada kata yang sama pada kalimat lain bisa dianalisis kesamaan dan perbedaan artinya. Jika nuansa artinya berbeda maka ditulis di kartu yang berbeda. Demikian juga bentuk turunan ditulis dengan kartu yang berbeda. Hasil kartu data tersebut diurut berdasarkan abjad pada lema.

Oh iya… Ada yang lupa. Di bawah lema atau bentuk turunan ditulis simbol fonemik dengan diapit tanda garis miring (//). Fonemik, bukan fonetik. Tentu bingung mencari simbol itu di komputer. Bagusnya ada Mas Budi Rahman yang mengerti pengetikan. Itu pakai word versi lama sebelum 2003 dengan menu dan dropdown yang tidak sepraktis hari ini. Praktis yang mengetik Mas Budi. Saya cuma bantu. Maklum, SDM rendah.

Tugas selesai dalam bentuk buku dengan jilid lakban. Tebal sekitar 90 halaman tanpa bolak balik. Ukuran A5 dengan memotong Folio HVS menjadi dua. Diprin, bukan foto kopi. Yang lain sumbang dana. Rugi?

Sebuah keuntungan yang baru saya sadari hari ini. Saya menulis kamus dengan Ms Office yang lebih canggih. Seorang dosen menukas bahwa kamus bahasa Madura sudah ada. Tentu yang dimaksud karya Mas Adrian Pawitra.

Saya tidak ingin berdebat. Dalam tulisan ini saya ingin berargumen. Kamus Mas Adrian tidak menyajikan aspek-aspek tertentu dalam kamus. Tak mencantumkan kelas kata, terjemahan sering hanya sinonim. Selain itu kamus tersebut hanya mengambil atau menerjemah sebagian besar dari kamus H.N. Kiliaan yang dalam bahasa Belanda.

Satu hal yang terutama terlupa dan tidak tergambar dalam kamus Mas Adrian. Sebuah kamus yang hidup bernafas. Sebab selama manusia Madura masih menggunakan bahasa Madura, selama itu juga tidak ada kata finis. Karena itu ada kata “progresif” dalam kamus yang akan saya terbitkan. Tentu tidak selengkap karya Mas Adrian. Kamus itu sementara sekitar 9000 lema. Selisih 1000 lema dengan kamus yang disusun Mas Adrian.

Selain itu, kamus bukan hasil penelitian yang mensyaratkan novelty atau kebaruan. Jika ini dianggap salah, maka tidak akan ada kamus bahasa Inggris dari Cambridge, Oxford, Merriam-Webster, dsb. Apalagi, kamus ini akan terus saya kembangkan sampai deadline yang sebenarnya. Batas kematian. Ups! Maaf terlalu serius.

Wallahu a’lam bi al-sawab

 

(Teks ini, seperti cerita sebelumnya, hanya draf. Perbaikan akan dilakukan dalam versi cetak yang nanti akan diterbitkan dalam bentuk PDF atau mungkin print out.)

Continue reading LEKSIKOGRAFI DAN KAMUS YANG TAK PERNAH SELESAI

16 Juni 2025

,

KAMUS SINGKATAN DAN AKRONIM

Kamus ini ditulis untuk memberikan saluran bagi peneliti yang ketika memasukkan kutipan selalu dihadapkan pada, "Bukunya mana?", "Laman web tidak bisa dijadikan rujukan", dan pernyataan lain yang sebenarnya bisa dibantah. Akan tetapi relasi antara mahasiswa dan dosen tidak dalam posisi setara. Dosen seolah-olah selalu benar dan tidak bisa dibantah. Meskipun ada AI dosen tetap meminta referensi pakem. Apalagi ada dosen yang sangat anti dengan AI.


Buku ini saya gunakan sebagai alat bantu untuk memudahkan. Tentu tidak sempurna. Sebab, buku ini ditulis iseng di antara kesibukan sebagai dosen sekaligus mahasiswa pascasarjana. Pengguna dipersilakan mengkritik, memberi saran, dan respon lain untuk penyempurnaan kamus ini.

Oh iya... Kamus ini saya kemas dengan warna warni dan terkesan murahan. Buku ini sepenuhnya saya persembahkan untuk mahasiswa saya yang lebih suka menggulir layar hp dari pada membaca buku. Tidak buruk jika mereka membaca buku elektronik atau informasi berita. Sebab AI tidak bisa mengisi otak yang kosong. 

Unduh kamus di sini 

Selalu ikuti perkembangan dengan sesekali menekan link url tersebut. 


Continue reading KAMUS SINGKATAN DAN AKRONIM

09 Juni 2025

BLATÈR: ULASAN ASAL KATA

Kata blatèr terdengar tidak asing bagi orang Madura masa kini. Kata ini mengacu pada golongan orang yang disatukan melalui satu institusi yang disebut rèmoRemo adalah hajatan yang dilaksanakan untuk mengumpulkan uang yang dalam bentuk buwuh atau bhubu. Hajatan tersebut bisa apa saja: pernikahan, khitanan, atau to'-oto'. Namun kita tidak akan bicara tentang itu.

Tulisan ini akan hanya membicarakan kata. Orang Madura mengkonotasikan blatèr dengan orang-orang berani, budaya-budaya kekerasan, dan kebalikan dari santri. Keberanian kaum blater ditunjukkan dengan keberanian dan kesiapan untuk melakukan carok. Carok adalah pertarungan berhadapan antara dua pihak dengan menggunakan senjata tajam. Dengan demikian, tidak semua pembunuhan dengan senjata secara budaya disebut carok. Jika seseorang membunuh dengan menusuk atau menyerang dari belakang, tidak disebut carok. Ini disebut nyèlèp. Jika hanya hanya salah satu yang memegang senjata juga tidak disebut carok. Jika laki-laki membunuh perempuan, tidak disebut carok. Yah, carok dilakukan ketika kedua belah pihak dalam keadaan siap.     

Kesiapan tersebut ditunjukkan dengan budaya nyèkep, yaitu membawa senjata untuk jaga diri atau siap sedia. Kata dini dari bahasa Jawa sikep yang berarti 'sedia, siap, memegang'. Senjatanya pun hanya berupa senjata tajam, seperti clurit, pisau, parang, dan keris. Pertarungan atau pembunuhan dengan senjata api juga tidak disebut sebagai carok. 

Namun tahukah Anda bahwa kata blatèr berasal dari bahasa Jawa? Dalam bahasa Jawa blater artinya bisa bergaul dengan siapa saja atau mudah akrab. Bahasa kerennya supel. Kemungkinan ini berasal dari pranata yang disebut remo di atas. Ada pertautan makna antara blater dalam bahasa Madura dengan bahasa Jawa. Keterkaitan tersebut pada Remo. Karena ikut Remo maka orang blater memiliki banyak kenalan. Dengan kata lain memiliki banyak teman. Dengan kata lain pula memiliki pergaulan yang luas.

Continue reading BLATÈR: ULASAN ASAL KATA

02 Juni 2025

, ,

SAAT KAU TAK MENCINTAIKU LAGI: PUISI-PUISI AGUS ALAN KUSUMA

Sebagai sebuah karya yang telah terbit, buku Saat Kau Tak Mencintaiku Lagi karya Agus Alan Kusuma telah sempurna sebagai sajian. Sebagai konsumen, pembaca berhak “memakan” atau mengabaikannya. Tulisan ini hanya menyajikan kembali sesuatu yang telah mengisi ruang waktu dari bentang panjang ruang sastra Bangkalan. Mungkin karya-karya ini tidak pernah memperoleh momentumnya. Atau… Momentumnya telah berlalu?



Dengan seizin penulisnya, dihadirkan beberapa puisi yang dipilih dari puisi-puisi yang dimuat dalam buku tersebut.

 

1

 

Pelangi Cinta

 

Kau beri satu warna pelangi pada tanganku

Seperti buah stroberi berwarna merah

Dihiasi bintik-bintik hitam

Rasanya antara manis dan kecut

Bagaikan cintaku yang kecut

Yang katamu hanya manis di mulut

 

2

 

Layang-Layang dan Senja

 

Aku ingin bermain layang-layang

Bersamamu di bawah warna senja

Biarlah kita berdua menikmati paras keindahan itu

Saling menatap dan tersenyum

 

Tapi ketika aku bayangkan lagi

Tidak salah, kalau kita pada akhirnya

Saling menampar dan tertegun

 

Layang-layang turun tak bertemu angin

 

3

 

Jiwa yang Tak Menentu

 

Kumuak dengan semua ini

Hanya luka dan gelisah sembahyang dalam hati

Semua hanya kibulan cerita Romeo dan Juliet

Tak pernah usai, biarlah kupergi sejauh mungkin

Meninggalkan nama dan perjumpaan yang sebentar

 

4

 

Bungkam

 

Bisu, diam, dan gemetar

Itu yang kurasakan

Saat kau melintas di hadapanku

Aku seperti batu dan pepohonan

Yang tak bisa berbuat apa-apa

Selain melihat wajahmu

 

5

 

Zikir

 

Zikirmu bagaikan syair yang syahdu malam ini

Mewujudkan cerita tentang hidup

Syair itu halus sehalus sutra

Tapi getarannya sehangat petir tanpa hujan

Hingga semuanya redup dalam kegelapan

 

6

 

Melepas Luka

 

Kunikmati sore hari dengan hati hampa

Yang ditemani bunyi air laut dan angin laut

Yang menghantam dalam tubuh

Kulihat pemandangan yang begitu indah

Pohon-pohon berada di samping laut

Kera-kera bergelantungan di pepohonan

Aku tertawa dengan keadaan itu

Teringat kisah cinta yang bergantung

Entah akan dibawa ke mana

Cinta itu sebenarnya

Continue reading SAAT KAU TAK MENCINTAIKU LAGI: PUISI-PUISI AGUS ALAN KUSUMA

26 Mei 2025

, ,

MOMENTUM DAN KEABADIAN: CATATAN UNTUK PENYAIR SUDRA

Muhri[1]

 

Terbitnya buku Catatan Penyair Sudra yang memuat karya-karya Syarifuddin Dea saya sambut dengan gembira. Tak ada hubungan Istimewa. Bahkan, saya tidak memiliki relasi apa-apa. Kelahiran kembali karya sastrawan yang telah tiada perlu dirayakan. Istilahnya mencari momentum.

Tulisan ini sengaja saya tulis terlambat untuk memperpanjang momentum tersebut. Momentum? Apakah mungkin ada kesempatan momentum berikutnya? Bisakah karya sastra lama menelisik di antara karya-karya sastra baru?



Syarifuddin Dea merupakan penyair dari Bangkalan. Kiprahnya mulai 1960-an. Perannya tidak tercatat kecuali dalam lembaran-lembaran yang hanya dimiliki kalangan terbatas terutama keluarga. Bahkan, Shoim Anwar yang ditulisi surat oleh beliau tidak menulis nama beliau dalam buku Sejarah Sastra Indonesia yang disusunnya tahun 2012. Apakah itu berarti memang karya-karya ini tidak cukup berharga? Apakah kiprahnya dianggap kurang signifikan terhadap kesusastraan Indonesia?

Saya pribadi mengenal nama beliau saat kuliah S1 di STKIP PGRI Bangkalan. Beliau dihormati oleh semua seniman yang lebih muda. Dalam beberapa event saya mendengar suara beliau membacakan karyanya. Namun tetap saja saya tidak cukup jelas melihat wajah beliau dari sisi penonton. Ditambah, acara semacam ini selalu menyajikan panggung dengan pencahayaan temaram dan dilakukan waktu malam.

Saya lebih mengenal karya beliau saat melakukan penelitian sejarah sastra Bangkalan. Sebuah proyek penelitian bagi dosen pemula. Dalam pembacaan itu dapat dinyatakan bahwa karya-karya itu adalah karya-karya yang baik dan mapan. Karya-karya yang benar-benar matang. Layak disejajarkan dengan sastrawan-sastrawan dari generasi 70/80-an yang dikenal secara nasional. Sayangnya, karya-karya itu tetap tersimpan dalam koleksi pribadi. Semakin lama tidak dipublikasi, akan semakin lemah relasi dan relevansi karya dengan generasi terkini.

Karya yang berharga bisa jadi lahir di saat tidak tepat. Mereka lahir di luar trend pada masanya sehingga tidak “meledak” dalam bacaan Masyarakat. Serupa dengan Chairil yang meledakkan karyanya setelah meninggal. Dan, sosok dibalik ledakan itu adalah H.B. Jassin. Karya Chairil yang dianggap merusak tatanan sastra, bahkan oleh kalangan guru, meledak di tangan Jassin yang memiliki otoritas sebagai dosen sastra di UI. Jassin memiliki pengaruh pada ilmuwan-ilmuwan sastra yang pernah menjadi “muridnya”. Ada satu masa dalam hidup saya ketika saya mengenal penyair hanya Chairil dan puisi “Aku” menjadi puisi yang paling saya ingat. Tentu sebelum saya membaca karya-karya lain.

Tidak hanya massa, momentum memerlukan komponen kecepatan dan waktu. Dengan kecepatan dan waktu yang tepat ledakan kekuatan itu bisa maksimal. Getarannya akan jauh dan menggema beberapa saat. Kemudian tenang. Namun, dalam ketenangan itu masih tersisa rasa, emosi, kesan terhadap ledakan. Yah, memori tentang ledakan. Apakah karya syarifuddin sedang menunggu momentum atau momentum itu tak akan pernah ada?

Jika pun momentum itu tidak pernah ada, tetap saja ada piranti yang bisa mengabadikan karya. Kita sebut saja “museumisasi”. Tidak perlu bahas konsepsi. Cukup pahami dari sisi pameran atau display sisa masa lalu. Mungkin karya itu tetap dalam kesepian kotak kaca. Atau ada momentum lain yang menariknya kembali ke arena, seperti buku Aku karya Sjuman Djaya. Buku skenario film ini sepertinya tidak akan pernah dilayarkan. Namun ia tertarik paksa oleh skenario film Ada Apa dengan Cinta? yang juga menarik paksa Chairil ke arena. Penonton remaja yang pada saat itu mungkin tidak mengenal Chairil Anwar, apa lagi Sjuman Jaya, paling tidak memendam tanda tanya buku yang dipegang oleh Rangga. Buku tersebut menjadi bagian dari benang merah yang menautkan peristiwa percintaan Cinta dan Rangga.

Mungkin Syarifuddin Dea tidak setingkat dengan Chairil yang menjadi voorloper dalam pembaharuan konvensi sastra. beliau juga tidak merevitalisasi mantra menjadi puisi kontemporer seperti Sutardji Calzoum Bachri. Ia tidak setenar itu. Tapi, kegilaannya pada sastra dan teater menginspirasi generasi setelahnya. Perannya dalam Dewan Kesenian Bangkalan menghadirkan momen-momen seni. Bahkan, penentangan terhadap pandangannya melahirkan DKBP pada paruh pertama 2000-an. Dewan Kesenian Bangkalan Partikelir yang bersinonim dengan swasta. Lawan dari DKB yang di-SK bupati namun tetap minim bantuan pembiayaan. Tak perlu dipertanyakan siapa yang benar, yang lebih baik, apalagi konsepsi yang lebih pas. Konflik tersebut jelas menghadirkan dua sisi event. Saling menyerang, menghujat, bahkan menghina dengan karya tetapi melahirkan karya. Ketegangan konfrontatif yang melahirkan antitesis, menolak sama, dan mengeksposnya secara terbuka. Bukankah ini lebih baik dari pada ketenangan yang hampa?



[1]Pembaca dan penikmat sastra.

Continue reading MOMENTUM DAN KEABADIAN: CATATAN UNTUK PENYAIR SUDRA

19 Mei 2025

,

PKD, LESIKOSTATISTIK, DAN SEKRETARIAT PRIVAT PCNU

Peristiwa ini sekitar tahun 2004 akhir. Saya lupa tepatnya bulan apa. Rupanya, Januari 2025 hari H-nya. Saya tahu setelah melihat catatan buku harian. Waktu itu, saya menjadi ketua panitia PKD (pelatihan kader dasar) untuk PKD yang belum pernah saya ikuti. Jangan tanya yang lain. Setahu saya, ini PKD pertama di Bangkalan sejak saya kuliah sejak tahun 2000. Ketua PC-nya waktu itu Abdurrahman Mamas. Sekertaris panitia (alm.) Mas’odi. Koseptor Kak Pa’ong. Seperti biasa.

gambar disalin dari https://halojember.jawapos.com/ 


Dalam jajaran panitia ada Suhartini dan Satiyah. Sepertinya mereka kader sambil lalu. Dua lagi yang aktif dan masih saya ingat Evi dan Hosiah. Tapi buka mereka yang saya ingin ceritakan. Saya akan bercerita tentang Suhartini dan Satiyah dan tugas mata kuliah mereka. PKD sudah banyak yang tahu isinya. Pelatihan kader setelah Mapaba pada organisasi PMII.

To the point saja. Mereka diberi tugas untuk membuat peta bahasa dengan menggunakan daftar kata dari Morris Swadesh. Dua orang ini, yang saya tahu, termasuk rajin masuk kuliah. Dosen pengampu mata kuliah Pak Diding dari Unesa. Tugas leksikostatistik untuk mata kuliah linguistik bandingan atau comparative linguistic. Dengan lembaran data dan peta Madura foto kopian mereka menunduk serius. Melihat itu seolah-olah semua masalah bisa sudah dengan mudah.

Dengan bercanda saya bertanya, “Perlu saya bantu?”

“Tak perlu. Saya bisa mengerjakan sendiri.” Kata satiyah. Suhartini hanya tersenyum seperti biasa.

Saya diam, menghadap bangku lain lalu ngobrol dengan penjaga kantor PCNU. Banyak hal. Sudah lupa apa saja yang kami bicarakan. Tentu tidak bisa nyaring atau teriak-teriak. Kantor ini berada di tanah privat. Di depan kediaman seorang kiai berpengaruh, putera kiai berpengaruh. Sesekali, saya menengok dua perempuan tersebut. Mereka tetap asyik dengan pekerjaan mereka. Bermenit-menit berlalu. Padahal saya pikir tugas ini mudah. Saya pernah mengerjakan tugas yang sama. Saya pun kembali menawarkan bantuan dan menjelaskan bahwa cara mereka salah. Tentu saja dengan bahasa yang saya upayakan sebisa mungkit tidak menyinggung. Namun, tetap saja jawabannya penolakan. Saya tidak mengapa dengan penolakan tersebut. Saya hanya tersenyum dan membatin. Baiklah saya tunggu kalian menyerah. Sebab saya tahu mereka tak mengerti apa yang mereka kerjakan.

Sekitar tiga jam berlalu. Malam sudah larut melewati tengah malam. Kantuk memberi tanda dengan mulut yang menguap. Mata lelah yang mengerjap merah berair. Saya pun menawarkan lagi bantuan. Demi salah satu dari mereka. Satiyah masih dengan senyuman tak percaya menyerah. Mungkin tak yakin sebab saya biasa bercanda dan usil. Ia angsurkan lembar-lembar itu pada saya. Ia pun berkata, “Ini. Awas gak bisa?” Ancamnya, akrab. Saya tertawa.

Saya mulai mengerjakan dengan santai namun yakin. Pasti. Dalam dua puluh menit semua selesai. Mereka melongo. Saya jelaskan prosedur dan maksudnya. Mereka baru mengerti. Mereka pamit tidur di ruangan perempuan.

Continue reading PKD, LESIKOSTATISTIK, DAN SEKRETARIAT PRIVAT PCNU

12 Mei 2025

, ,

AUTOBIOGRAFI DRAMATIK: SEBUAH MULA DAN KEMUDIAN

M. Helmy Prasetya[1]

Pada awalnya saya mengenal sastra secara tak terduga. Bahkan saya tidak berpikir sedang menyukai sastra atau tidak. Di masa awal (ketika duduk di bangku SMA), saya gemar menulis apa saja dengan maksud sebagai komunikasi bebas. Baik untuk keluarga, guru, untuk teman, ke karib-karib yang lain, termasuk juga ke pacar. Saya lebih memilih memberi tulisan pada secarik kertas atau benda-benda yang bisa ditulis untuk disampaikan kepada orang lain, sebagai maksud tujuan bercakap. Kegiatan menulis di masa itu dan begitu sungguh mengasyikkan. Tidak seperti sekarang yang sudah beralih ke metode “ketik” langsung.

 

ilustrasi dari Designer AI

Tahun 2002 boleh dibilang sudah cukup aktif bersastra. Sejumlah puisi dan naskah drama lumayan banyak saya buat. Tapi pada tahun itu saya mendapatkan penolakan dari keluarga. Puisi-puisi yang saya tulis, naskah drama yang saya buat, suatu hari dirampas dan dihamburkan di hadapan saya yang tertunduk di atas kursi. Dihamburkan dengan nada “mengejek”: (tak perlu saya tulis bagian ini, karena memang menyakitkan). Sastra tak mendapat tempat dalam keluarga saya.

Tapi dari sanalah kemantapan proses menulis saya bermula. Mantap sebagai karya tentunya. Menekuninya, serius. Tak adanya dukungan dari keluarga, karena orang tua memang tak tamat SD bukan jadi penghambat. Justru menjadi poin tersendiri bagi saya, hingga akhirnya berjalan bersama waktu saya makin ketagihan membuat tulisan. Apalagi aktivitas di luar keluarga membuat saya terdukung untuk terus aktif dalam menulis.

Mundur sedikit sebelum tahun 2002. Selepas SMA tahun 1996, saya langsung diposisikan sebagai pelatih Sanggar Teater Mutiara SMAN 3 Bangkalan oleh situasi. Di tempat itu, keberangkatan terkuat berada. Selaku pelatih tentu dituntut kreatif agar aktivitas sanggar jadi berjalan. Untuk pengembangan ke arah sana, tak ada tempat yang bisa dijadikan rujukan pembelajaran. Tak ada, selain segala yang diupayakan langsung dari pengalaman diri sendiri. Maka aktivitas yang berjalan tiada lain hanya materi-materi yang meminta anggota untuk menulis puisi yang kemudian dibacakan dan dikumpulkan. Juga membuat naskah drama lalu dipentaskan, dan lain-lain. Seperti itu terus berlanjut berbulan-bulan lamanya.

Keadaan tersebut di satu sisi makin giat membuat saya suka menulis. Di sisi lain saya berjumpa dengan tokoh dan pokok yang menawarkan beragam sumber. Seperti puisi-puisi Chairil Anwar yang tak bisa dipungkiri ada dalam pelajaran sekolah, seperti Rendra dan bengkel teaternya, seperti Majalah Horison yang berisi karya-karya sastra yang diakui keagungannya, rubrik sastra Jawa Pos, buku puisi Asmaradana karya Goenawan Mohamad, juga Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono, hingga satu novel dari tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Bumi Manusia. Termasuk bertemu langsung dengan seorang penyair dari Padang, Agus Hernawan.

Ajaib sekali saya menemukan referensi-referensi itu. Semua saya dapat bukan dari latar pendidikan. Karena selepas SMA saya tak langsung melanjutkan kuliah, justru aktif sibuk dengan urusan sanggar sebagai pengisi waktu selama menganggur. Saya peroleh semua itu dari gesekan-gesekan yang terjadi di ruang sanggar/komunitas yang saya kelola. Termasuk juga dukungan pembina sanggar yang kala itu dijabat oleh Bapak Sunar Dwigjo Wahono yang gemar meminjami saya buku-buku sastra untuk dibaca. Sangat diingat adalah buku Linus Suryadi AG yang berjudul Pengakuan Pariyem dan sejumlah buku karya Putu Wijaya.

Dari tahun ke tahun saya makin tertarik ke dunia sastra. Saya dirikan kemudian kelompok teater bernama Ndase, sebuah sanggar yang bergerak di bidang teater dan sastra sekaligus. Menghasilkan antologi puisi bersama berupa manuskrip berjudul “Nyanyian Tanah Kering” yang menampung penulis-penulis muda Bangkalan di masa itu. Pertemuan dengan Lingkar Sastra Junok juga adalah spirit lain yang sedikit banyak membawa gairah. Di kelompok sastra yang bermarkas di Junok itu ruang apresiasi terkait sastra kerap saya temui. Dialektika tumbuh dan keseriusan makin berkembang walau pada akhirnya segala isi waktu pecah dan menjadi masing-masing.

Namun hal yang paling menentukan untuk serius menulis, sebenarnya berangkat dari kegelisahan-kegelisan pribadi saya yang datang dari lingkungan yang buruk. Katakanlah pengalaman buruk. Misalnya pada masa 1997 hingga 1998, terdapat situasi yang hingga hari ini membekas di ingatan. Puncaknya tahun 2001.

Pertama adalah perasaan lelah menjadi diri sendiri yang kala itu menjalani masa-masa tak berbobot: bekerja sebagai buruh pabrik kayu di Margomulyo Surabaya, jadi kernet truk kayu jurusan Sampang Banyuwangi, menjadi tukang cuci mobil di Banyuates dengan upah ala kadarnya, menjadi penjaja kue dari toko ke toko dengan berjalan kaki hampir di seluruh kecamatan bagian barat Bangkalan, menjadi kuli bangunan di Rungkut Surabaya, dan semacamnya.

Kedua lebih ke faktor ekternal, yakni matinya aktivitas kesenian di Bangkalan, khususnya teater dan sastra diakibatkan tragedi yang menimpa sebuah sanggar sekolah yang tengah melakukan latihan alam di Pantai Siring Kemuning, Tanjungbumi, Bangkalan. Kala itu 9 siswa anggota teater tewas setelah menceburkan diri ke pantai untuk melakukan latihan alam. Pada peristiwa itu 1 orang hingga kini tak ditemukan jasadnya. Adik saya, adalah salah satu korban yang selamat namun mengalami trauma hingga berbulan-bulan. Tak mau bicara, enggan makan, dan hanya menangis tersedu-sedu. Parahnya lagi, setelah kejadian itu teater dan sastra di Bangkalan menjadi sangat menyedihkan, amat sepi, begitu menakutkan, ditolak dan dijauhi masyarakat.

Ketiga adalah masa saat Madura mati lampu hingga 3 bulan lamanya. Mati lampu dengan segala desas-desus yang meresahkan masyarakat. Momen ini juga dibarengi dengan isu ninja (santet yang mewabah). Tak ada aktivitas yang terjadi, selain pada setiap malam para lelaki menenteng celurit ke sana-sini. Siap menebas siapa saja yang mencurigakan.

Keempat adalah datangnya reformasi yang menegaskan suasana politik negeri yang hancur. Krisis moneter menjadi makin ruwet dan tak menjelaskan. Masa di mana saya dalam beberapa waktu ditolak melamar kerja.

Lalu yang kelima adalah konflik Madura Dayak tahun 2001. Peristiwa yang amat mengerikan tersaji. Betapa tidak, hampir sepanjang malam kala itu, saya berdiam diri sendirian di rumah. Sementara keluarga oleh pemeritah harus diungsikan ke Batuporon Kamal demi keamanan. Keluarga saya mengungsi, karena semua tahu, saya dan keluarga saya adalah orang Kalimantan, pendatang, bukan orang Madura.

Hal-hal di atas itulah yang membawa pengaruh terhadap diri saya untuk serius dalam menulis. Saya akui dari sanalah ide-ide berkarya muncul. Sebenarnya bukan karya barangkali, mungkin refleks emosi diri saja, karena lebih pada gerutu atau makian yang benar-benar ingin saya tumpahkan. Baik berupa puisi atau naskah-naskah drama. Walau pada dasarnya, segala yang saya tulis itu kerap bernada penyayangan semata, yang seolah bertanya “mengapa, mengapa, mengapa semua itu terjadi?”

Maka tak heran, berselang beberapa tahun kemudian sejumlah tulisan dapat saya kumpulkan, antara lain “Goresan Babat Kehidupan”, “Sampah Bicara Sejarah Hari ini”, “Sajak untuk Pacar Gelapku Roro”, “Lelaki Senja”, dan naskah teater berjudul “Insulinde” serta “Jalan ke Langit”. Puncaknya terbit buku puisi yang saya beri judul “Antologi Cinta”.

Tulisan-tulisan awal saya tersebut, sebenarnya adalah bagian yang lebih saya perhitungkan ketimbang karya-karya yang saya tulis akhir-akhir ini. Perannya jelas, karena tanpa tulisan-tulisan saya yang terdahulu, tak mungkin rasanya bakal lahir karya-karya lain yang saya buat, bahkan sampai hari ini. Selain disebabkan juga oleh peristiwa seperti yang saya maksudkan di paragraf kedua. Secara kualitas barangkali patut dipertanyakan, barangkali jelek, namun bagi saya itu tak penting dan tak terlalu saya risaukan.

Kualitas karya sejauh ini memang tak menjadi pengganggu. Saya percaya fenomena objektif pembaca. Ketika ditanya mana karya yang dianggap fenomenal? Tentu saya akan menunjuk tulisan-tulisan yang saya buat pada masa awal. Tak ada yang spesifik. Alasannya jelas. Sudah terpapar. Karena lagi, tujuan saya menulis juga tidak mencari kualitas atau ujung-ujungnya ingin terkenal dan disebut sastrawan. Tidak. Bahkan tidak sama sekali. Ada hal dan ruang yang membuat saya sedikit tahu diri. Walau pada perkembangannya, proses kreatif menulis yang saya lalui akhirnya berpapas dengan sistem yang di dalamnya terdapat perspektif kualitas seperti tergabungnya saya di Antologi Puisi Penyair Mutakhir Jawa Timur edisi Festival Seni Surabaya tahun 2004 yang dikuratori W Haryanto. Atau pada tahun berikutnya, tahun 2005, R. Giryadi yang memuat 5 puisi saya di Surabaya Post.

Saya tidak terlalu gembira dengan hal itu. Entah apa sebabnya. Mungkin karena belum ada di pikiran saya untuk berfokus bagaimana menulis karya sastra yang baik dan benar. Belum ada hal itu, belum saya rasakan yang begitu. Saya menulis, lebih banyak terjadi pada suatu keadaan langsung. Seperti pentas drama 1 babak. Misalnya sebagai contoh puisi berjudul “Di Atas Selat Madura” (2001), yang dimuat di Antologi Puisi Penyair Mutakhir Jawa Timur, yang disebut-sebut oleh pihak kurator seperti sebuah sajak yang ditulis seorang penyair besar, adalah puisi yang langsung jadi ketika itu. Saya buat puisi itu kala sedang duduk di atas kapal penyeberangan Ujung Surabaya menuju Dermaga Kamal, melihat sekitar, memandang keadaan, merasakan yang terjadi, lalu menuangkannya ke dalam kertas. Tak ada editan seperti yang kerap terjadi pada proses kreatif menulis zaman sekarang.

 

Kadang kapal yang berlabuh

kita sebut cerita

Di atasnya kita tandai pula

seindah kita bayangkan

: air berkelok, suara mesin kapal,

gambar orang-orang menangis

telah mengantarkan kita pada sebuah

kenangan masa datang

 

(“Di Atas Selat Madura”, Antologi Cinta, hlm. 21)

 

Itulah puisi yang saya maksud. Puisi yang saya tulis sebelum memutuskan untuk kuliah di tahun itu juga. Tepatnya bulan September 2001, mengambil jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Sebuah jurusan yang mempertemukan saya dengan seabrek teori sastra, aturan kebahasaan, kritik sastra dan semacamnya. Saya bersyukur lebih dahulu dipertemukan dengan proses kreatif menulis langsung, bukan dengan aturan atau tata cara menulis yang baik dan benar seperti yang diajarkan di bangku kuliah.

Lantas, seperti apakah karya-karya yang ditulis setelah mengeyam pendidikan di jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia? Adakah pengaruh yang merubah? Tentu, dan boleh saya tegaskan bahwa pengaruhnya lebih pada pilihan-pilihan suatu kondisi bagaimana memanajemen karya. Bukan pada keberlangsungan penciptaan karya. Misalnya lebih mengerti menempatkan karya berdasarkan aspek tematik, sehingga muncul antologi puisi “Sajak Tuhan”, Ollesia, Sepasang Mata Ayu, Tamasya Celurit Minor, Antropologi Hilang, Mendapat Pelajaran dari Buku, dan lain-lain. Beberapa pengantologian puisi yang arahnya lebih pada strategi agar tercipta lingkungan sastra yang kondusif, hidup, dan makin banyak diminati.

Menyeringkan agenda diskusi sastra juga merupakan pengaruh dari faktor pendidikan yang saya jalani. Muncul beberapa gerakan sastra seperti berdirinya Komunitas Masyarakat Lumpur bersama Rozekki, Bangkalan Membaca bersama Ahmad Faishal (Acong), Festival Puisi Bangkalan bersama Buyung Pambudi, Mancing Sastra bersama Joko Sucipto, Baca Puisi Na’kana’ Bhângkalan bersama Muzammil Frasdia, dan gerakan-gerakan memasukkan sastra ke dalam ruang seni rupa bernama Manifesto Idiot bersama Anwar Sadat, merupakan pengaruh dari aktivitas saya selama mengeyam pendidikan hingga menjadi tenaga pengajar di sebuah perguruan tinggi. Dan semua itu, berdampak positif mengingat perkembangan sastra di Bangkalan dari tahun ke tahun mengalami perkembangan luas dan asyik.

Barangkali, melewati itu semua, di aspek pendidikan, boleh jadi tipikal saya dalam menulis menjadi bergeser. Tapi sekali lagi, bergeser atau tidak, tak pernah saya perhatikan. Sebab, tanpa saya sadari. Kemudian pelan-pelan saya sadari, ada prinsip-prinsip yang tak bisa saya ubah dalam menuliskan karya sejak dari awal. Misalnya, berpikir untuk apa saya menulis, untuk siapa saya menulis, tak pernah saya pertanyakan itu. Saya meyakini saja, bahwa suatu saat, apa saja yang saya tulis, jadi karya sastra atau bukan, kelak pasti akan berguna.

Mungkin karena alasan tersebut, perlu saya akui, saya termasuk orang yang enggan mengirim karya ke media dalam rangka apa pun. Ada perasaan yang tak bebas, ada penghimpitan, ada yang tak dapat digapai, ada kejujuran yang hilang. Jika di suatu waktu saya ketahuan mengirimkan karya, hitunglah itu berangkat dari keterpaksaan yang tak bisa saya jelaskan di ruang ini.

Artinya, proses kreatif menulis yang saya jalani bukan ingin menyergap pengakuan, terkenal, dan dapat hasil dari itu. Tapi lebih sebagai sebuah jalan alternatif agar saya tetap bisa bertahan di ruang hidup yang kian hari makin gelap dan hancur bentuknya. Saya percaya, jalan sastra bisa menyelamatkan ketakberesan hidup saya. Jadi penuntun bagi saya mengarungi panjangnya ketiadaan.

Beruntung, pada suatu waktu saya dapat berjumpa langsung dengan KH. Mustafa Bisri di acara Muktamar Sastra 2018 di Sukorejo, Situbondo. Kesempatan yang indah, karena dari beliau saya mendapatkan pernyataan penting yang hingga kini tetap saya ingat. Yakni, “Sudah saatnya sastra menjadi panglima peradaban,” ujar beliau dari atas mimbar. Meyakinkan. Mengokohkan.

Sekali lagi perlu saya utarakan, bahwa saya menulis—untuk ruang apa pun, karena percaya bahwa seluruh kenyataan yang ada hanyalah fana. Yang bisa jadi abadi, mungkin segala hal yang penah kita upayakan untuk selalu dituang ke dalam tulisan, ke dalam tulisan, ke dalam tulisan. Dan, biarlah waktu yang membacanya.

 

Bangunlah engkau pagi-pagi

setelah itu bukalah jendela kamarmu

dari situ kau dapat menyaksikan betapa berat

hidup yang dipikul oleh orang-orang seperti kita

lalu melihatlah ke arah langit, dari situ kau juga dapat

mengepalkan kedua tanganmu tinggi-tinggi hingga

akhirnya kau mengerti bagaimana cara memaknai hidup

yang hanya terdiri dari tiga lembar peristiwa: kelahiran,

kesedihan, dan kematian. Itu saja.

 

(“Dari Jendela”, Antologi Cinta, hlm. 43)

 



[1] M. Helmy Prasetya, bernama administrasi M. Helmi, M. Pd. Pimpinan Komunitas Masyarakat Lumpur Bangkalan. Tenaga pengajar di STKIP PGRI Bangkalan.

Continue reading AUTOBIOGRAFI DRAMATIK: SEBUAH MULA DAN KEMUDIAN

05 Mei 2025

, ,

TH BUKAN INTERDENTAL

Ketertarikan saya pada bahasa Madura diinspirasi oleh satu mata kuliah saat S1 dulu. Leksikografi. Ya, itu berbeda dengan leksikostatistik. Leksikografi ilmu tentang teknik penyusunan kamus, sedangkan leksikostatistik terkait dialektologi yaitu ilmu pemetaan bahasa berdasarkan perbandingan penggunaan kata pada dua atau lebih daerah. Fungsinya untuk menentukan apakah dua daerah yang berdekatan menggunakan dua bahasa berbeda, beda wicara, beda dialek atau subdialek, atau menggunakan bahasa yang sama.

Kuliah itu sekitar 2003. Kira-kira. Saya sudah lupa tepatnya. Yang jelas di atas semester V. Pak Diding dosennya. Dari Unesa. Tapi, saya tidak ingin bercerita tentang itu. Cerita itu akan saya ceritakan tersendiri. Saya ingin melompat ke sekitar 2010. Awal lulus UGM dan mengajar di perguruan tinggi. Cerita ini seputar kamus bahasa Madura. Saya menulisnya dengan menggunakan ejaan terbaru. Sepertinya. Buku Manusia Madura karya Prof. Mien Ahmad Rifai saya gunakan sebagai.[1] Saya pikir itu ejaan dari Balai Bahasa Jawa Timur (waktu itu Balai Bahasa Surabaya) yang saat itu belum bisa saya peroleh.[2] Baru saya ketahui setelah saya mendapatkan salinan fail pdf setelah 2015 bahwa ternyata Pak Mien tidak menggunakan ejaan BBJT. Apa buktinya?



Ada beberapa perbedaan antara ejaan dalam buku Pak Mien dan BBJT. Untuk saat ini, saya hanya akan menceritakan tentang th dalam ejaan resmi. Ejaan ini dalam bahasa Inggris direalisasi sebagai bunyi interdental. Bunyi interdental adalah bunyi bahasa yang saat mengucapkannya, ujung lidah berada di antara gigi atas dan gigi bawah. Dalam Bahasa Inggris, ada dua simbol fonetik yang dipakai untuk melambangkan bunyi, yaitu [ð] seperti pada that, this, than dan [θ] seperti pada three, thirsty, sympathy. Th juga digunakan untuk transliterasi huruf Arab <ث> dengan realiasi bunyi interdental [θ].[3] Apa kaitannya dengan bukti?

Di buku Pak Mien, < th > pada ejaan BBJT ditulis < ṭ > dengan tanda diakritik titik di bawah. Apakah <th> mewakili bunyi yang sama dengan ejaan bahasa Inggris dan transliterasi Arab? Ternyata tidak. Dalam ejaan Madura Madura th mewakili bunyi bunyi retrofleks yaitu bunyi yang titik artikulasinya ada di langit-langit keras atau palatum. Mengapa berbeda?

Secara objektif saya lebih condong membenarkan ejaan Pak Mien. Sebab, tanda diakritik titik di bawah secara konsisten mewakili bunyi retrofleks seperti juga pada bunyi yang dieja ḍ. Sedangkan tambahan h mewakili bunyi aspirat seperti pada bh, dh, ḍh, gh, dan jh. Bunyi yang dieja th tentu bukan bunyi aspirat. Jadi, lebih baik ditulis sesuai dengan fungsi dari tanda secara konsisten. Pertanyaannya, dari mana dua ejaan ini berasal?

Karena bukan pelaku, saya hanya memperkirakan. Th pada ejaan BBJT kemungkinan berasal dari th dalam ejaan bahasa Jawa.[4] Sedangkan ṭ pada buku Prof. Mien Ahmad Rifai merupakan adaptasi dari ejaan pada kamus bahasa Madura-Belanda yang disusun oleh H. N. Kiliaan.[5] Kedua ejaan ini mewakili satu aksara caraka [].

Konsisten dengan pilihan, saya menggunakan ejaan tersebut dalam kamus yang saya tulis. Tentu dengan konsekuensi. Salah satunya, kamus tersebut akan berbeda ejaannya dengan ejaan yang berlaku. Guru bahasa Madura juga akan menyesuaikan pemahaman ejaan ketika menggunakan kamus yang saya tulis. Saya tetap pada pilihan sebab perbedaan ini tidak signifikan menciptakan kesulitan dalam membaca, yaitu semudah mengganti ṭ menjadi th. Seperti membaca buku ejaan lama dengan pemahaman ejaan baru.



[1] Mien Ahmad Rifai, Manusia Madura: Pembawaan, Etos Kerja, Penampilan, dan Pandangan Hidupnya seperti Dicitrakan Peribahasanya, (Yogyakarta: Pilar Media, 2007) Hlm. 51

[2] Tim Balai Bahasa Jawa Timur, Pedoman Umum Ejaan Bahasa Madura yang Disempurnakan Edisi Revisi, (Sidoarjo:Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur, 2012) Hlm. 1-4

[3] Ejaan ini bukan transliterasi versi Indonesia, tapi dari Standard Arabic System for Transliteration of Geographical Names hasil dari Eleventh United Nations Conference on the Standardization of Geographical Names di New York pada 8-17 August 2017

[4] Balai Bahasa Yogyakarta, Pedoman Umum Ejaan Bahasa Jawa Huruf Latin Yang Disempurnakan, (Yogyakarta:Kanisius, 2006) Hlm. 3

[5] H. N. Kiliaan, Madoereesch-Nederlandsch Woordenboek Tweede Deel, (Leiden: E.J. Brill, 1905) Hlm. 369

Continue reading TH BUKAN INTERDENTAL