10 Agustus 2025

, ,

SOUND HOREG, KAMUS, DAN DEFINISI OPERASIONAL: SALAH PAHAM ATAU PAHAM SALAH?

Muhri

Sound horeg haram. Begitu yang saya dengar di siaran TV yang saya tonton di YouTube. Saya tidak heran dengan hukum haram itu. Sudah pasti haram. Saya juga tidak akan mengulas tanggapan dari pelaku usaha sound system dengan predikat “horeg”.

Pernyataan haram itu muncul dari bahtsul masail se-Jawa dan Madura yang diadakan di Pasuruan. Kemudian diamplifikasi fatwa MUI Jatim yang sebenarnya suara dari tenggorokan yang sama. NU juga.

Di Pasuruan dinyatakan oleh KH. Muhibbul Aman Aly, musahhih pada bahtsul masail tersebut, bahwa sound horeg adalah sound system yang disetel dengan suara keras dan juga ada joget-jogetan di sekitarnya (Annajah Center Sidogiri, 2025:9:20). Sekilas tidak ada yang salah. Baru diketahui setelah viral dan menarik banyak komentar. Dalam siaran Catatan Demokrasi dari TvOne definisi itu ternyata salah.



Devid Steven Laksamana Perwira Yudha menjelaskan bahwa joget-jogentan bukan bagian dari sound horeg (TvOneNews, 2025:10:23). Penyedia jasa hanya menyediakan sound system. Bukan penarinya. Jadi istilah yang mungkin lebih baik adalah pawai sound horeg. Sepertinya sepele, tapi selisih pemahaman ini luas dipahami secara salah. Mereka menyaksikan sound itu ada dipengajian, ada di tablig akbar, panggung shalawat. Lalu duarr. Haram. Mereka bertanya-tanya awalnya.

Awam yang tidak terlalu terikat dengan agama tentu tidak sama dengan santri ketika menyikapi hal tersebut. Cara awam lebih impulsif dan emosional. Ulama yang seumur hidup mengkaji agama dan menekuni dalam sikap dan perbuatan, dicaci-maki di media sosial. Mereka tidak bisa membedakan antara sound horeg dan pawai sound horeg, sebab fatwa tersebut tidak menyebut kata pawai. Beda kata dan maksud.

Sound system dengan predikat horeg ini sebernarnya sound system biasa dengan kapasitas yang lebih besar. Kata horeg sendiri sebernarnya berasal dari bahasa Jawa yang diberi definisi 1. ubah gèsèr tmr bumi dan 2. ramé banget; gègèr  (Tim Balai Bahasa Yogyakarta, 2011:263) . Jelas bukan? Horeg mengacu pada suara nyaring dan getaran pada tanah. Memang, secara hukum tidak mengubah apa-apa. Tapi masyarakat awam bukan mereka yang membaca isi. Mereka hanya baca judul. Lalu menyimpulkan dan bereaksi. Apalagi kesalahpahaman ini dimanfaatkan media dengan mengolah kontroversi menjadi atensi. Ujung-ujungnya divaluasi menjadi penghasilan mereka. Siapa yang babak belur? Pesantren, MUI, dan tentu saja NU. Padahal, NU tidak mengeluarkan fatwa apa pun.

 

Referensi

Annajah Center Sidogiri. (2025). Di Balik Fatwa Haram Sound Horeg | KH. Muhibbul Aman Aly - Youtube. https://www.youtube.com/watch?v=RdizxSfizgE

Tim Balai Bahasa Yogyakarta. (2011). Kamus Basa Jawa (Bausastra Jawa) (2nd ed.). Kanisius.

TvOneNews. (2025). [FULL] Dikecam, Sound Horeg Difatwa Haram | Catatan Demokrasi tvOne - YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=ccGz4dd13Jg

Continue reading SOUND HOREG, KAMUS, DAN DEFINISI OPERASIONAL: SALAH PAHAM ATAU PAHAM SALAH?

04 Agustus 2025

MENCEGAH KEMUNGKARAN ITU TAK WAJIB BAGIMU

Jiwa muda dan kecintaan buta pada agama membuat selalu ada yang perlu diperjuangkan. Membela yang tertindas. Melindungi yang lemah. Nilai universar yang perlu diperjuangkan. Kadang-kadang saya berpikir mengapa orang yang katanya pintar mengabaikan sesuatu yang mungkar di depannya. Apa mereka apatis? Tidak peduli padahal mereka tahu itu salah? Pikiran buruk mengaduk otakku. Lalu mengapa mereka bicara berapi-api tentang kebenaran? Kemudian mereka terlihat seperti orang-orang picik yang pengecut. Mereka hanya tukang omong dalam pandanganku.

Sikap itu didukung latar belakang saya sebagai aktivis di beberapa organisasi mahasiswa. Mulanya, Himaba STKIP PGRI Bangkalan, lalu BEM, sebelumnya PMII. Terakhir paling banyak menyumbang sikap kritis itu.

Sikap kritis itu ditambah embel-embel lulusan UGM Yogyakarta. Saya lulus dari UGM akhir tahun 2009. Jadi dosen 2010. Januari tepatnya. Itu menjadikan saya satu-satunya yang berani mengkritik seorang dosen luar yang melakukan pelecehan verbal terhadap mahasiswi. Langsung kepada kaprodi dengan sms. Ternyata pelecehan ini juga dilakukan sebelumnya. Ada beberapa kesaksian termasuk dari salah seorang kerabat yang kuliah ditempat yang sama.

Lalu kebijakan-kebijakan ketua STKIP PGRI Bangkalan. Semua salah di mata saya waktu itu. Seolah hanya saya yang benar. Itu saya lakukan tanpa tahu tempat. Keburukan itu saya unggah di Facebook media sosial terbesar pada waktu itu. Di Facebook saya selalu mengunggah hal-hal yang berkaitan dengan politik. Semua orang bodoh di mata saya. Saya dengan bacaan yang banyak menghadapi mereka dengan banyak dalil. Mungkin mereka kalah. Tapi yang lebih mungkin mereka marah. Sesalah apa pun, tak banyak orang yang menerima salah. Saya menjadi pribadi yang menjengkelkan. Dikuatkan dengan pernyataan beberapa dosen yang dulu sentimen. Mereka bicara langsung beberapa waktu lalu.

Saya bahkan pernah diancam untuk diberhentikan. Itu kata sejawat saya. Ia mengatakan untuk menghadap ketua untuk minta maaf. Gila. Saya tidak sepengecut itu. Tak seperti dirimu. Dalam hati tentunya. Jika mereka mau pasti saya sudah dipanggil.

Puncaknya Bapak mendengar dan menasehati. Tak usah membela orang lain. Jika kau jatuh, orang hanya akan bisa iba. Paling hanya ucapan bela. Lalu bapak menyitir sebuah ungkapan, “kennengnga kennengngè, lakona lakonè”. Tempati tempatmu, kerjakan kerjaanmu. Begitu secara harfiah. Agak tidak nyambung dan terlalu sederhana. Tak bisa diterima oleh pikiran saya yang maju. Atau hanya ego? Yang jelas saya tetap pada pendirian. Bagi saya mencegah kemungkaran wajib. Dengan tangan, lisan, dan diam. Diam? Itu lemah.

Seperti FPI yang sweeping warung yang buka siang di bulan puasa. Itu contoh yang baik yang sesuai dengan pikiran saya. Saya membenarkan FPI dalam hal ini, tetapi tidak simpati. Ya mereka menyerang idola saya, Gus Dur.



Lalu takdir mengombang-ambing hidup saya. Satu kesalahan fatal membuat semua berubah. Saya belajar dari rasa sakit itu. Mulai memikirkan apa yang telah saya lakukan

Rupanya kennenggan dalam ungkapan itu mewakili posisi. Siapa saya. Seorang suami. Maka nahi mungkar saya adalah pada tanggung jawab saya. Istri dan anak. Tetangga? Mencegah dan mengubah kemunkaran tetangga urusan Pak RT. Warung buka di bulan puasa? Urusan bupati dan wali kota. Ada perdanya atau tidak? Jika tidak, maka tak ada yang berhak melarang sebab tak ada hukum yang dilanggar. Bagian ini yang banyak salah kaprah. Sibuk urusi politik nasional sedangkan di depan mata, politik lokal tingkat bupati saja tak bisa apa-apa. Bahkan mengatasi masalah keluarga terdekat tidak mampu.

Continue reading MENCEGAH KEMUNGKARAN ITU TAK WAJIB BAGIMU

28 Juli 2025

,

ANCAMAN AI DALAM MANCING SASTRA 55

Saat itu pulang dari Sreseh. Seperti sabtu sebelumnya, mengajar. Di jalan pulang, “Kalau tidak cap, saya hadir.” Saya sampaikan saat duduk di jok belakang.

“Tak usah dipaksakan.” Roz sesuai template.

Sampai di rumah (saya) maloros tengnga. Harfiahnya ‘meluruskan punggung’. Maksudnya mengistirahatkan punggung dengan merebahkan diri setelah duduk atau berdiri dalam waktu lama.

Sepulang Roz, salat dan kembali rebahan. Badan terasa panas. Mungkin sebaikanya tidak hadir. Sambil mendengar konten youtube di latar belakang, saya tertidur. Tak lama. Terbangun saat azan, bukan karena azan. Hmmm. Terasa segar. Mungkin ini yang disebut power nap. Saya pastikan ada perubahan pikiran.

Segera mandi, ritual asar, berangkat santai. Acara di rumah Helmi. Tak banyak yang hadir. Ada Pak Sahrul. Saya, Roz, Helmi dan Halim generasi di bawahnya. Joko konseptor acara tentu hadir. Alumni STKIP PGRI Bangkalan ada Alfa Rozi AF dan Ali Wafa. Selebihnya mahasiswa.







Acara dimulai pada 16.00 tak pas. 12 Juli 2025. Sekedar memastikan. Topik “Otomatisasi Berbasis AI dalam Kekaryaan: Apakah AI Caca Kèpa’?” Dengan tanda tanya dan ungkapan berbahasa Madura caca kèpa’. Sebelum lanjut saya jelaskan ungkapan untuk yang belum mengerti. Caca kèpa’. Ungkapan ini searti dengan ‘omong kosong’. Caca berarti omongan atau ucapan dan kèpa’ artinya gabuk atau hampa. Kèpa’ berlaku untuk padi atau biji dan buah yang tidak ada isinya atau tidak bernas.

Halim menyampaikan gagasan. Sayangnya tanpa teks. Maklum hanya digagas dalam waktu singkat. Salah satu pertanyaan dalam pemaparannya adalah apakah AI itu ancaman.

Acara selanjutnya sesi diskusi. Alhamdulillah, mahasiswa yang hadir aktif berpendapat dan bertanya juga.

Samsul, mahasiswa semester akhri, misalnya menanyakan bagaimana membedakan karya yang dibuat AI atau bukan. Sebelumnya saya menanggapi tentang AI sebagai ancaman. Saya berpendapat semua yang baru itu pasti mengancam yang lama. Alat berburu yang semakin canggih mengancam kepunahan hewan. AI juga mengancam pekerjaan manual oleh manusia. AI sudah ada, ancaman itu nyata. Tapi, bukan untuk dihindari, tetapi untuk diatasi.

Joko seperti biasa. Dengan semangat meluap-luap ia ingin memahami AI. Bahkan membuatnya. Saya suka semangatnya. Namun, yang mungkin terlupa dengan tanpa latar belakang kemampuan pemrograman komputer berapa lama ia harus belajar? Selain itu perlu fokus, tim solid, dan biaya. Abaikan kebutuhan rumah tangga, misalnya. Mungkin dengan proses yang lebih panjang, “proyek” itu berhasil. Akan tetapi, yang mungkin luput adalah saat proses itu berlangsung, bukankah AI terus lahir dan berkembang? Apakah proses lambat ini berhasil di waktu yang tepat atau malah sebaliknya menjadi tidak relevan?




Acara ditutup menjelang magrib. Sebagian pulang. Sebagian besar tinggal dan salat satu-satu. Maklum tempat terbata. Yang lebih lama plot selanjutnya. Bincang santai dalam suasana informal. Saya pulang pukul 20.30.


(Muhri)

Continue reading ANCAMAN AI DALAM MANCING SASTRA 55

21 Juli 2025

SURO DAN BULAN MULIA

Muhri

 

Kedekatan saya dengannya dimulai dari sebuah pelatihan di PSBB MAN Bangkalan, ruangan aula, bengkel, dan asrama di selatan MAN Bangkalan. Salaman seperti biasa. Mengobrol. Saya sangat canggung seperti katak baru keluar dari tempurung.

Belum satu jam setelah acara dimulai ia mengajak saya ikut. Dengan Shogun 2001 hitam, saya berangkat ke Unibang, sebelum menjadi UTM. Sebuah seminar. Pak Suro diundang. Saya hanya menjadi “tukang ojek”. Pembicara saat itu Prof. Dr. Abdul Latief Wiyata, S.U. dan D. Zawawi Imron. Temanya Trunojoyo yang akan dijadikan nama kampus negeri di sebelah selatan Bangkalan tersebut. Pak Suro dengan pemahamannya mengomentari pembicara saat sesi tranya-jawab. Dan, ini yang saya suka. Tak peduli kata orang, dengan percaya diri penuh disampaikan semua yang ada di kepala. Sebuah sikap yang tidak bisa saya lakukan, terhalang rikuh dan perasaan selalut takut salah.



Selanjutnya melompat ketika saya menjadi ketua BEM STKIP PGRI Bangkalan. Dalam memperingati tahun baru Hijriyah. Saya sudah lupa BEM memformat acara seperti apa? Sudah lama sekali. Tapi tidak terlalu ramai. Mahasiswa terpecah dua kegiatan. Yah, Pak Suro mengadakan kegiatan di pantai daerah Maneron. Ia beralasan sudah menjadi kewajiban baginya untuk ritual Suro, nama lain dari bulan Muharram. Orang Madura menyebutnya Sora atau Jhinpeḍḍhis. Saking terobsesi dengan Muharram ia ingin nama panjangnya disingkat Suro. Nama ini juga dilekatkan pada karya-karyanya termasuk karya prosa lirisnya berjudul Sumairah.

Selanjutnya, ketika saya lulus. Ini percakapan dengan beberapa teman. Saya mengkritik sistem kritik sastra yang dilakukan olehnya. Mewajibkan mahasiswa membeli buku puisinya kemudian dijelaskan tafsirnya. Saya tentu menanyakan, ia sebagai penulis atau kritikus? Ini juga yang disalahpahami Muhlis. Seorang kritikus bisa menjadi penulis. Tapi, kritikus tidak mengkritik karyanya sendiri. Itu pendapat saya. Dulu. Kini pun demikian. Saya tidak menyadari kekeliruan itu membantu saya mendapatkan karya puisi yang ditulisnya. Adik sepupu saya diwajibkan membeli. Buku itu menjadi salah satu buku yang menolong saya dalam penelitian sejarah sastra.

Akhirnya, saya menjadi rekan kerja sebagai dosen mulai Januari 2010. Beliau tidak berupah banyak. Tetap egaliter dan “berani”. Kini, ia telah meninggalkan sastra, hanya mengurusi silat. Jadi senior.

 

(draf)


Continue reading SURO DAN BULAN MULIA

14 Juli 2025

FGD NGEMIS: SEBUAH REPORTASE

Hari Minggu, 13 Juli 2025. Berangkat dengan Roz ke Resto Dhin Aju Suramadu. Naik sepeda motor. Saya bonceng di belakang. Sambil ngobrol berat sesuai dengan bunyi shockbreaker yang sepertinya kelelahan menahan beban. Tentu dengan gojlokan. Ya sepeda Blade itu tampak tidak kuat menahan beban kami yang di atas 70 dan 80 kg.

Setiba di sana saya sadari belum banyak yang hadir. Salaman dengan Lukman, pemateri dari Jawa Pos Radar Madura. Kami duduk di luar. Cukup lama sebelum saling mengajak untuk masuk. Acara baru mulai pukul 09.50.

Setelah menyanyikan lagu indonesia raya, acara dilanjutkan dengan sambutan dari Disbudpar Bangkalan yang diwakili Hendra Gemma. Sambutan selanjutnya oleh Muhlis sebagai penerima hibah dan pengundang.



Acara FGD dimulai setelah sambutan. Materi pertama Muhlis dengan menyajikan beberapa slide dengan tulisan, gambar, dan rekaman film. Isinya tentang “ritual” ngemis[1] yang ternyata berisi syair. Dalam slide itu juga tertulis mamaca sebagai sastra lisan. Untuk mamaca sudah pasti bukan sastra lisan sebab pasti ada teks. Sedangkan syair secara umum berasal dari tradisi tulis, baik syair arab maupun syair melayu. Muhlis mengargumenkan kata anonim sebagai patokan. Padahal dalam tradisi tulis pun juga terdapat ciri anonim juga. Selain itu, ada sifat dinamis yang menunjukkan bahwa tradisi lisan sebagian besar bukan hafalan. Yang diwariskan hanya pakem, misalnya seperti wayang, mendongeng, dsb. Jadi dalam konteks penelitian tersebut, syair yang dibawakan adalah tradisi lisan yang diwariskan tanpa teks dan bersifat anonim.

Selanjutnya Pak Hidrochin Sabarudin. Syair Reng Emmès sebagai pembahasan. Terjadi kerancuan istilah sebenarnya. Ngemmès pada dasarnya berasal dari kemmès. Dalam bahasa Indonesia pengemis dan mengemis memiliki akar kata yang sama kemis, dari bahasa Arab yang menamai hari kelima dalam bahasa tersebut yaitu khamis. Dengan penelitian ini menjadi makin jelas bahwa ngemmès itu merupakan verba turunan dari kemmès, misalnya meminta-minta di kuburan pada kamis malam jumat atau dalam konteks FGD ritual malam kamis. Dalam bentuk nomina kemmèsân. Sebentuk dengan ahadhân, sennènan, rebbhuwân, jhum’adhân, dsb yang berarti diadakan rutin pada hari tersebut.

Ahmad Faishal (Acong) menyampaikan dari sudut pandang dramaturgi. Saya tidak setuju bahwa ngemmès pada hibah ini merupakan dramaturgi dalam arti khusus. Namun, menjadi masuk dan klik mengingat konteks acaya yang berbentuk FGD. Mendalami fokus kajian dari berbagai sudut pandang. Apalagi ketika Acong menyajikan data pembanding dalam slide-nya. Sayangnya, tidak ditampilkan data teks ritual. Tidak disampaikan bentuk data apakah syair, berbahasa Madura atau bukan?

Lukman menyajikan presentasi yang lebih umum. Tentang banyak hal yang berkaitan dengan budaya Madura secara umum. Termasuk pernyataan bahwa anak sekarang sudah berbeda. Tentu tentang budaya Madura timur yaitu Sumenep.

Sesi selanjutnya adalah diskusi. Respon pertama sebuah pertanyaan. Padahal FGD merupakan diskusi dalam fokus tertentu. FGD merupakan forum dikusi kelompok terpumpun yang merupakan salah satu cara untuk memperoleh data atau memvalidasi data kualitatif. Peserta FGD seharusnya dari latar belakang majemuk yang berkaitan dengan fokus pembicaraan. Jumlah peserta seharusnya tidak terlalu besar.

Saya mendapat giliran kedua. saya menanggapi ngemmès dari sudut pandang etimologi. Ngemmès sebenarnya terkait dengan ritual tertentu, misalnya peminta-minta di makam keramat, dsb. Kemudian istilah ini diberlakukan pada semua peminta-minta. Padahal kata ngemmès sendiri berasal dari bahasa Arab. Artinya, masuk sebagai bagian dari penyebaran Islam. Lalu tidak adakah peminta-minta sebelum itu. Ada. Tapi tradisi ngemmès ini diperkirakan terjadi setelah kemerdekaan. Sebab pada masa kolonial, Belanda sangat sensitif dengan orang berkumpul. Selain itu, dalam kamus Madura-Belanda kata kemmès hanya berarti hari yaitu donderdag ‘Kamis’.[2] Definisinya pun singkat. Tidak ada bentuk turunan dalam lema tersebut. Saya sempat mencari di lema lain. Kata ngemmès sebagai lema juga tidak saya temukan. Ternyata ada di mès atau emmès dengan lema tersendiri.[3]

Lalu untuk peminta-minta yang datang ke rumah-rumah? Bukan hari atau malam kamis? Bhurmaèn. Dalam kamus tertulis bhurumaen atau bhuru’maèn. Dalam bahasa Sunda bermaen.[4]

 



[1] Tulisan yang benar ngemmès

[2] H.N. Kiliaan, Madoereesch-Nederlandsch Woordenboek Eerste Deel, (Leiden: E.J. Brill, 1904), p.269

[3] H.N. Kiliaan, Madoereesch-Nederlandsch Woordenboek Tweede Deel, (Leiden: E.J. Brill, 1905), p.200

[4] S. Coolsma, Soendaneesch-Hollandsch Woordenboek, (Leiden: Sijthoff, 1884), p. 42

Continue reading FGD NGEMIS: SEBUAH REPORTASE

07 Juli 2025

, , ,

ANTOLOGI PUISI CANTING KENANGAN: KUMPULAN PUISI MUHLIS AL-FIRMANY

Muhlis Al-Firmany bukan nama baru dalam gerakan seni di Bangkalan. Kiprahnya dalam dunia seni teater dan sastra dimulai pada pertengahan 2000-an. Ia berteater, bersastra, bahkan menggarap film-film pendek yang digarap dengan baik. Kali ini disajikan puisi-puisi Muhlis tahun 2010-an yang terkumpul dalam buku Antologi Puisi Canting Kenangan[1]. Dalam artikel ini dipilih puisi-puisi lanskap yang menggambarkan pengalaman batin penulis dengan tempat-tempat ikonik di Bangkalan.



Selamat Menikmati.

 

sungai tangkel[2]

 

kecantikan alamimu

kami abaikan dari sekian lama perjalanan kami melintasimu?

 

kini, kau beda.

mungkin, sebagai bentuk pembalasan pada zaman

atau orang-orang berencana lain dengan keberadaanmu?

 

aku tak menahu.

tapi, cara orang-orang memperlakukanmu

menuntut kami bertanya-tanya.

 

kami akui, kami salah; mengabaikanmu,

paling tidak sekedar mengingat namamu saja kami enggan.

padahal kami harus menyeberangimus;

ratusan, bahkan ribuan kali. tak terhitung.

tapi, satu kali saja beri jawaban pasti pada kami.

kami yang dusta, kami yang jenaka datang ke sebuah kota;

menemui mimpi, menemui sepi berakar perkara. bungkam.

menyengsarakan.

 

kenapa kau diam?

 

diammu banyak membidik. hati-hati.

kelak, mungkin kau akan lebih cantik.

tangan-tangan mendandanimu sebagai permaisuri,

bahkan bisa saja pemujamu dari negeri lain?

 

atau kau akan bernasib lain;

sebagai tempat pebuang segala kotoran.

tersumbat, tak lagi bernafas. sesak.

karena mata-mata mulai terpikat.

terangsang oleh tubuh lain.

tubuh erotis.

tubuh-tubuh berlipstik.

bermata kilau.

 

kilau kekasihku,

kini membentang di tengah selangkang lautan.

 

takdir: menemuinya, sama dengan meraba gelap.

kita amini segala yang terjadi.

 

Bangkalan, April 2010

 

 

pecinan

 

pecinan, kusebut kau demikian.

 

bangunan-bangunanmu kokoh. diam, merapat.

dan sengau melompat dari lubang-lubang sempit;

jejer bagunan ini milik sisa yang terus meminta pertukaran

rahasia.

 

mungkin soal siul kalah.

atau anak-anak gadang lena akan aroma kembang api.

kembang-kembang tani bermandi padi.

bernyanyi puisi.

berlari dari bibir pelangi.

 

kami, darah pribumi

tak pernah mengerti perempuan bercermin

tirani atau dinasti bertarih birahi.

 

ah, kemarin, iya kemarin

kau masih mengajakku jalan-jalan.

 

gelisah membuatku enggan menginjak kedewasaan,

mengingat peta terus retak:

timur dan barat sama-sama berhianat.

 

kaki-kaki menjadi dekil. gigil.

merubah nasib lebih ajaib,

mungkin dongeng kecil,

kecil kami memakan rodi-rodi yang kau tunggangi

dari negeri kincir angin atau negeri tirai bambu.

 

aku benar-benar tidak menahu.

sesempit inikah tanah kita?

sekerdil apakah bangsa kita?

kita sudah lama merdeka bukan?

melampaul ramalan rasi bintang.

 

sesudah ini, merpati-merpati putih kita terbangkan

dari perkampungan nelayan, terlupakan.

bila ia kembali pulang,

kita siapkan sangkar berjeruji bulan.

kita sekap dengan manikam.

rayuan paling tajam.

 

pecinan, kau tarian paling kilau,

kilau penuh sengatan.

 

Bangkalan, April 2010

 

 

gunung geger[3]

 

klaras, umbul-umbul itu akan muncul kelak, anakku.

 

kini kami sudah besar, eyang, tutur katamu ngiang.

gigil, dalam diam. dalam-dalam. semai menuai;

benar atau salah keyakinan kau endapkan dari tanah lampau

hingga petualang nafas kami sampai di sini?

 

tutur cerita kehamilan potreh koneng

meringkuk sunyi di dekapanmu?

pelarian atau pertapaan adalah jejak buram,

sebab dongeng kami, ia tak bersuami?

 

di atasmu, bebatuan planang tak semestinya tercipta sendirian?

kami hanya menyebutmu: kelelakian sejati.

sepi seperti basah pipi nyai-nyai dihianati nasib.

 

ah, wujud tuhan terlalu rahasia untuk kami tafsir.

dan kami patuhi bahwa ratu adil akan muncul ke bumi?

 

ketinggianmu juga terlalu kami yakini sebagai awal mula

timbulnya pulau garang. gersang, asinnya-pun kilau.

mengalir sengau darah-darah tanah seberang.

berpulang sehabis menukar jalan perang.

perang tak pernah menemui ujung pangkal.

 

kami sangsi.

kami generasi mati.

 

Bangkalan, April 2010

 



[1] Muhlis Al-Firmany, Antologi Puisi Canting Kenangan (Bangkalan:Pagar Bambu, 2012) Hlm. 1-17

[2] Sungai Tangkel sungai penghidupan masyarakat Bangkalan, terletak di Kecamatan Burneh.

[3] Gunung Geger bukit/gunung tertinggi di Pulau Madura. Gunung di bagian selatan bebatuannya berbentuk Planang/alat kelamin laki-laki. Gunung ini oleh sebaga masyarakat Madura, diyakini tempat akan munculnya Ratu Adil kelak.

Continue reading ANTOLOGI PUISI CANTING KENANGAN: KUMPULAN PUISI MUHLIS AL-FIRMANY

30 Juni 2025

,

SURO, SEJARAH, DAN DENDAM

 

Muhri

Ini tentang buku sejarah sastra. Yang telah terbit Sejarah Ringkas Kesusastraan Indonesia (2014). Sebuah buku ajar Jumlah halaman 80-an. Sesuai judul. Yang jadi pertanyaan, dari 50-an mata kuliah dari kurang lebih 8 mata kuliah yang saya ampu, mengapa sejarah sastra? Mengapa bukan teori sastra, sosiologi sastra, atau yang lain? Dulu mata kuliah ini salah satu mata kuliah yang “gagal” saya kuasai. Buku saya beli. Sedikit saya baca. Tetap saja C. Antara 60-69. Tak sampai 70. Ada yang salah?



Jelas tak ada. Tak ada yang salah. Tapi kok seperti balas dendam kesannya? Dulu gagal sekarang malah nulis buku itu. Ironis, bukan?

Sejarah sastra terjadwal semester satu dulu. Anda tahu siapa saya pada semester itu? Kuper, canggung, minder, pasif, dan segala jenis karakter introvert yang tertutup. Ditambah kenyataan bahwa saya alumni pesantren yang cenderung mengecilkan pelajaran “umum”. Jelas kombinasi yang padu untuk menghasilkan nilai tersebut. Namun, tidak semua benar. Meskipun alumni pesantren dan terobsesi dengan ilmu “agama”, saya tetap berpikir sebagai manusia dunia yang harus memuat pandangan universal.

Tak hanya itu. Move on. Saya mudah menerima kenyataan. Kecewa sudah jadi jalan wajib alur pendidikan saya. Dari TK inginnya ke SDN Langkap 2. Eh malah diplot ke SDN Langkap 4. Selesai SMA maunya mondok. Atau IAIN? Gagal dua-duanya. Bahkan ke Unibang (sekarang UTM). STKIP PGRI Bangkalan alternatif terakhir. Tak ada pilihan lain ketika orang tua tak “mengizinkan”. Biaya. UGM? Juga. Saya lebih suka linguistik. Ternyata, beasiswa S2 guru bahasa Indonesia diarah-wajibkan masuk ilmu sastra.

Sejak masuk kuliah, saya terinspirasi untuk selalu membaca. Itu hal lain. Dulu saya rajin beli buku di pasar Minggu. Kami menyebutnya ahadhân. Lapak-lapak lesehan. Buku umum seperti kamus, rumus matematika, novel populer karya Fredy S. dan buku lain yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Tak masuk mata pelajaran atau suplemen kecuali kamus dan rumus. Pada masa kuliah ini saya menemukan tempat untuk mengeksplorasi ilmu. Saya lebih giat lagi. Tiga buku seminggu. Seingat saya. Ternyata, bisa. Mau apa lagi. Sebagian besar waktu kosong. Kecuali, tentunya, saat mengajar pagi hari.

Tentu tidak semua dibaca dimengerti. Teori jejak. Itu yang saya pegang. Memori yang tersembunyi sekalipun akan muncul kepermukaan jika ada pemantiknya. Seperti menimbun kata-kata, pernyataan-pernyataan, dan pemahaman yang tertunda. Selain fakta bahwa satu buku mendukung dan berkait-kelindan dengan buku yang lain. Asal, tentu saja masih dalam satu frame. Satu bingkai.

Oh ya. Ada lagi. Sosok Pak Suro. Dosen saya yang masih S1. Hampir semua. Dulu tak masalah. Pada prinsipnya saya berbeda dengan beliau. Tetap saja ada sesuatu dari beliau yang menginspirasi. Soal keburukan saya kembalikan pada Tuhan untuk menilai dan menanggapi. Atau menghukum? Yang jelas kedekatan. Seperti tak ada jarak. Mengobrol santai seperti teman. Tertawa lepas dalam gurauan. Bagusnya saya santri. Tak ada langka. Meskipun kata ini problematis. Saat di Barat mendebat guru dengan konsep yang bagus dianggap keunggulan, di sini itu tak sopan. Absurd bukan?

Satu lagi. Mokong. Dalam konteks positif. Dilakukannya semua yang dia suka. Bukan dari tekanan, bebas. Jika ingin mengkaji Madura dikumpulkannya semua buku yang mendukung. Jika ingin sesuatu dikejarnya. Tak peduli kata siapa. Ini yang saya suka. Orang lain selalu menjadi racun bahkan pemberat jalan hidup. Yang benar tapi tak jamak dibatalkan atas nama kata “Apa kata orang?”. Sopan santun yang picik, senyum yang menyimpan kebencian, ikut atas nama persahabatan terkesan mewakili satu kata. Munafik.

Narsis. Itu juga salah satunya. Ini bertolak belakang dengan saya. Paling tidak saya mencoba sedikit menirunya.

Jelas bukan? Move on, inspirasi, dan suka. Itu sebabnya. Bukan dendam. Selain tiga motif itu? Hanya Tuhan yang lebih tahu.

 

(Draf)

Continue reading SURO, SEJARAH, DAN DENDAM