30 Juni 2025

,

SURO, SEJARAH, DAN DENDAM

 

Muhri

Ini tentang buku sejarah sastra. Yang telah terbit Sejarah Ringkas Kesusastraan Indonesia (2014). Sebuah buku ajar Jumlah halaman 80-an. Sesuai judul. Yang jadi pertanyaan, dari 50-an mata kuliah dari kurang lebih 8 mata kuliah yang saya ampu, mengapa sejarah sastra? Mengapa bukan teori sastra, sosiologi sastra, atau yang lain? Dulu mata kuliah ini salah satu mata kuliah yang “gagal” saya kuasai. Buku saya beli. Sedikit saya baca. Tetap saja C. Antara 60-69. Tak sampai 70. Ada yang salah?



Jelas tak ada. Tak ada yang salah. Tapi kok seperti balas dendam kesannya? Dulu gagal sekarang malah nulis buku itu. Ironis, bukan?

Sejarah sastra terjadwal semester satu dulu. Anda tahu siapa saya pada semester itu? Kuper, canggung, minder, pasif, dan segala jenis karakter introvert yang tertutup. Ditambah kenyataan bahwa saya alumni pesantren yang cenderung mengecilkan pelajaran “umum”. Jelas kombinasi yang padu untuk menghasilkan nilai tersebut. Namun, tidak semua benar. Meskipun alumni pesantren dan terobsesi dengan ilmu “agama”, saya tetap berpikir sebagai manusia dunia yang harus memuat pandangan universal.

Tak hanya itu. Move on. Saya mudah menerima kenyataan. Kecewa sudah jadi jalan wajib alur pendidikan saya. Dari TK inginnya ke SDN Langkap 2. Eh malah diplot ke SDN Langkap 4. Selesai SMA maunya mondok. Atau IAIN? Gagal dua-duanya. Bahkan ke Unibang (sekarang UTM). STKIP PGRI Bangkalan alternatif terakhir. Tak ada pilihan lain ketika orang tua tak “mengizinkan”. Biaya. UGM? Juga. Saya lebih suka linguistik. Ternyata, beasiswa S2 guru bahasa Indonesia diarah-wajibkan masuk ilmu sastra.

Sejak masuk kuliah, saya terinspirasi untuk selalu membaca. Itu hal lain. Dulu saya rajin beli buku di pasar Minggu. Kami menyebutnya ahadhân. Lapak-lapak lesehan. Buku umum seperti kamus, rumus matematika, novel populer karya Fredy S. dan buku lain yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Tak masuk mata pelajaran atau suplemen kecuali kamus dan rumus. Pada masa kuliah ini saya menemukan tempat untuk mengeksplorasi ilmu. Saya lebih giat lagi. Tiga buku seminggu. Seingat saya. Ternyata, bisa. Mau apa lagi. Sebagian besar waktu kosong. Kecuali, tentunya, saat mengajar pagi hari.

Tentu tidak semua dibaca dimengerti. Teori jejak. Itu yang saya pegang. Memori yang tersembunyi sekalipun akan muncul kepermukaan jika ada pemantiknya. Seperti menimbun kata-kata, pernyataan-pernyataan, dan pemahaman yang tertunda. Selain fakta bahwa satu buku mendukung dan berkait-kelindan dengan buku yang lain. Asal, tentu saja masih dalam satu frame. Satu bingkai.

Oh ya. Ada lagi. Sosok Pak Suro. Dosen saya yang masih S1. Hampir semua. Dulu tak masalah. Pada prinsipnya saya berbeda dengan beliau. Tetap saja ada sesuatu dari beliau yang menginspirasi. Soal keburukan saya kembalikan pada Tuhan untuk menilai dan menanggapi. Atau menghukum? Yang jelas kedekatan. Seperti tak ada jarak. Mengobrol santai seperti teman. Tertawa lepas dalam gurauan. Bagusnya saya santri. Tak ada langka. Meskipun kata ini problematis. Saat di Barat mendebat guru dengan konsep yang bagus dianggap keunggulan, di sini itu tak sopan. Absurd bukan?

Satu lagi. Mokong. Dalam konteks positif. Dilakukannya semua yang dia suka. Bukan dari tekanan, bebas. Jika ingin mengkaji Madura dikumpulkannya semua buku yang mendukung. Jika ingin sesuatu dikejarnya. Tak peduli kata siapa. Ini yang saya suka. Orang lain selalu menjadi racun bahkan pemberat jalan hidup. Yang benar tapi tak jamak dibatalkan atas nama kata “Apa kata orang?”. Sopan santun yang picik, senyum yang menyimpan kebencian, ikut atas nama persahabatan terkesan mewakili satu kata. Munafik.

Narsis. Itu juga salah satunya. Ini bertolak belakang dengan saya. Paling tidak saya mencoba sedikit menirunya.

Jelas bukan? Move on, inspirasi, dan suka. Itu sebabnya. Bukan dendam. Selain tiga motif itu? Hanya Tuhan yang lebih tahu.

 

(Draf)

Continue reading SURO, SEJARAH, DAN DENDAM

23 Juni 2025

, ,

LEKSIKOGRAFI DAN KAMUS YANG TAK PERNAH SELESAI

 Muhri


Kamus Madura-Indonesia Kontemporer terbit pertama kali tahun 2014. Itu berdasarkan ISBN. Saya perbaiki pada 2016 dengan tambahan lema. Hanya sekitar 2500 lema atau entry. Tak banyak. Lalu saya lanjut untuk membuat edisi berikutnya. Sayangnya, bukan edisi baru yang saya susun tapi buku baru. Melanjutkan kamus 2014 tapi dengan bentuk format yang berbeda jauh. Rencananya saya terbirkan 2025 dengan judul Kamus Progresif Madura-Indonesia. Sudah saya cek similaritas (similarity check) dengan hasil 16% kesamaan dengan kamus 2014 yang saya unggah online di laman STKIP PGRI Bangkalan.

Kamus-kamus itu saya tulis mulai tahun 2010. Beberapa bulan setelah saya lulus S2 Ilmu Sastra FIB UGM Yogyakarta. Mengapa kamus? Mengapa bukan sastra? Mungkin itu pertanyaan yang muncul.

gambar dibuat dengan Ms Designer

Sebenarnya pada tahun yang sama saya juga menerbitkan Sejarah Ringkas Kesusastraan Indonesia. Sebuah buku ajar yang tebalnya kurang dari 80 halaman. Mengapa bisa dua dalam satu tahun? Sebenarnya itu ditulis selama lima tahun dengan cara iseng. Yah, jika sedang mood saja.

Oh ya… Maaf terdistraksi. Saya tidak akan menceritakan kamus itu. Saya ingin mengingat kembali sebuah babak dalam hidup saya terkait kamus. Antara 2003-2004 masa kuliah semester atas. Ada mata kuliah leksikografi. Pak Diding yang mengampu. Relasi kami tidak istimewa. Mungkin beliau telah lupa dengan saya. Saya juga tidak akan menceritakan apa pun yang buruk tentang beliau dalam pandangan saya. Inspirator yang mengenalkan pada kamus, seperti Pak Suro Wahono yang mengenalkan pada sejarah sastra. Dengan cara ekstrem dan tentu tidak komprehensif. Tentang sejarah sastra dan Pak Suro akan saya tulis dalam cerita yang berbeda.

Beliau, Pak Diding, tidak memberikan kuliah dalam bentuk teks atau konsep. Hanya menugaskan untuk menyiapkan teks bahasa Indonesia. Lalu meminta untuk menerjemahkan ke dalam bahasa Madura. Setelah itu beliau meminta mahasiswa menyiapkan kertas berukuran 15x10 cm, lebar 15 & tinggi 10. Sebagai kartu data tentunya.

Kartu tersebut bagian kiri atas ditulis kata bahasa Madura pada teks sebagai lema. Di bawahnya agak ke tengah arti dalam bahasa Indonesia. Di bawah arti kalimat yang memuat lema tersebut. Jika ada kata yang sama pada kalimat lain bisa dianalisis kesamaan dan perbedaan artinya. Jika nuansa artinya berbeda maka ditulis di kartu yang berbeda. Demikian juga bentuk turunan ditulis dengan kartu yang berbeda. Hasil kartu data tersebut diurut berdasarkan abjad pada lema.

Oh iya… Ada yang lupa. Di bawah lema atau bentuk turunan ditulis simbol fonemik dengan diapit tanda garis miring (//). Fonemik, bukan fonetik. Tentu bingung mencari simbol itu di komputer. Bagusnya ada Mas Budi Rahman yang mengerti pengetikan. Itu pakai word versi lama sebelum 2003 dengan menu dan dropdown yang tidak sepraktis hari ini. Praktis yang mengetik Mas Budi. Saya cuma bantu. Maklum, SDM rendah.

Tugas selesai dalam bentuk buku dengan jilid lakban. Tebal sekitar 90 halaman tanpa bolak balik. Ukuran A5 dengan memotong Folio HVS menjadi dua. Diprin, bukan foto kopi. Yang lain sumbang dana. Rugi?

Sebuah keuntungan yang baru saya sadari hari ini. Saya menulis kamus dengan Ms Office yang lebih canggih. Seorang dosen menukas bahwa kamus bahasa Madura sudah ada. Tentu yang dimaksud karya Mas Adrian Pawitra.

Saya tidak ingin berdebat. Dalam tulisan ini saya ingin berargumen. Kamus Mas Adrian tidak menyajikan aspek-aspek tertentu dalam kamus. Tak mencantumkan kelas kata, terjemahan sering hanya sinonim. Selain itu kamus tersebut hanya mengambil atau menerjemah sebagian besar dari kamus H.N. Kiliaan yang dalam bahasa Belanda.

Satu hal yang terutama terlupa dan tidak tergambar dalam kamus Mas Adrian. Sebuah kamus yang hidup bernafas. Sebab selama manusia Madura masih menggunakan bahasa Madura, selama itu juga tidak ada kata finis. Karena itu ada kata “progresif” dalam kamus yang akan saya terbitkan. Tentu tidak selengkap karya Mas Adrian. Kamus itu sementara sekitar 9000 lema. Selisih 1000 lema dengan kamus yang disusun Mas Adrian.

Selain itu, kamus bukan hasil penelitian yang mensyaratkan novelty atau kebaruan. Jika ini dianggap salah, maka tidak akan ada kamus bahasa Inggris dari Cambridge, Oxford, Merriam-Webster, dsb. Apalagi, kamus ini akan terus saya kembangkan sampai deadline yang sebenarnya. Batas kematian. Ups! Maaf terlalu serius.

Wallahu a’lam bi al-sawab

 

(Teks ini, seperti cerita sebelumnya, hanya draf. Perbaikan akan dilakukan dalam versi cetak yang nanti akan diterbitkan dalam bentuk PDF atau mungkin print out.)

Continue reading LEKSIKOGRAFI DAN KAMUS YANG TAK PERNAH SELESAI

16 Juni 2025

,

KAMUS SINGKATAN DAN AKRONIM

Kamus ini ditulis untuk memberikan saluran bagi peneliti yang ketika memasukkan kutipan selalu dihadapkan pada, "Bukunya mana?", "Laman web tidak bisa dijadikan rujukan", dan pernyataan lain yang sebenarnya bisa dibantah. Akan tetapi relasi antara mahasiswa dan dosen tidak dalam posisi setara. Dosen seolah-olah selalu benar dan tidak bisa dibantah. Meskipun ada AI dosen tetap meminta referensi pakem. Apalagi ada dosen yang sangat anti dengan AI.


Buku ini saya gunakan sebagai alat bantu untuk memudahkan. Tentu tidak sempurna. Sebab, buku ini ditulis iseng di antara kesibukan sebagai dosen sekaligus mahasiswa pascasarjana. Pengguna dipersilakan mengkritik, memberi saran, dan respon lain untuk penyempurnaan kamus ini.

Oh iya... Kamus ini saya kemas dengan warna warni dan terkesan murahan. Buku ini sepenuhnya saya persembahkan untuk mahasiswa saya yang lebih suka menggulir layar hp dari pada membaca buku. Tidak buruk jika mereka membaca buku elektronik atau informasi berita. Sebab AI tidak bisa mengisi otak yang kosong. 

Unduh kamus di sini 

Selalu ikuti perkembangan dengan sesekali menekan link url tersebut. 


Continue reading KAMUS SINGKATAN DAN AKRONIM

09 Juni 2025

BLATÈR: ULASAN ASAL KATA

Kata blatèr terdengar tidak asing bagi orang Madura masa kini. Kata ini mengacu pada golongan orang yang disatukan melalui satu institusi yang disebut rèmoRemo adalah hajatan yang dilaksanakan untuk mengumpulkan uang yang dalam bentuk buwuh atau bhubu. Hajatan tersebut bisa apa saja: pernikahan, khitanan, atau to'-oto'. Namun kita tidak akan bicara tentang itu.

Tulisan ini akan hanya membicarakan kata. Orang Madura mengkonotasikan blatèr dengan orang-orang berani, budaya-budaya kekerasan, dan kebalikan dari santri. Keberanian kaum blater ditunjukkan dengan keberanian dan kesiapan untuk melakukan carok. Carok adalah pertarungan berhadapan antara dua pihak dengan menggunakan senjata tajam. Dengan demikian, tidak semua pembunuhan dengan senjata secara budaya disebut carok. Jika seseorang membunuh dengan menusuk atau menyerang dari belakang, tidak disebut carok. Ini disebut nyèlèp. Jika hanya hanya salah satu yang memegang senjata juga tidak disebut carok. Jika laki-laki membunuh perempuan, tidak disebut carok. Yah, carok dilakukan ketika kedua belah pihak dalam keadaan siap.     

Kesiapan tersebut ditunjukkan dengan budaya nyèkep, yaitu membawa senjata untuk jaga diri atau siap sedia. Kata dini dari bahasa Jawa sikep yang berarti 'sedia, siap, memegang'. Senjatanya pun hanya berupa senjata tajam, seperti clurit, pisau, parang, dan keris. Pertarungan atau pembunuhan dengan senjata api juga tidak disebut sebagai carok. 

Namun tahukah Anda bahwa kata blatèr berasal dari bahasa Jawa? Dalam bahasa Jawa blater artinya bisa bergaul dengan siapa saja atau mudah akrab. Bahasa kerennya supel. Kemungkinan ini berasal dari pranata yang disebut remo di atas. Ada pertautan makna antara blater dalam bahasa Madura dengan bahasa Jawa. Keterkaitan tersebut pada Remo. Karena ikut Remo maka orang blater memiliki banyak kenalan. Dengan kata lain memiliki banyak teman. Dengan kata lain pula memiliki pergaulan yang luas.

Continue reading BLATÈR: ULASAN ASAL KATA

02 Juni 2025

, ,

SAAT KAU TAK MENCINTAIKU LAGI: PUISI-PUISI AGUS ALAN KUSUMA

Sebagai sebuah karya yang telah terbit, buku Saat Kau Tak Mencintaiku Lagi karya Agus Alan Kusuma telah sempurna sebagai sajian. Sebagai konsumen, pembaca berhak “memakan” atau mengabaikannya. Tulisan ini hanya menyajikan kembali sesuatu yang telah mengisi ruang waktu dari bentang panjang ruang sastra Bangkalan. Mungkin karya-karya ini tidak pernah memperoleh momentumnya. Atau… Momentumnya telah berlalu?



Dengan seizin penulisnya, dihadirkan beberapa puisi yang dipilih dari puisi-puisi yang dimuat dalam buku tersebut.

 

1

 

Pelangi Cinta

 

Kau beri satu warna pelangi pada tanganku

Seperti buah stroberi berwarna merah

Dihiasi bintik-bintik hitam

Rasanya antara manis dan kecut

Bagaikan cintaku yang kecut

Yang katamu hanya manis di mulut

 

2

 

Layang-Layang dan Senja

 

Aku ingin bermain layang-layang

Bersamamu di bawah warna senja

Biarlah kita berdua menikmati paras keindahan itu

Saling menatap dan tersenyum

 

Tapi ketika aku bayangkan lagi

Tidak salah, kalau kita pada akhirnya

Saling menampar dan tertegun

 

Layang-layang turun tak bertemu angin

 

3

 

Jiwa yang Tak Menentu

 

Kumuak dengan semua ini

Hanya luka dan gelisah sembahyang dalam hati

Semua hanya kibulan cerita Romeo dan Juliet

Tak pernah usai, biarlah kupergi sejauh mungkin

Meninggalkan nama dan perjumpaan yang sebentar

 

4

 

Bungkam

 

Bisu, diam, dan gemetar

Itu yang kurasakan

Saat kau melintas di hadapanku

Aku seperti batu dan pepohonan

Yang tak bisa berbuat apa-apa

Selain melihat wajahmu

 

5

 

Zikir

 

Zikirmu bagaikan syair yang syahdu malam ini

Mewujudkan cerita tentang hidup

Syair itu halus sehalus sutra

Tapi getarannya sehangat petir tanpa hujan

Hingga semuanya redup dalam kegelapan

 

6

 

Melepas Luka

 

Kunikmati sore hari dengan hati hampa

Yang ditemani bunyi air laut dan angin laut

Yang menghantam dalam tubuh

Kulihat pemandangan yang begitu indah

Pohon-pohon berada di samping laut

Kera-kera bergelantungan di pepohonan

Aku tertawa dengan keadaan itu

Teringat kisah cinta yang bergantung

Entah akan dibawa ke mana

Cinta itu sebenarnya

Continue reading SAAT KAU TAK MENCINTAIKU LAGI: PUISI-PUISI AGUS ALAN KUSUMA